Selasa, 14 Januari 2020

Belajar Kebenaran Dari Mantan Tahanan



Oleh : Abu Afra

Suatu ketika kami berkenalan dengan salah seorang mantan penghuni lapas.  Beliau cerita perkara yang memasukannya ke dalam penjara sebenarnya perkara sepele saja.  Hanya karena ingin membeli barang lebih murah, bukannya untung malah buntung karena ternyata yang dibeli justru barang hasil curian. Tersebab perkara itu akhirnya harus berurusan dengan kepolisian sampai divonis 5 bulan kurungan dibalik jeruji besi.

Berdasarkan cerita beliau, ternyata penjara zaman now itu tidaklah semenakutkan penjara zaman dulu, penghuni lapas bisa saja makan agak enak atau tidur lebih nyenyak asal punya duit. Meskipun masih ada penjara-penjara yang masih sedikit serem, terutama terkait budaya kekerasan yang terjadi antar penghuninya.

Terlepas dari itu semua, tulisan ini hanya ingin menampilkan sisi lain dari anggapan orang-orang kebanyakan tentang orang yang pernah masuk penjara.

Kebanyakan kita pastilah akan beranggapan orang yang pernah masuk penjara itu pastilah penjahat.  Sehingga kita cenderung takut berinteraksi dengan mereka.
Nah, ternyata anggapan tersebut tidaklah sepenuhnya benar. Mari kita perhatikan beberapa kisah berikut.


Ibnu Taimiyyah pada masanya menghabiskan sisa hidupnya dibalik tembok penjara.  Beliau diadukan kepada Emir Humsh al-Afram, oleh orang-orang sufi. Sampai pada akhirnya karena dianggap membuat keresahan [oleh para pembencinya], ia pun dipenjara, dan mati di dalam penjara [al-Bidâyah wa al-Nihâyah, 14/41]. Akan Tetapi penjara tidak menyurutkan semangat juang dan produktifitasnya dengan menghasilkan karya Majmu Fatawa.

Sayyid Qutb seorang pejuang islam di Mesir mendapatkan kemuliaan berupa penjara karena dengan gagah  berani melawan penjajahan kafir Barat. Aktivis Ikhwanul Muslimin ini selama dipenjara tetap aktif berdakwah hingga mampu menghasilkan karya berupa Tafsir Fii Dzilalil Qur’an yang sangat akrab dikalangan pejuang ikhwan kala itu.

 Syeikh Taqiyuddin An-Nabhani sangat akrab dengan jeruji penjara dan siksa karena perjuangan beliau menegakkan syariah dan khilafah. Bahkan detik-detik akhir hayat beliau sempat merasakan jeruji penjara.

Di Indonesia kita mengenal sosok HAMKA seorang sastrawan sekaligus da’I yang sangat berani menyampaikan kebenaran kepada penguasa. Zaman demokrasi terpimpin, Hamka pernah ditahan dengan tuduhan melanggar Penpres Anti-Subversif. Dia berada di tahanan Orde Lama itu selama dua tahun (1964-1966). Dalam tahanan itulah Hamka menyelesaikan penulisan Tafsir Al-Azhar.

Waktu menulis Tafsir Al-Azhar, Hamka memasukkan beberapa pengalamannya saat berada di tahanan. Salah satunya berhubungan de ngan ayat 36 Surah az-Zumar, “Bukan kah Allah cukup sebagai Pelindung hamba-Nya...”. Pangkal ayat ini menjadi perisai bagi hamba Allah yang beriman dan Allah jadi pelindung sejati.

Dalam dinamika sejarah, kriminalisasi ulama bukanlah hal baru. Ada banyak ulama yang demi kebenaran, berani mengkritik penguasa. Mereka ini ulama-ulama lurus yang tidak silau dengan iming-iming penguasa dan kepentingan duniawi. Yang benar akan dikatakan benar dan yang salah akan dikatakan salah.

Hadits nabi mengenai keutamaan jihad kepada penguasa yang lalim dan tiran dipegang dengan baik oleh mereka. Akibat dari keteguhan ini, mereka bisa mengalami kriminalisasi dan penyiksaan.

Ada juga seorang ulama besar bernama Sa`id bin al-Musayyib pernah mengalami kriminalisasi saat menolak baiat kepada putra Abdul Malik (al-Walid dan Sulaiman) sebagai ganti dari Abdul Aziz bin Marwan, akhirnya Hisyam bin Ismail [selaku Gubernur Madinah] memberi sanksi 60 cambukan kepadanya, dan dipenjara. [Siyaru A`lâm An-Nubalâ, 5/130] Pada riwayat lain bahkan Sa`id diboikot, tidak diajak bicara[al-Thabâqatu al-Kubra, 5/128], bahkan dicambuk [Siyaru A`lâm An-Nubalâ, 4/232].

Lebih parah dari itu peristiwa itu, Sa`id bin Jubair seorang Tabi`in dipenggal kepalanya oleh Hajjaj bin Yusuf al-Tsaqafi, yang merupakan panglima ‘bertangan besi’ dari kekhilafaan Umawi,  gara-gara menentang khilafah Umawi bersama Ibnu al-Asy`ats [Wafayâtul A`yân, 2/373] Demi memegang kebenaran, ia tak gentar kalaupun pada akhirnya harus gugur.

Pada zaman khilafah Abbasiyah, Imam Abu Hanifah  dicambuk [Târîkh Baghdâd, 13/327] dipenjara oleh al-Manshur gara-gara menolak dijadikan Qadhi [Siyaru A`lam An-Nubalâ, 6/401].

Pada era Dinasti Umawiyah, tepatnya ketika Marwan bin Muhammad menjadi penguasa. Imam Abu Hanifah ditawari jabatan hakim, namun beliau bersikukuh untuk menolaknya. Akibatnya, di daerah bernama Al-Kinasah, beliau dicambuk seratus kali. Bahkan sebelumnya, ketika Sang Imam menampik tawaran Ibnu Hubairah menjadi pengurus Baitul Mal, akhirnya beliau pun dicambuk.

Senada dengan kisah tersebut, Imam Sufyan Ats-Tsauri pun pernah berselisih dengan al-Mahdi lantaran tidak mau dijadikan Qadhi, sampai akhirnya ia lari ke Bashrah [Hilyatul Auliyâ, 40/7-41]

Nasib Imam Malik bin Anas juga tak jauh lebih indah, beliau dicambuk karena membangkang pada perintah Abu Ja`far al-Manshur, lantaran tetap meriwayatkan hadits, “Tidak ada talak bagi orang yang dipaksa.”[Wafayâtul A`yân, 4/137].

Wahid Abdussalam Bâli dalam buku “Ulamâ wa Umara(1410: 181) menceritakan“ konflik Imam Malik dengan penguasa.

Alkisah, Ja’far bin Sulaiman sepupu Abu Ja’far Al-Manshur, berniat buruk kepada Imam Malik. Dituduhkan rumor bahwa beliau tidak mengakui kepemimpinan Ja’far Al-Manshur. Mendengar berita itu, kuping Abu Ja’far panas, lalu memerintahkan kepada tentaranya untuk mencabuk beliau.

Murid beliau, juga mengalami hal yang susah bersama penguasa. Imam Syafi`i dituduh sebagai pendukung Syi`ah oleh pendengkinya, Mutharrif bin Mâzin. Bahkan dia memprovokasi Khalifah Harun Ar-Rasyid untuk menangkap Imam Syafi`i dan orang-orang alawiyin. Diutuslah Hammad al-Barbari untuk menangkap Imam Syafi`i dan orang-orang alawiyin. Ia dirantai dengan besi bersama orang alawiyin dari Yaman hingga Raqqah, kediaman Harun Ar-Rasyid [Siyaru A`lâm al-Nubalâ, 8/273]. Bayangkan, betapa sengsaranya dirantai dengan besi dari Yaman hingga Baghdad.

Murid beliau pun, Imam Ahmad bin Hanbal juga pernah mengalami nasib yang lebih menyakitkan dengan penguasa. Ia dicambuk, dipenjara selama 30 bulan oleh Ma`mun tersebab tidak mengakui kemakhlukan al-Qur`an sebagaimana yang diyakini mu`tazilah [al-Kâmil fi at-Târîkh, 3/180].

Imam Bukhari pun berujung pergi dari negerinya karena “berusaha disingkirkan” oleh Penguasa Dhahiriyah di Bukhara saat itu, Khalid bin Ahmad al-Dzuhali. Penyebabnya, Imam Bukhari menolak permintaan Khalid untuk mengajar kitab “al-Jâmi`” dan “al-Târîkh” di rumahnya. Bukhari beralasan, seharusnya yang memerlukan ilmulah yang mendatanginya, bukan ulama yang mendatangi orang yang memerlukan.

Pada akhirnya, Bukhari meninggalkan negerinya [Târîkh Baghdâd, 2/33].

Menurut Ibnu al-Aththar, Imam Nawawi adalah ulama yang berani berhadapan langsung dengan penguasa. Demi kebenaran, dia tidak takut dicela. Jika tidak mampu menghadapi secara langsung, beliau menyampaikan kritik dengan mengirim surat.

Suatu saat, akibat kritikan yang sangat sangat tajam kepada Sultan Dhahir Baibars, hampir saja Imam Nawawi dikriminalisasi dan disiksa. Kritik Imam Nawawi ini diarahkan kepada sang penguasa karena kasus Hauthah. Inti permasalahannya, kerika Dhahir berada di Damaskus pasca kekalahan Tatar, ia mempercayakan kepengurusan Baitul Maal kepada orang bermadzhaf Hanafi. Berdasarkan madzhab Hanafi, harta yang dikuasai Tatar (musuh), maka otomatis harta dikuasai penguasa. Lantas Imam Nawawi dan ulama lain mengkritik pendapat tersebut. Dan kritik paling keras adalah yang disampaikan Imam Nawawi.

Sang Sultan marah dan mengira bahwa itu dilakukan Imam Nawawi karena kepentingan jabatan duniawi karena telah disingkirkan. Ternyata, beliau sama sekali tidak memiliki jabatan dan kepentingan dunia. Setelah kesalahpahaman ini berakhir, Imam Nawawi dicintai dan diagungkan oleh Sultan Dhahir Baibars. (al-Imaam al-Nawawi- Syaikh al-Muhadditsin wa al-Fuqahaa, 1995: 110, 111)

Pertanyaannya, apakah status mereka para ulama tersebut berkurang kemuliaannya karena pernah dihukum penjara atau yang lainnya?

Tentu saja tidak, bahkan kemulian semakin mereka dapatkan dengan ujian berat tersebut.  Itulah bedanya orang beriman dengan orang kafir dalam memandang baik dan buruk.

Baik dan buruk itu tidaklah dilihat dari sisi perbuatan atau fakta itu sendiri. Tetapi dilihat dari kaca mata syara.

Maka jika memang syariat memerintahkan untuk melakukan sesuatu, sekalipun itu terlihat tidak menyenangkan.  Maka yakinlah bahwa hal tersebut sebuah kebaikan.  Sementara jika syariat melarangnya, yakinlah hal tersebut keburukan meskipun nafsumu menyenanginya.

Penjara memanglah bukan tempat yang baik, akan tetapi orang yang dipenjara belum bisa dikatakan buruk semuanya.  Lihat dulu apa alasan dia masuk ke dalamnya. Apakah karena melakukan kemaksiatan atau justru memperjuangkan sebuah ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya.

Semoga kita termasuk orang-orang yang teguh dalam memegang kebenaran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MERESTART ULANG KEHIDUPAN

* Oleh  : Abu Afra t.me/AbuAfraOfficial Terkadang ada orang yang ketika awal hijrahnya begitu bersemangat.  Dimana-mana selalu ngomong...