Oleh : Muhammad Fitrianto, S.Pd.Gr, Lc, M.A., M.Pd, C.ISP, C.LQ
Anggaran pendidikan Indonesia yang fantastis, mencapai Rp 665 triliun, menuai sorotan tajam. Namun, apakah besarnya anggaran ini sebanding dengan kualitas pendidikan yang dihasilkan? Atau jangan-jangan, kita justru terjebak dalam sistem yang tidak efisien dan mewarisi pola pikir kolonialisme?
Opini yang berkembang di masyarakat, dan juga diperkuat oleh
para pakar pendidikan, adalah perlunya reformasi besar-besaran. Salah satu
usulan yang paling radikal adalah pemangkasan masa sekolah. Profesor Nanang
Fatah, seorang pakar anggaran pendidikan, mengusulkan agar SD cukup 4 tahun,
SMP 2 tahun, dan SMA 2 tahun. Ini akan membuat anak-anak lulus pada usia 15
tahun.
Mengapa usia 15 tahun begitu krusial? Dalam sejarah, usia
ini dianggap sebagai batas akhir masa anak-anak. Menurut hadis sahih riwayat
Imam Bukhari, Rasulullah SAW melarang Abdullah bin Umar untuk ikut perang Uhud
karena usianya belum genap 15 tahun. Ini menunjukkan bahwa pada usia tersebut,
seseorang dianggap belum cukup mandiri untuk mengemban tanggung jawab besar.
Namun, saat Perang Khandaq, Abdullah bin Umar yang sudah berusia lebih dari 15
tahun diizinkan ikut berperang. Ini menegaskan bahwa setelah 15 tahun,
seseorang sudah dianggap mukalaf, atau memiliki tanggung jawab penuh
atas amal perbuatannya.
Konsep kemandirian di usia muda ini sejalan dengan tradisi
pendidikan di Indonesia. Ki Hajar Dewantara, dengan sistem Taman Siswanya,
membagi pendidikan menjadi empat jenjang, dengan "taman dewasa"
dimulai pada usia 14-16 tahun.
Banyak tokoh bangsa kita yang sudah matang di usia belia.
Bung Karno, misalnya, di usia 15 tahun sudah dititipkan kepada H.O.S.
Cokroaminoto dan sudah membaca banyak buku. Sentot Alibasyah, panglima perang
Diponegoro, sudah menjadi pemimpin di usia 21 tahun. Muhammad Al Fatih menjadi
sultan di usia yang sama. Ini menunjukkan bahwa kematangan di usia muda
bukanlah hal yang aneh.
Pendidikan Mental Buruh dan Krisis Kepercayaan
Kritik terhadap sistem pendidikan saat ini tidak hanya
datang dari pakar dalam negeri, tetapi juga dari tokoh-tokoh dunia seperti Sir
Ken Robinson dan John Taylor Gatto. Mereka berpendapat bahwa pendidikan modern
hanya membentuk mental buruh atau pekerja. Sistem yang ada dirancang untuk
menciptakan individu yang sesuai dengan kebutuhan ekonomi, bukan untuk
mengembangkan potensi mereka.
Ironisnya, Ki Hajar Dewantara sudah mengkritik hal ini sejak
tahun 1922. Beliau menyatakan bahwa sekolah-sekolah kolonial Belanda hanya akan
mendidik anak-anak kita menjadi buruh murah dan pegawai kolonial. Tujuan
lainnya adalah untuk menekan fanatisme Islam dan menghilangkan semangat jihad,
sehingga masyarakat menjadi sekuler dan hanya berorientasi pada kehidupan
dunia.
Krisis ini berlanjut hingga kini. Kita melihat bagaimana
tes-tes ujian nasional dijaga ketat oleh polisi karena tidak adanya kepercayaan
terhadap guru dan kepala sekolah. Padahal, kepercayaan adalah fondasi penting
dalam pendidikan. Di Finlandia, kejujuran adalah hal yang lumrah, sehingga
tidak ada keraguan pada kejujuran seorang guru.
Menghidupkan Kembali Akhlak Mulia
Lalu, bagaimana jalan keluarnya? Pasal 31 ayat 3 UUD 1945
sudah secara tegas menyebutkan bahwa sistem pendidikan nasional harus
meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia. Ini adalah amanat
konstitusi yang seharusnya menjadi acuan utama.
Namun, kenyataannya, banyak perguruan tinggi yang tidak
menjadikan akhlak sebagai syarat kelulusan. Ini adalah masalah besar. Sebuah
institusi pendidikan seharusnya tidak hanya menghasilkan orang pintar, tetapi
juga orang yang berakhlak mulia. Sebagaimana yang dikatakan, "Sebaik-baik
manusia adalah yang paling bermanfaat."
Pendidikan yang ideal seharusnya tidak hanya melatih siswa
menjawab soal-soal ujian, tetapi juga melatih mereka menjawab soal-soal
kehidupan. Sistem saat ini menghasilkan 80% sarjana yang bekerja di luar
bidangnya. Ini menunjukkan bahwa kurikulum yang ada tidak relevan dengan
kebutuhan dunia kerja dan kehidupan nyata.
Jadi, sudah saatnya kita kembali ke fitrah pendidikan kita.
Mari kita bangun pendidikan yang melahirkan manusia-manusia emas, bukan manusia
kaleng-kaleng. Generasi emas Indonesia tahun 2045 akan terwujud jika kita
berani melakukan perubahan radikal. Bukan hanya memangkas durasi sekolah,
tetapi juga membenahi mindset dan mengembalikan pendidikan pada tujuan
utamanya: mencetak manusia-manusia beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar