Senin, 18 Agustus 2025

Membongkar Sistem Pendidikan: Mewarisi Pola Pikir Penjajahan?

Oleh  : Muhammad Fitrianto, S.Pd.Gr, Lc, M.A., M.Pd, C.ISP, C.LQ

Anggaran pendidikan Indonesia yang fantastis, mencapai Rp 665 triliun, menuai sorotan tajam. Namun, apakah besarnya anggaran ini sebanding dengan kualitas pendidikan yang dihasilkan? Atau jangan-jangan, kita justru terjebak dalam sistem yang tidak efisien dan mewarisi pola pikir kolonialisme?

Opini yang berkembang di masyarakat, dan juga diperkuat oleh para pakar pendidikan, adalah perlunya reformasi besar-besaran. Salah satu usulan yang paling radikal adalah pemangkasan masa sekolah. Profesor Nanang Fatah, seorang pakar anggaran pendidikan, mengusulkan agar SD cukup 4 tahun, SMP 2 tahun, dan SMA 2 tahun. Ini akan membuat anak-anak lulus pada usia 15 tahun.

Mengapa usia 15 tahun begitu krusial? Dalam sejarah, usia ini dianggap sebagai batas akhir masa anak-anak. Menurut hadis sahih riwayat Imam Bukhari, Rasulullah SAW melarang Abdullah bin Umar untuk ikut perang Uhud karena usianya belum genap 15 tahun. Ini menunjukkan bahwa pada usia tersebut, seseorang dianggap belum cukup mandiri untuk mengemban tanggung jawab besar. Namun, saat Perang Khandaq, Abdullah bin Umar yang sudah berusia lebih dari 15 tahun diizinkan ikut berperang. Ini menegaskan bahwa setelah 15 tahun, seseorang sudah dianggap mukalaf, atau memiliki tanggung jawab penuh atas amal perbuatannya.

Konsep kemandirian di usia muda ini sejalan dengan tradisi pendidikan di Indonesia. Ki Hajar Dewantara, dengan sistem Taman Siswanya, membagi pendidikan menjadi empat jenjang, dengan "taman dewasa" dimulai pada usia 14-16 tahun.

Banyak tokoh bangsa kita yang sudah matang di usia belia. Bung Karno, misalnya, di usia 15 tahun sudah dititipkan kepada H.O.S. Cokroaminoto dan sudah membaca banyak buku. Sentot Alibasyah, panglima perang Diponegoro, sudah menjadi pemimpin di usia 21 tahun. Muhammad Al Fatih menjadi sultan di usia yang sama. Ini menunjukkan bahwa kematangan di usia muda bukanlah hal yang aneh.

 Pendidikan Mental Buruh dan Krisis Kepercayaan

Kritik terhadap sistem pendidikan saat ini tidak hanya datang dari pakar dalam negeri, tetapi juga dari tokoh-tokoh dunia seperti Sir Ken Robinson dan John Taylor Gatto. Mereka berpendapat bahwa pendidikan modern hanya membentuk mental buruh atau pekerja. Sistem yang ada dirancang untuk menciptakan individu yang sesuai dengan kebutuhan ekonomi, bukan untuk mengembangkan potensi mereka.

Ironisnya, Ki Hajar Dewantara sudah mengkritik hal ini sejak tahun 1922. Beliau menyatakan bahwa sekolah-sekolah kolonial Belanda hanya akan mendidik anak-anak kita menjadi buruh murah dan pegawai kolonial. Tujuan lainnya adalah untuk menekan fanatisme Islam dan menghilangkan semangat jihad, sehingga masyarakat menjadi sekuler dan hanya berorientasi pada kehidupan dunia.

Krisis ini berlanjut hingga kini. Kita melihat bagaimana tes-tes ujian nasional dijaga ketat oleh polisi karena tidak adanya kepercayaan terhadap guru dan kepala sekolah. Padahal, kepercayaan adalah fondasi penting dalam pendidikan. Di Finlandia, kejujuran adalah hal yang lumrah, sehingga tidak ada keraguan pada kejujuran seorang guru.

Menghidupkan Kembali Akhlak Mulia

Lalu, bagaimana jalan keluarnya? Pasal 31 ayat 3 UUD 1945 sudah secara tegas menyebutkan bahwa sistem pendidikan nasional harus meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia. Ini adalah amanat konstitusi yang seharusnya menjadi acuan utama.

Namun, kenyataannya, banyak perguruan tinggi yang tidak menjadikan akhlak sebagai syarat kelulusan. Ini adalah masalah besar. Sebuah institusi pendidikan seharusnya tidak hanya menghasilkan orang pintar, tetapi juga orang yang berakhlak mulia. Sebagaimana yang dikatakan, "Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat."

Pendidikan yang ideal seharusnya tidak hanya melatih siswa menjawab soal-soal ujian, tetapi juga melatih mereka menjawab soal-soal kehidupan. Sistem saat ini menghasilkan 80% sarjana yang bekerja di luar bidangnya. Ini menunjukkan bahwa kurikulum yang ada tidak relevan dengan kebutuhan dunia kerja dan kehidupan nyata.

Jadi, sudah saatnya kita kembali ke fitrah pendidikan kita. Mari kita bangun pendidikan yang melahirkan manusia-manusia emas, bukan manusia kaleng-kaleng. Generasi emas Indonesia tahun 2045 akan terwujud jika kita berani melakukan perubahan radikal. Bukan hanya memangkas durasi sekolah, tetapi juga membenahi mindset dan mengembalikan pendidikan pada tujuan utamanya: mencetak manusia-manusia beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia.

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Meniti Jalan Hidayah: Dari Adab Dasar Menuju Puncak Kemuliaan

  Oleh  :  Muhammad Fitrianto, S.Pd.Gr, Lc, M.A., M.Pd Setiap Muslim mendambakan hidayah, cahaya petunjuk dari Allah SWT yang menerangi ja...