Rabu, 20 Agustus 2025

Pendidikan Bukan Sekadar Sekolah

 Oleh  : Muhammad Fitrianto, S.Pd.Gr, Lc, M.A, M.Pd. C.ISP, C.LQ

Mengapa kita sulit maju? Mungkin karena kita terlalu sibuk memisahkan hal-hal yang seharusnya menyatu. Salah satunya, pendidikan. Kita sering menganggap pendidikan hanya terjadi di sekolah, di ruang-ruang kelas yang penuh dengan kurikulum kaku dan materi padat. Padahal, pendidikan adalah sebuah proses holistik, sebuah perjalanan panjang untuk membentuk manusia yang berakhlak mulia. Sayangnya, sekolah kita saat ini—entah disadari atau tidak—sering kali gagal menjalankan misi suci ini.

Faktanya, sekolah bisa menjadi tempat pendidikan, tapi juga bisa tidak. Bahkan, dalam skenario terburuk, sekolah bisa saja melahirkan generasi yang tidak terdidik. Alih-alih mencetak manusia yang beriman, bertakwa, bernalar kritis, dan mandiri seperti yang diimpikan dalam Profil Pelajar Pancasila, kita malah menyaksikan generasi yang makin jauh dari nilai-nilai luhur.

Lantas, di mana letak kesalahannya?

Kembali ke Akar Konstitusi

Persoalan ini mendesak kita untuk kembali merenungkan makna kata pendidikan dan merujuk pada konstitusi. Sebagaimana termaktub dalam UUD 1945, negara kita didasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa. Pasal 31 ayat 3 secara eksplisit menyatakan bahwa pemerintah wajib menyelenggarakan sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia. Rumusan ini menjadi panduan yang amat jelas: pendidikan bukan hanya soal mencerdaskan otak, melainkan juga memuliakan jiwa.

Pendidikan yang ideal seharusnya melahirkan manusia yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, dan berlaku adil. Adil, dalam esensinya, berarti meletakkan segala sesuatu pada tempatnya, sesuai dengan harkat dan martabat yang telah ditentukan oleh-Nya. Manusia yang adil adalah pemimpin yang adil, rakyat yang adil, dan bahkan individu yang adil terhadap dirinya sendiri.

Jika demikian, mengapa kita masih memelihara dikotomi antara pendidikan agama dan pendidikan umum? Seolah-olah ada dua jalur yang terpisah. Padahal, ilmu itu tidak netral. Belajar biologi atau fisika, misalnya, seharusnya menjadi jalan untuk mengenal kebesaran Allah, pencipta alam semesta ini. Belajar tentang virus seharusnya membuat kita sadar bahwa setiap musibah, setiap cobaan, adalah ujian dari-Nya agar kita kembali dan bertobat.

Tanggung Jawab Bukan Hanya Pemerintah

Pendidikan tidak bisa diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah. Mengapa? Sebab, mendidik anak adalah kewajiban orang tua. Bahkan di masa penjajahan Belanda, saat pemerintahnya adalah orang kafir, para kiai dan ulama kita berhasil mendirikan pondok-pondok pesantren yang melahirkan pejuang-pejuang dan ulama hebat. Mereka berjuang dengan gigih tanpa bantuan pemerintah penjajah.

Sekarang, kita hidup di era di mana pemerintah berpihak dan memberikan dukungan penuh. Maka, seharusnya hasil pendidikan kita jauh lebih baik. Jika pemerintah belum bisa menyediakan model pendidikan yang ideal, umat Islam tidak bisa diam saja. Kita harus bergerak. Sekolah-sekolah swasta dan pondok pesantren harus menjadi garda terdepan dalam merumuskan kurikulum yang sejalan dengan ajaran Islam dan konstitusi.

Mari berhenti menyalahkan dan mulai bertindak. Jangan menunggu pemerintah. Mendidik anak-anak kita dengan nilai-nilai yang benar adalah tanggung jawab kita sendiri, sebuah amanah yang akan dimintai pertanggungjawabannya di akhirat nanti.

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Meniti Jalan Hidayah: Dari Adab Dasar Menuju Puncak Kemuliaan

  Oleh  :  Muhammad Fitrianto, S.Pd.Gr, Lc, M.A., M.Pd Setiap Muslim mendambakan hidayah, cahaya petunjuk dari Allah SWT yang menerangi ja...