Oleh : Muhammad Fitrianto, S.Pd.Gr, Lc, M.A, M.Pd. C.ISP, C.LQ
Mengapa kita sulit maju? Mungkin karena kita terlalu sibuk
memisahkan hal-hal yang seharusnya menyatu. Salah satunya, pendidikan. Kita
sering menganggap pendidikan hanya terjadi di sekolah, di ruang-ruang kelas
yang penuh dengan kurikulum kaku dan materi padat. Padahal, pendidikan adalah
sebuah proses holistik, sebuah perjalanan panjang untuk membentuk manusia yang
berakhlak mulia. Sayangnya, sekolah kita saat ini—entah disadari atau
tidak—sering kali gagal menjalankan misi suci ini.
Faktanya, sekolah bisa menjadi tempat pendidikan, tapi juga bisa
tidak. Bahkan, dalam skenario terburuk, sekolah bisa saja melahirkan generasi
yang tidak terdidik. Alih-alih mencetak manusia yang beriman, bertakwa,
bernalar kritis, dan mandiri seperti yang diimpikan dalam Profil Pelajar
Pancasila, kita malah menyaksikan generasi yang makin jauh dari nilai-nilai
luhur.
Lantas, di mana
letak kesalahannya?
Kembali ke Akar
Konstitusi
Persoalan ini mendesak kita untuk kembali merenungkan makna kata pendidikan
dan merujuk pada konstitusi. Sebagaimana termaktub dalam UUD 1945, negara kita
didasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa. Pasal 31 ayat 3 secara eksplisit
menyatakan bahwa pemerintah wajib menyelenggarakan sistem pendidikan nasional
yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia. Rumusan ini
menjadi panduan yang amat jelas: pendidikan bukan hanya soal mencerdaskan otak,
melainkan juga memuliakan jiwa.
Pendidikan yang ideal seharusnya melahirkan manusia yang beriman,
bertakwa, berakhlak mulia, dan berlaku adil. Adil, dalam esensinya, berarti
meletakkan segala sesuatu pada tempatnya, sesuai dengan harkat dan martabat
yang telah ditentukan oleh-Nya. Manusia yang adil adalah pemimpin yang adil,
rakyat yang adil, dan bahkan individu yang adil terhadap dirinya sendiri.
Jika demikian, mengapa kita masih memelihara dikotomi antara
pendidikan agama dan pendidikan umum? Seolah-olah ada dua jalur yang terpisah.
Padahal, ilmu itu tidak netral. Belajar biologi atau fisika, misalnya,
seharusnya menjadi jalan untuk mengenal kebesaran Allah, pencipta alam semesta
ini. Belajar tentang virus seharusnya membuat kita sadar bahwa setiap musibah,
setiap cobaan, adalah ujian dari-Nya agar kita kembali dan bertobat.
Tanggung Jawab
Bukan Hanya Pemerintah
Pendidikan tidak bisa diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah.
Mengapa? Sebab, mendidik anak adalah kewajiban orang tua. Bahkan di masa
penjajahan Belanda, saat pemerintahnya adalah orang kafir, para kiai dan ulama
kita berhasil mendirikan pondok-pondok pesantren yang melahirkan
pejuang-pejuang dan ulama hebat. Mereka berjuang dengan gigih tanpa bantuan
pemerintah penjajah.
Sekarang, kita hidup di era di mana pemerintah berpihak dan
memberikan dukungan penuh. Maka, seharusnya hasil pendidikan kita jauh lebih baik.
Jika pemerintah belum bisa menyediakan model pendidikan yang ideal, umat Islam
tidak bisa diam saja. Kita harus bergerak. Sekolah-sekolah swasta dan pondok
pesantren harus menjadi garda terdepan dalam merumuskan kurikulum yang sejalan
dengan ajaran Islam dan konstitusi.
Mari berhenti menyalahkan dan mulai bertindak. Jangan menunggu
pemerintah. Mendidik anak-anak kita dengan nilai-nilai yang benar adalah
tanggung jawab kita sendiri, sebuah amanah yang akan dimintai
pertanggungjawabannya di akhirat nanti.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar