Sabtu, 23 Agustus 2025

Guru, Brain Rot, dan Pendidikan yang Kehilangan Arah

 Oleh  :  Muhammad Fitrianto, S.Pd.Gr, Lc, M.A, M.Pd, C.ISP, C.LQ

Apakah kita siap menghadapi masa depan yang sudah mengetuk pintu? Pertanyaan itu dilontarkan Rektor UIN Antasari, Prof. Dr. H. Mujiburrahman, dalam Yudisium PPG Batch 2 Tahun 2024, 24 Juli lalu. Pertanyaan sederhana, tapi dampaknya mengguncang.

Era digital telah mengubah cara kita hidup, belajar, bahkan berpikir. Oxford Dictionary menobatkan “brain rot” sebagai Word of the Year 2024—kerusakan daya pikir akibat candu konten singkat. Survei Baylor University mengungkap 75% mahasiswa membuka ponsel sebagai aktivitas pertama setelah bangun. Kita hidup dalam banjir informasi, tapi tenggelam dalam dangkalnya pemahaman.

Di tengah situasi ini, peran guru menjadi krusial. Namun, apakah guru kita siap?

Pendidikan yang Tak Mengajarkan Berpikir

Sistem pendidikan kita masih terjebak pada hafalan dan angka. Nilai ujian dianggap segalanya, sementara kemampuan analitis—kemampuan berpikir kritis, logis, dan berbasis bukti—sering diabaikan. Bagaimana mungkin siswa bisa berpikir kritis jika guru jarang mengajarkan why, hanya what?

Rektor mengingatkan, guru harus menjadi jangkar di tengah arus deras informasi. Mereka harus mengajarkan murid mengendalikan teknologi, bukan dikendalikan olehnya. Ponsel, betapapun canggih, bisa menjadi berhala modern jika kita tunduk padanya—sebagaimana pesan Al-Qur’an (Asy-Syura:52).

Ketabahan yang Mulai Terkikis

Rektor juga menyinggung soal resilience—ketabahan. Peserta PPG telah membuktikan keteguhan hati menghadapi sinyal buruk, jarak tempuh jauh, dan beban tugas berat. Namun, ketabahan ini harus berlanjut di kelas.

Sayangnya, masih banyak guru yang lebih berperan sebagai pegawai daripada pendidik. Elizabeth Pisani pernah menyebut, sebagian guru di Indonesia hanya fokus pada gaji, lupa pengabdian. Fakta di lapangan membenarkannya: ada guru yang jarang hadir di kelas, ada yang sekadar menyerahkan LKS tanpa bimbingan.

Bagaimana kita bisa menumbuhkan generasi tangguh jika guru sendiri mudah menyerah?

Ranking yang Merusak Karakter

Budaya ranking juga tak luput dari kritik. Kita terbiasa menilai anak-anak hanya dari angka, seolah manusia bisa disederhanakan menjadi “peringkat 1” atau “peringkat 10”.

Rektor memberi contoh sekolah anaknya di Belanda yang tak mengenal ranking. Di sana, rapor berisi laporan perkembangan individu yang didiskusikan bersama orang tua. Pendekatan ini membentuk kolaborasi, bukan kompetisi yang saling menjatuhkan.

Bukankah sudah saatnya kita meninggalkan praktik yang melukai harga diri anak dan menggantinya dengan pendidikan yang menghargai proses?

Guru Agama dan Martabat yang Sering Terlupa

Pesan terakhir rektor tertuju pada guru agama: jadilah spiritual teacher, bukan sekadar penyampai materi. Tugas guru agama bukan hanya mengajarkan ayat, tapi menanamkan akhlak, menjadi teladan.

Ia pun menutup dengan peringatan keras: “Hiduplah bermartabat. Jangan terjebak gaya hidup yang lebih besar pasak daripada tiang. Guru yang pikirannya sibuk menutup utang akan sulit mengajar dengan hati.”

Pendidikan Indonesia berada di persimpangan. Kita bisa terus melahirkan generasi yang cerdas di layar tapi kosong di jiwa, atau berani berbenah dengan menjadikan guru sebagai ujung tombak perubahan.

Pertanyaannya: sudahkah kita, terutama para guru, siap menghadapi masa depan yang sedang mengetuk?



 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Meniti Jalan Hidayah: Dari Adab Dasar Menuju Puncak Kemuliaan

  Oleh  :  Muhammad Fitrianto, S.Pd.Gr, Lc, M.A., M.Pd Setiap Muslim mendambakan hidayah, cahaya petunjuk dari Allah SWT yang menerangi ja...