Oleh : Muhammad Fitrianto, S.Pd.Gr, Lc, M.A, M.Pd, C.ISP, C.LQ
Apakah kita siap menghadapi masa depan yang sudah mengetuk pintu?
Pertanyaan itu dilontarkan Rektor UIN Antasari, Prof. Dr. H. Mujiburrahman,
dalam Yudisium PPG Batch 2 Tahun 2024, 24 Juli lalu. Pertanyaan sederhana, tapi
dampaknya mengguncang.
Era digital telah mengubah cara kita hidup, belajar, bahkan
berpikir. Oxford Dictionary menobatkan “brain rot” sebagai Word of the Year
2024—kerusakan daya pikir akibat candu konten singkat. Survei Baylor University
mengungkap 75% mahasiswa membuka ponsel sebagai aktivitas pertama setelah
bangun. Kita hidup dalam banjir informasi, tapi tenggelam dalam dangkalnya
pemahaman.
Di tengah
situasi ini, peran guru menjadi krusial. Namun, apakah guru kita siap?
Pendidikan yang
Tak Mengajarkan Berpikir
Sistem pendidikan kita masih terjebak pada hafalan dan angka. Nilai
ujian dianggap segalanya, sementara kemampuan analitis—kemampuan berpikir
kritis, logis, dan berbasis bukti—sering diabaikan. Bagaimana mungkin siswa
bisa berpikir kritis jika guru jarang mengajarkan why, hanya what?
Rektor mengingatkan, guru harus menjadi jangkar di tengah arus
deras informasi. Mereka harus mengajarkan murid mengendalikan teknologi, bukan
dikendalikan olehnya. Ponsel, betapapun canggih, bisa menjadi berhala modern
jika kita tunduk padanya—sebagaimana pesan Al-Qur’an (Asy-Syura:52).
Ketabahan yang
Mulai Terkikis
Rektor juga menyinggung soal resilience—ketabahan. Peserta PPG
telah membuktikan keteguhan hati menghadapi sinyal buruk, jarak tempuh jauh,
dan beban tugas berat. Namun, ketabahan ini harus berlanjut di kelas.
Sayangnya, masih banyak guru yang lebih berperan sebagai pegawai
daripada pendidik. Elizabeth Pisani pernah menyebut, sebagian guru di Indonesia
hanya fokus pada gaji, lupa pengabdian. Fakta di lapangan membenarkannya: ada
guru yang jarang hadir di kelas, ada yang sekadar menyerahkan LKS tanpa
bimbingan.
Bagaimana kita
bisa menumbuhkan generasi tangguh jika guru sendiri mudah menyerah?
Ranking yang
Merusak Karakter
Budaya ranking juga tak luput dari kritik. Kita terbiasa menilai
anak-anak hanya dari angka, seolah manusia bisa disederhanakan menjadi
“peringkat 1” atau “peringkat 10”.
Rektor memberi contoh sekolah anaknya di Belanda yang tak mengenal
ranking. Di sana, rapor berisi laporan perkembangan individu yang didiskusikan
bersama orang tua. Pendekatan ini membentuk kolaborasi, bukan kompetisi yang
saling menjatuhkan.
Bukankah sudah saatnya kita meninggalkan praktik yang melukai harga
diri anak dan menggantinya dengan pendidikan yang menghargai proses?
Guru Agama dan
Martabat yang Sering Terlupa
Pesan terakhir rektor tertuju pada guru agama: jadilah spiritual
teacher, bukan sekadar penyampai materi. Tugas guru agama bukan hanya
mengajarkan ayat, tapi menanamkan akhlak, menjadi teladan.
Ia pun menutup dengan peringatan keras: “Hiduplah bermartabat.
Jangan terjebak gaya hidup yang lebih besar pasak daripada tiang. Guru yang
pikirannya sibuk menutup utang akan sulit mengajar dengan hati.”
Pendidikan Indonesia berada di persimpangan. Kita bisa terus
melahirkan generasi yang cerdas di layar tapi kosong di jiwa, atau berani
berbenah dengan menjadikan guru sebagai ujung tombak perubahan.
Pertanyaannya: sudahkah kita, terutama para guru, siap menghadapi
masa depan yang sedang mengetuk?

Tidak ada komentar:
Posting Komentar