Senin, 18 Agustus 2025

80 Tahun Merdeka: Janji yang Belum Tuntas

Oleh  : Muhammad Fitrianto, S.Pd.Gr, Lc, M.A, M.Pd. C.ISP, C.LQ

Delapan puluh tahun Indonesia merdeka mestinya jadi tonggak kebanggaan. Kita sudah melewati masa kolonialisme, revolusi, Orde Baru, sampai Reformasi. Namun, di balik gegap gempita perayaan, muncul pertanyaan sederhana: sudahkah kemerdekaan benar-benar menghadirkan kesejahteraan bagi rakyat?

Jawabannya masih getir. Data BPS (Maret 2025) mencatat 25,8 juta warga Indonesia masih hidup miskin. Itu setara dengan jumlah penduduk Kalimantan dan Sulawesi digabung. Artinya, delapan dekade merdeka, masih banyak orang yang sulit memenuhi kebutuhan dasar.

Ironi Para Wakil Rakyat

Saat rakyat kian terjepit, DPR justru menaikkan gaji dan tunjangan. Keputusan ini memicu kritik karena menunjukkan jurang makin lebar antara elite politik dan rakyat biasa. Padahal APBN terbatas, utang menumpuk, dan layanan dasar masih bolong di mana-mana. Presiden Prabowo bahkan pernah menyebut fenomena ini sebagai serakahnomics—ekonomi yang dikuasai kerakusan segelintir orang. Ironinya, negara rugi miliaran dolar dari tambang ilegal, jutaan hektar sawit bermasalah, tapi wakil rakyat sibuk menambah fasilitas pribadi.

Ketimpangan yang Menganga

Laporan Oxfam dan Credit Suisse menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara dengan ketimpangan tertinggi. Satu persen orang terkaya menguasai hampir separuh kekayaan nasional. Angka-angka ini bukan sekadar statistik, melainkan jurang sosial yang nyata dirasakan masyarakat bawah.

Pendidikan: PR yang Tak Kunjung Usai

Di bidang pendidikan, kondisinya tak kalah memprihatinkan. Rata-rata lama sekolah kita baru 9,22 tahun, setara tamat SMP. Partisipasi sekolah di SMA hanya 70–85 persen, lebih rendah lagi di perguruan tinggi.

Lebih dari itu, masalah klasik guru honorer juga belum terurai. Di sekolah negeri, ribuan guru honorer masih bergaji ratusan ribu rupiah per bulan, jauh dari layak. Di sekolah swasta, kondisinya lebih pelik: banyak yayasan menggantungkan operasional pada iuran siswa, sehingga kesejahteraan guru terabaikan. Pemerintah sering lepas tangan dengan alasan status swasta.

Padahal, kualitas pendidikan tak bisa dilepaskan dari kualitas hidup gurunya. Bagaimana mungkin kita berharap lahir generasi emas jika gurunya masih diperlakukan seperti “pejuang amal” tanpa penghargaan yang pantas?

Merdeka yang Tertunda

Delapan puluh tahun merdeka, bangsa ini memang sudah banyak berubah. Jalan tol dibangun, gedung-gedung menjulang, teknologi makin canggih. Tapi di sisi lain, kemerdekaan rakyat kecil masih tertunda.

Merdeka bukan hanya bebas dari penjajahan asing, melainkan juga bebas dari kemiskinan, ketidakadilan, dan kerakusan elite. Selama politik lebih berpihak pada segelintir orang, selama kesejahteraan guru dan rakyat kecil diabaikan, kemerdekaan kita masih setengah jalan.

Sudah waktunya keberanian moral dan politik berpihak pada rakyat. Hanya dengan itu, perayaan 80 tahun kemerdekaan tak lagi sekadar seremoni tahunan, melainkan benar-benar dirasakan sebagai berkah oleh seluruh anak bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Meniti Jalan Hidayah: Dari Adab Dasar Menuju Puncak Kemuliaan

  Oleh  :  Muhammad Fitrianto, S.Pd.Gr, Lc, M.A., M.Pd Setiap Muslim mendambakan hidayah, cahaya petunjuk dari Allah SWT yang menerangi ja...