Oleh : Muhammad Fitrianto, S.Pd.Gr, Lc, M.A, M.Pd. C.ISP, C.LQ
Delapan puluh tahun Indonesia merdeka mestinya jadi tonggak
kebanggaan. Kita sudah melewati masa kolonialisme, revolusi, Orde Baru, sampai
Reformasi. Namun, di balik gegap gempita perayaan, muncul pertanyaan sederhana:
sudahkah kemerdekaan benar-benar menghadirkan kesejahteraan bagi rakyat?
Jawabannya masih getir. Data BPS (Maret 2025) mencatat 25,8 juta
warga Indonesia masih hidup miskin. Itu setara dengan jumlah penduduk
Kalimantan dan Sulawesi digabung. Artinya, delapan dekade merdeka, masih banyak
orang yang sulit memenuhi kebutuhan dasar.
Ironi Para
Wakil Rakyat
Saat rakyat kian terjepit, DPR justru menaikkan gaji dan tunjangan.
Keputusan ini memicu kritik karena menunjukkan jurang makin lebar antara elite
politik dan rakyat biasa. Padahal APBN terbatas, utang menumpuk, dan layanan
dasar masih bolong di mana-mana. Presiden Prabowo bahkan pernah menyebut
fenomena ini sebagai serakahnomics—ekonomi yang dikuasai kerakusan segelintir
orang. Ironinya, negara rugi miliaran dolar dari tambang ilegal, jutaan hektar
sawit bermasalah, tapi wakil rakyat sibuk menambah fasilitas pribadi.
Ketimpangan
yang Menganga
Laporan Oxfam dan Credit Suisse menempatkan Indonesia sebagai salah
satu negara dengan ketimpangan tertinggi. Satu persen orang terkaya menguasai
hampir separuh kekayaan nasional. Angka-angka ini bukan sekadar statistik,
melainkan jurang sosial yang nyata dirasakan masyarakat bawah.
Pendidikan: PR
yang Tak Kunjung Usai
Di bidang pendidikan, kondisinya tak kalah memprihatinkan.
Rata-rata lama sekolah kita baru 9,22 tahun, setara tamat SMP. Partisipasi
sekolah di SMA hanya 70–85 persen, lebih rendah lagi di perguruan tinggi.
Lebih dari itu, masalah klasik guru honorer juga belum terurai. Di
sekolah negeri, ribuan guru honorer masih bergaji ratusan ribu rupiah per
bulan, jauh dari layak. Di sekolah swasta, kondisinya lebih pelik: banyak
yayasan menggantungkan operasional pada iuran siswa, sehingga kesejahteraan
guru terabaikan. Pemerintah sering lepas tangan dengan alasan status swasta.
Padahal, kualitas pendidikan tak bisa dilepaskan dari kualitas
hidup gurunya. Bagaimana mungkin kita berharap lahir generasi emas jika gurunya
masih diperlakukan seperti “pejuang amal” tanpa penghargaan yang pantas?
Merdeka yang
Tertunda
Delapan puluh tahun merdeka, bangsa ini memang sudah banyak
berubah. Jalan tol dibangun, gedung-gedung menjulang, teknologi makin canggih.
Tapi di sisi lain, kemerdekaan rakyat kecil masih tertunda.
Merdeka bukan hanya bebas dari penjajahan asing, melainkan juga
bebas dari kemiskinan, ketidakadilan, dan kerakusan elite. Selama politik lebih
berpihak pada segelintir orang, selama kesejahteraan guru dan rakyat kecil
diabaikan, kemerdekaan kita masih setengah jalan.
Sudah waktunya keberanian moral dan politik berpihak pada rakyat.
Hanya dengan itu, perayaan 80 tahun kemerdekaan tak lagi sekadar seremoni
tahunan, melainkan benar-benar dirasakan sebagai berkah oleh seluruh anak
bangsa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar