Selasa, 14 Januari 2020

Belajarlah Dari Perang Mu'tah



oleh  : Abu Afra

Pertempuran Mu'tah (bahasa Arab: معركة مؤتة , غزوة مؤتة‎) terjadi pada 629 M atau 5 Jumadil Awal 8 Hijriah[5]), dekat kampung yang bernama Mu'tah, di sebelah timur Sungai Yordan dan Al Karak, antara pasukan kaum muslimin melawan pasukan Romawi Nasrani.

Peperangan ini tercatat di dalam sejarah sebagai sebuah peperangan besar, di mana tentara Islam yang berjumlah 3.000 orang melawan 200.000 tentara Romawi Nasrani, sekalipun demikian dahsyatnya peperangan Mu’tah, sahabat yang mati syahid hanya 12 orang, dan mereka memiliki kedudukan tinggi di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Tapi ada kisah yang lebih dahsyat lagi pada peperangan Mu'tah ini.  Yakni kisah tentang para Panglima Perangnya.
Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Jika Zaid mati syahid, maka Ja’far yang menggantikannya. Jika Ja’far mati syahid, maka Abdullah bin Rawahah penggantinya.”

Ini pertama kali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat tiga panglima sekaligus karena beliau mengetahui kekuatan militer Romawi yang tak tertandingi pada waktu itu.

Sebab terjadinya perang ini adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirim surat melalui utusannya, Harits bin Umair radhiallahu ‘anhu kepada Raja Bushra. Tatkala utusan ini sampai di Mu’tah (Timur Yordania), ia dihadang dan dibunuh, padahal menurut adat yang berlaku pada saat itu bahkan  berlaku hingga sekarang "bahwa utusan tidak boleh dibunuh dan kapan saja membunuh utusan, maka berarti menyatakan pengumuman perang"
Banyak kisah heroik yang luar biasa dari peperangan ini.  Namun dalam tulisan ini saya hanya ingin mengangkat satu saja di antara semuanya.  Yaitu tentang kisah salah satu Panglima Perang Mu'tah yang ditunjuk langsung oleh Rasulullah SAW, Abdullah bin Rawahah.ra.
Kaum Muslimin menyambut dengan suka cita para komandan yang disebut Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tadi dan mengucap salam kepada mereka saat pasukan mulai berangkat. Ketika pasukan menyalami Abdullâh bin Rawâhah Radhiyallahu anhu, mereka melihat ia menangis. Sehingga ditanyakan kepadanya, “Apa yang membuatmu menangis, hai Ibnu Rawâhah ?”

Abdullâh bin Rawâhah Radhiyallahu anhu menjawab, “Demi Allâh, aku bukan mencintai dunia maupun menangisi kalian, akan tetapi, aku mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat tentang neraka yang bunyinya :

وَإِنْ مِنْكُمْ إِلَّا وَارِدُهَا ۚ كَانَ عَلَىٰ رَبِّكَ حَتْمًا مَقْضِيًّا

Setiap kalian pasti akan melewatinya. Itu adalah ketetapan Allâh yang pasti terlaksana, maka aku tidak tahu, bagaimana aku keluar setelah melewatinya?

Maka kaum Muslimin menimpali, “Semoga Allâh menyertai dan membela kalian, dan semoga kalian kembali kepada kami dalam keadaan baik-baik”.

Pasukan kaum Muslimin pun terus bergerak hingga singgah di sebuah daerah bernama Ma’an di Syam. Mereka mendengar Raja Hiraklius dengan 100 ribu pasukan Romawi telah tiba di Balqa’ dan diperkuat lagi dengan 100 ribu pasukan dari sejumlah kabilah Arab yang loyal kepada Romawi, seperti Lakham, Judzam, Qain, dan Bahra’.

Mendengar besarnya jumlah pasukan musuh, kaum Muslimin sempat menetap di Ma’an selama dua malam, sembari memikirkan keadaan mereka dan kembali mengatur strategi yang mesti diterapkan. Mereka mengusulkan agar berkirim surat kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan memberitahukan jumlah pasukan musuh. Harapannya, supaya beliau n mengirim pasukan tambahan atau menetapkan suatu keputusan untuk mereka taati.

Melihat gelagat kaum Muslimin yang ragu untuk berperang, maka Abdullâh ibnu Rawâhah pun menggelorakan semangat. Ia berseru, “Wahai kaum, apa yang kalian takutkan adalah sesuatu yang kalian kejar selama ini, yaitu mati syahid. Kita memerangi mereka bukan karena jumlah maupun kekuatan kita. Namun kita memerangi mereka karena agama Islam yang dengannya Allâh memuliakan kita. Berangkatlah ! Yang ada hanyalah satu dari dua kebaikan; kemenangan atau mati syahid !”

Mendengar seruan itu, pasukan kaum Muslimin tergugah semangatnya dan menyambutnya, “Sungguh benar ucapan Ibnu Rawâhah”.

Pasukan pun kembali bergerak maju hingga tiba di perbatasan Balqa’, tepatnya di salah satu desa yang bernama Masyârif. Di sana mereka mendapati pasukan Hiraklius yang terdiri dari bangsa Romawi dan Arab.
Ketika musuh mendekat, pasukan kaum Muslimin bergeser ke desa lain yang bernama Mu’tah, hingga di desa itulah kedua pasukan saling berhadapan. Kaum Muslimin telah siaga dengan menunjuk Qutbah bin Qatâdah Radhiyallahu anhu sebagai komandan sayap kanan dan di sayap kiri didaulatlah ‘Ubâdah bin Mâlik al-Anshâri Radhiyallahu anhu .

Perang sengit berkecamuk. Zaid bin Hâritsah Radhiyallahu anhu melesat ke barisan musuh dengan membawa panji-panji Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Dia berperang penuh semangat menerjang barisan musuh hingga syahid tertusuk tombak musuh.

Panji-panji pun lantas diambil alih oleh Ja’far bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu . Perang kembali berkecamuk. Tetapi Ja’far Radhiyallahu anhu tidak mendapatkan celah untuk keluar dari kepungan musuh. Dia pun meloncat dari atas punggung kuda tunggangannya dan menebas keempat kaki kudanya lalu menyeruak ke tengah barisan musuh hingga akhirnya syahid pula. Dan Ja’far adalah orang Islam pertama yang membunuh kudanya di medan perang.

Ibnu Hisyâm rahimahullah meriwayatkan dari sejumlah Ulama yang dianggapnya tsiqah, bahwa Ja’far bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu memegang panji-panji dengan tangan kanannya, akan tetapi kemudian ditebas oleh musuh hingga putus. Dia pun lantas memegangnya dengan tangan kirinya yang kemudian juga ditebas oleh musuh hingga putus. Maka didekaplah panji-panji itu dengan pangkal lengannya hingga iapun gugur dalam usia 33 tahun. Karena pengorbanannya tadi, Allâh Azza wa Jalla mengganti kedua tangannya dengan sepasang sayap, sehingga ia bebas terbang sesukanya di dalam Jannah.

Setelah Ja’far Radhiyallahu anhu terbunuh, panji-panji diambil alih oleh Abdullâh bin Rawâhah Radhiyallahu anhu dan ia pun menerjang maju. Beberapa saat ia berusaha turun dari kudanya, akan tetapi dihinggapi keraguan, lalu ia bersyair untuk menguatkan tekadnya dan meniru kedua sahabatnya yang telah gugur.

Ibnu Rawâhah Radhiyallahu anhu akhirnya juga turun dari kudanya, dan ia dihampiri sepupunya yang membawa sepotong tulang dengan menyisakan sedikit daging, seraya berkata, “Makanlah agar kekuatanmu pulih!”

Ibnu Rawâhah pun mengambil daging tadi dan memakannya. Namun baru sekali menggigitnya, ia mendengar suara hiruk-pikuk dari arah tertentu, dan katanya, “Engkau masih di dunia!”

Mendengar seruan, serta merta dilemparlah daging itu. Sambil menghunus pedangnya, ia maju lagi dan terus berperang hingga syahid. Radhiyallâhu ‘anhum.

Menurut Ibnu Ishaq rahimahullah, ketika ketiga panglima tadi terbunuh, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang kala itu berada di Madînah menceritakan kepada para sahabatnya:

أَخَذَ الرَّايَةَ زَيْدُ بنُ حَارِثَةَ فَقَاتَلَ بِهَا حَتَّى قُتِلَ شَهِيْدًا؛ ثُمَّ أَخَذَهَا جَعْفَرٌ فَقَاتَلَ بِهَا حَتَّى قُتِلَ شَهِيْدًا؛

(panji-panji dibawa oleh Zaid bin Hâritsah, lalu ia bertempur hingga mati syahid; kemudian panji-panji dibawa oleh Ja’far, dan ia bertempur hingga mati syahid);

kemudian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam terdiam hingga raut muka kaum Anshâr pun berubah. Mereka mengira, sesuatu yang tidak disukai telah terjadi pada diri Abdullâh bin Rawâhah Radhiyallahu anhu. Namun Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian berkata :

ثُمَّ أَخَذَهَا عَبْدُاللهِ بنُ رَوَاحَةَ فَقَاتَلَ بِهَا حَتَّى قُتِلَ شَهِيْدًا، ثم قال: لَقَدْ رُفِعُوا إِلَيَّ فِي الجَنَّةِ، فِيمَا يَرَى النَّائِمُ، عَلَى سُرُرٍ مِنْ ذَهَبٍ، فَرَأَيتُ فِي سَرِيرِ عَبْدِاللهِ بنِ رَوَاحَةَ اِزْوِرَارًا عَنْ سَرِيرَيْ صَاحِبَيْهِ، فَقُلْتُ: عَمَّ هَذَا؟ فَقِيلَ لِي: مَضَيَا وَتَرَدَّدَ عَبْدُاللهِ بَعْضَ التَّرَدُّدِ، ثُمَّ مَضَى

Kemudian panji-panji diambil oleh Abdullâh bin Rawâhah, dan ia bertempur hingga mati syahid. Lalu Nabi n bersabda, “Mereka semua ditampakkan kepadaku sedang berada di atas dipan-dipan emas seperti dalam mimpi. Dan kulihat dipan Ibnu Rawâhah agak jauh posisinya dari dipan kedua sahabatnya, maka kutanyakan mengapa bisa begitu? Dan dikatakan kepadaku bahwa kedua sahabatnya maju tanpa ragu, sedangkan Ibnu Rawâhah tampak ragu-ragu, baru kemudian ia maju.

Lihatlah ibrah dari kisah perang Mu'tah ini.  Bagaimana sesungguhnya harga sebuah konsistensi dan keyakinan yang tinggi dalam perjuangan.
Ternyata sebuah keragu-raguan saja mampu menurunkan derajat seorang Abdullah bin Rawahah yang pada awalnya beliau lah pengobar semangat jihad kaum muslimin di perang mu'tah ini.

Maka jika keragu-raguan yang sesaat saja terhadap janji Allah bisa menurunkan derajat, apalagi jika keyakinan sudah hilang dalam diri seseorang tentu ini akan lebih dahsyat lagi dampaknya.  Boleh jadi akan melemparkan diri pemiliknya keluar dari derajat kemuliaan.

Allah SWT sudah mengingatkan kita akan hal ini dalam beberapa ayat:

يَا بَنِيَّ اذْهَبُوا فَتَحَسَّسُوا مِنْ يُوسُفَ وَأَخِيهِ وَلَا تَيْأَسُوا مِنْ رَوْحِ اللَّهِ إِنَّهُ لَا يَيْأَسُ مِنْ رَوْحِ اللَّهِ إِلَّا الْقَوْمُ الْكَافِرُونَ

Artinya: “Wahai anak-anakku, pergilah kalian dan carilah berita mengenai Yusuf dan saudaranya, dan janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tidaklah ada yang berputus asa dari rahmat Allah kecuali orang-orang kafir.” [QS. Yusuf: 87].

قَالَ وَمَنْ يَقْنَطُ مِنْ رَحْمَةِ رَبِّهِ إِلَّا الضَّالُّونَ



“Ibrahim berkata : "Tidak ada orang yang berputus asa dari rahmat Rabbnya, kecuali orang-orang yang sesat." [QS. Al Hijr: 56]

Dan firman-Nya:

وَلَا تَيْأَسُوا مِنْ رَوْحِ اللَّهِ إِنَّهُ لَا يَيْأَسُ مِنْ رَوْحِ اللَّهِ إِلَّا الْقَوْمُ الْكَافِرُونَ

"Dan janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah melainkan kaum yang kafir.” [QS. Yusuf : 87].

Dari ayat-ayat tersebut dapatlah kita pahami bahwa menjaga keyakinan dan sangka baik terhadap Allah adalah wajib hukumnya.
Maka berputus asa dari rahmat Allah dan merasa jauh dari rahmat-Nya merupakan dosa besar.

Kewajiban seorang manusia adalah selalu berbaik sangka terhadap Rabb-nya:
Jika dia meminta kepada Allah, maka dia selalu berprasangka baik, bahwa Allah akan mengabulkan permintaannya.

Jika dia beribadah sesuai dengan syariat dia selalu optimis, bahwa amalannya akan diterima dan
Jika dia ditimpa suatu kesusahan dia tetap berprasangka baik, bahwa Allah akan menghilangkan kesusahan tersebut.

Islam senantiasa mengajarkan optimisme dalam segala hal yang bermanfaat, baik bagi dunia maupun Akhirat bagi pemeluknya. Hal ini tercermin dalam sabda Nabi ﷺ:

احْرِصْ عَلَى مَايَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللهِ وَلَا تَعْجَزْ



Artinya: “Bersemangatlah dalam apa yang bermanfaat bagimu. Mohonlah pertolongan kepada Allah dan janganlah merasa lemah.” [HR. Muslim]

Setelah kita mengetahui hal ini, maka JANGANLAH kita berputus asa ketika ditimpa sakit atau bencana lainnya.

Allah menguji kita dengan masalah, namun yakinlah Allah pun telah siapkan solusinya.

Dia menguji diantara hamba-hamba-Nya. Untuk mengukur siapa diantara kita yang paling kuat taqwanya.

Wallahu 'musta'an

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MERESTART ULANG KEHIDUPAN

* Oleh  : Abu Afra t.me/AbuAfraOfficial Terkadang ada orang yang ketika awal hijrahnya begitu bersemangat.  Dimana-mana selalu ngomong...