Oleh : Muhammad Fitrianto, S.Pd.Gr, Lc, M.A., M.Pd. C.ISP, C.LQ
Pendidikan bukanlah sekadar transfer ilmu di ruang kelas.
Pendidikan adalah semua proses yang membentuk individu menjadi pribadi yang
berakhlak mulia. Dengan kata lain, sekolah hanyalah salah satu tempat yang bisa
menjadi wadah pendidikan, tetapi bukan satu-satunya. Bahkan, tak jarang,
sekolah justru gagal menjalankan fungsi ini.
Saat ini, kita sering terjebak dalam dikotomi pendidikan agama dan
pendidikan umum. Seolah-olah keduanya berjalan di jalur yang terpisah. Padahal,
seharusnya ini diakhiri. Pendidikan yang ideal adalah pendidikan yang
berlandaskan nilai-nilai agama, sehingga setiap ilmu yang dipelajari menjadi
sarana untuk mengenal dan mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Esa, Allah
Subhanahu wa Ta’ala.
Ilmu Itu Tidak
Netral
Ilmu pengetahuan sering dianggap netral, bebas nilai, dan hanya
berlandaskan fakta. Namun, cara pandang ini keliru. Ilmu tidak pernah netral
karena cara kita memahami sebuah fakta sangat dipengaruhi oleh pandangan hidup
kita.
Ambil contoh sederhana, kita mengamati virus. Sains empiris bisa
menjelaskan bagaimana virus menyebar dan menyebabkan penyakit. Namun, ia tidak
bisa menjawab pertanyaan, "Mengapa virus itu datang?" atau "Apakah
virus itu punya kehendak sendiri?"
Hanya ilmu yang berlandaskan wahyu yang bisa menjawabnya. Dalam
pandangan Islam, virus, gempa bumi, atau bencana alam lainnya tidak datang
begitu saja. Itu semua adalah kehendak Allah. Tujuannya bukan untuk merusak, melainkan
untuk menegur, menguji, atau mengingatkan manusia agar kembali ke jalan yang
benar. Dengan demikian, penanggulangan penyakit tidak hanya soal menemukan
obat, tetapi juga tentang meningkatkan ketakwaan dan introspeksi diri. Ini
membuktikan bahwa ilmu, apa pun jenisnya, tidak akan pernah netral.
Landasan
Pendidikan dalam Konstitusi
Pemerintah sesungguhnya telah memiliki landasan kuat untuk
membangun pendidikan yang ideal. Undang-Undang Dasar 1945 secara jelas
menyebutkan bahwa negara kita didasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa. Pasal 31
Ayat 3 bahkan lebih spesifik lagi:
"Pemerintah
mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang
meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa."
Ini adalah panduan yang sangat jelas. Pendidikan nasional kita
harus berorientasi pada pembentukan karakter, bukan sekadar mengejar nilai
akademis. Konsep ini sejalan dengan enam Profil Pelajar Pancasila: beriman,
bertakwa, dan berakhlak mulia, bernalar kritis, kreatif, mandiri, dan bergotong
royong.
Dalam konsep pembelajaran mendalam yang diinisiasi oleh Menteri
Pendidikan Dasar dan Menengah era sekarang disebut dengan 8 profil lulusan. Delapan
dimensi tersebut adalah: keimanan dan ketakwaan, kewargaan, penalaran
kritis, kreativitas, kolaborasi, kemandirian, kesehatan, dan komunikasi.
Namun, pertanyaan besarnya adalah, di mana contoh nyata dari
sekolah pemerintah yang benar-benar menerapkan ini? Bukankah sudah saatnya
pemerintah menciptakan satu sekolah model yang bisa menjadi percontohan?
Belajar dari
Sejarah
Kita punya sejarah panjang dalam dunia pendidikan yang patut
dibanggakan. Saat Indonesia masih dalam masa penjajahan, para ulama dan kiai
mendirikan pondok pesantren dan madrasah tanpa bantuan pemerintah kolonial.
Mereka gigih mendidik generasi yang tak hanya cerdas, tetapi juga berakhlak
mulia dan menjadi pejuang tangguh.
Lihatlah Al-Irsyad, yang pada tahun 1913 sudah membangun sekolah
dengan standar internasional, mendatangkan guru dari Mesir, Turki, dan Sudan.
Sekolah ini melahirkan tokoh-tokoh besar seperti Mohammad Natsir. Mereka
berhasil menjaga akidah dan semangat perjuangan masyarakat, meskipun berada di
bawah tekanan penjajah.
Jika di masa lalu, dengan segala keterbatasan dan tantangan, para
pendahulu kita bisa melahirkan generasi hebat, maka seharusnya saat ini, di
mana pemerintah sudah sangat mendukung, kita bisa berbuat lebih baik. Bantuan,
dana, dan fasilitas yang ada seharusnya menjadi modal untuk menciptakan sistem
pendidikan yang benar-benar unggul, yang mampu melahirkan generasi yang tidak
hanya pintar, tetapi juga adil, jujur, dan berakhlak mulia.
Tanggung jawab ini bukan hanya ada di pundak pemerintah, melainkan
juga ada di setiap individu dan komunitas. Jika pemerintah belum bisa
menyediakan model pendidikan ideal, maka kita sebagai masyarakatlah yang harus
mengambil peran. Sebab, mendidik anak adalah kewajiban yang tak bisa ditawar,
dan hasilnya akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah subhanahu wata’ala.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar