Oleh : Muhammad Firianto, S.Pd.Gr., Lc, M.A., M.Pd, C.ISP, C.LQ
BPS bilang, pendapatan per kapita orang Indonesia Rp6,5 juta per bulan.
Terdengar keren. Seperti brosur bank: foto keluarga bahagia, rumah rapi, mobil mengilap.
Tapi pertanyaan sederhana: siapa yang betul-betul pegang Rp6,5 juta itu tiap bulan?
Rata-rata tabungan orang Indonesia? Hanya Rp4 jutaan. Itu pun saldo, bukan tabungan segar. Artinya: mayoritas rakyat sebenarnya hidup dari gaji ke gaji. Bahkan seringnya: dari pinjaman ke pinjaman.
Lalu lihat lagi garis kemiskinan. Standar BPS cuma Rp609 ribu per orang per bulan. Alias Rp20 ribu sehari. Jadi, kalau seseorang bisa hidup dengan uang Rp20 ribu sehari, ia resmi tidak miskin.
Coba bayangkan.
Rp20 ribu itu bisa untuk apa?
Nasi bungkus sederhana: Rp12 ribu.
Teh manis: Rp5 ribu.
Sisa Rp3 ribu? Mungkin cukup untuk permen karet.
Belum listrik. Belum ongkos. Belum sekolah anak. Belum pulsa.
Sekarang simulasi keluarga sederhana: ayah, ibu, dua anak.
Menurut BPS, cukup hidup dengan Rp2,436 juta sebulan.
Mari hitung yang nyata:
Makan sederhana 4 orang: Rp1,8 juta.
Listrik + air: Rp300 ribu.
Sekolah anak: Rp500 ribu.
Transportasi: Rp400 ribu.
Pulsa: Rp150 ribu.
Total: Rp3,15 juta.
Itu pun tanpa sakit, tanpa hajatan, tanpa bocor ban.
Masih berani bilang Rp2,4 juta itu cukup?
Faktanya, masih ada 23,85 juta orang hidup di bawah angka itu. Termasuk 2,38 juta orang dalam kemiskinan ekstrem.
Dan di ujung lain, 1% orang terkaya Indonesia menguasai 45% kekayaan nasional.
Gambaranya begini:
Di Jakarta Selatan, seseorang bingung pilih menu brunch. Salmon Norwegia atau kaviar Rusia? Kopi single origin di mejanya harganya sama dengan uang jajan sebulan anak sekolah di desa.
Di pinggiran Jawa Tengah, seorang ibu bingung pilih lauk. Tempe setengah papan atau telur satu butir dibagi tiga. Gas melon habis, terpaksa pakai tungku kayu lagi.
Keduanya sama-sama orang Indonesia. Sama-sama masuk hitungan rata-rata Rp6,5 juta per kapita tadi.
Sekarang bandingkan dengan masa Abbasiyah. Di Baghdad abad ke-9, negara lewat baitul mal menggaji guru, tentara, hingga penerjemah kitab. Orang sakit bukan hanya gratis biaya rumah sakit, tapi juga dikasih uang saku saat pulang. Ilmuwan dibayar emas seberat buku yang diterjemahkan.
Bahkan di masa Khalifah Utsman, istri-istri Nabi mendapat tunjangan 10.000 dirham per tahun. Khusus Aisyah, 15.000 dirham. Kalau dirupiahkan sekarang, setara Rp30–45 juta per bulan.
Di sini? Ada ibu rumah tangga yang menutup dapur dengan notifikasi pinjol.
Umar bin Khattab dulu, ketika rakyat lapar, beliau ikut lapar. Sampai wajahnya menghitam karena hanya makan roti kasar. Umar menolak makan daging sampai rakyat kenyang.
Sekarang? Ketika rakyat lapar, yang duluan datang justru iklan “Cairkan pinjaman cepat tanpa agunan”.
Itulah bedanya angka di atas kertas dengan kenyataan di meja makan. Bedanya per kapita di Excel dengan perut per kapita di dapur.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar