Oleh : Muhammad Fitrianto,
S.Pd.Gr, Lc, MA, M.Pd. C.ISP, C.LQ
Bayangkan sebuah rumah. Atapnya mungkin sederhana, dindingnya bisa
jadi penuh retakan, tapi di dalamnya—ada riuh tawa, ada tangis, ada percakapan-percakapan
kecil yang sedang membentuk masa depan. Rumah, sesungguhnya adalah sekolah
pertama. Namun sayangnya, banyak dari kita yang lebih sibuk mengurus kelas di
luar rumah, ketimbang kelas yang ada di ruang tamu sendiri.
Hari ini, di tahun 2025, arus informasi mengalir begitu deras.
Media sosial, gawai, dan dunia digital sudah menjadi guru yang tak terlihat.
Anak-anak lebih cepat meniru tren daripada meniru teladan di rumah. Di sinilah
ujian terbesar orang tua: apakah rumah masih menjadi pusat pendidikan, atau
sekadar tempat anak pulang tanpa arah?
Allah ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ
نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ
“Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api
neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu...” (QS. At-Tahrim: 6).
Ayat ini tegas mengingatkan, tanggung jawab terbesar orang tua
bukan sekadar memberi makan, pakaian, atau sekolah terbaik, tapi menjaga
keluarga dari kebinasaan, membangun benteng iman di dalam rumah.
Kita sering menyangka bahwa "lingkungan" berarti
tetangga, teman kantor, atau masyarakat luas. Padahal, lingkungan yang paling
berpengaruh justru ada di dalam rumah kita sendiri. Jika rumah bisa menjadi
biah sholihah—lingkungan yang baik sekaligus membaikkan—maka anak-anak akan
tumbuh dengan akar yang kuat. Tapi bila rumah berubah menjadi bi’ah fasidah—lingkungan
yang merusak—maka jangan heran bila nilai-nilai kebaikan yang kita ajarkan
kalah telak oleh tontonan singkat di layar ponsel.
Rasulullah ﷺ bersabda:
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Setiap kalian
adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas
kepemimpinannya...” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadits ini menegaskan, orang tua bukan hanya pelindung, tapi juga
guru utama di rumah. Namun sering kali orang tua merasa cukup hanya dengan
memberi contoh. Ya, tentu teladan itu penting. Nabi Muhammad ﷺ adalah teladan terbaik. Tapi mari jujur: teladan saja tidak cukup.
Anak-anak butuh lebih dari sekadar “lihatlah ayahmu shalat” atau “ikuti
ibumu berpuasa.” Mereka butuh dorongan, motivasi, dan kebanggaan atas amal
yang mereka lakukan.
Imam Al-Ghazali
dalam Ihya Ulumuddin menulis:
الصبي أمانة عند والديه، وقلبه الطاهر جوهرة نفيسة ساذجة خالية من كل
نقش وصورة، وهو قابل لكل ما نقش ومائل إلى كل ما يمال به إليه
“Anak kecil
adalah amanah di tangan orang tuanya. Hatinya yang bersih bagaikan permata
murni yang siap menerima ukiran apa pun. Ia condong kepada apa pun yang
diarahkan kepadanya.”
Maka, orang tualah yang mengukir hati itu: apakah diukir dengan
iman, atau dibiarkan kosong lalu diisi dunia luar yang liar.
Coba bandingkan dengan penggemar sepak bola. Banyak yang rela
begadang, menahan kantuk, bahkan berkorban waktu dan tenaga hanya demi
menyaksikan tim kesayangan berlaga. Mengapa? Karena ada rasa bangga di sana.
Nah, kuncinya ada pada kebanggaan itu. Jika anak-anak bangga dengan amal
saleh—dengan shalat, dengan menolong, dengan berbuat baik—maka mereka akan
lebih ringan melangkah ke arah kebaikan. Tapi kalau rumah tidak menanamkan
kebanggaan itu, jangan salahkan bila yang mereka agungkan justru sesuatu yang
jauh dari nilai kebenaran.
Pekerjaan rumah orang tua bukan sekadar "memberi
contoh," melainkan menumbuhkan ikatan. Ikatan itu hadir dari
kedekatan, dari obrolan sederhana, dari momen bercanda di meja makan, dari
telinga yang benar-benar mau mendengar, bukan sekadar mendikte.
Rasulullah ﷺ memberi teladan
bagaimana beliau mendekat pada seorang remaja yang bertanya dengan cara yang
keliru. Beliau tidak membentak, tidak menghakimi. Beliau justru duduk dekat,
bertanya lembut, lalu mengarahkan dengan penuh kasih. Dari situ kita belajar:
nasihat hanya bisa masuk ketika ada kedekatan.
Ada anak-anak yang tumbuh tanpa pernah mengalami “krisis
motivasi.” Mereka tidak pernah kehilangan arah, meski orang tuanya tidak
selalu hadir secara fisik. Rahasianya apa? Satu kata: respek. Mereka
menghormati orang tua karena merasa diperhatikan, dipedulikan, dianggap
penting. Rasa hormat ini jauh lebih kuat daripada sekadar "ketaatan
karena takut." Ketaatan bisa hilang begitu saja saat pengawasan
lengah. Tapi respek akan melekat bahkan ketika orang tua tiada.
Anak-anak lahir
dengan fitrah. Allah ﷻ berfirman:
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا ۚ فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي
فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا ۚ لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ الدِّينُ
الْقَيِّمُ
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas)
fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada
perubahan pada ciptaan Allah. Itulah agama yang lurus...” (QS. Ar-Rum: 30).
Fitrah itu cenderung kepada kebaikan, tapi ia bisa pudar bila tidak
dijaga. Dan penjaga terdekatnya adalah kita, para orang tua.
Rumah yang penuh obrolan sehat, canda yang menguatkan, serta
kebanggaan pada amal kebaikan—itulah benteng sejati anak-anak di tengah
derasnya arus digital tahun 2025 ini. Karena pada akhirnya, kita semua ingin
bisa berkata dengan yakin: “Rumahku, surgaku.”.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar