Oleh : Muhammad Fitrianto, S.Pd.Gr, Lc, M.A., M.Pd, C.ISP, C.LQ
Kita hidup di zaman yang penuh perubahan. Dulu, tantangan dakwah
adalah bagaimana menembus batas wilayah dan bahasa. Kini, tantangannya jauh
lebih kompleks: internet, media sosial, dan kini artificial intelligence (AI).
Semua ini mengubah peta permainan dakwah, game changer yang memaksa kita untuk
beradaptasi atau tertinggal. Masalahnya,
kebenaran kini sering dibolak-balik. Orang yang tak punya ilmu agama bisa
tampil meyakinkan, mengemas pesan dengan visual memukau, dan viral. Sementara
ulama yang berilmu dan ikhlas berdakwah, kontennya tenggelam tanpa like, share,
atau view yang berarti. Lalu, apa yang
harus kita lakukan?
Berikut enam mindset yang wajib dimiliki setiap dai di era AI.
1. Sensitivitas Terhadap Perubahan
Belajar dari sejarah, Daulah Utsmaniyah pernah diingatkan oleh
ilmuwan visioner Umar Thalib tentang ancaman kapal besar Eropa pada abad ke-16.
Peringatan itu diabaikan, dan akhirnya jalur perdagangan serta wilayah Muslim
dikuasai Barat. Begitu pula saat mesin
cetak Gutenberg muncul. Dunia Barat langsung menggunakannya untuk menyebarkan
ilmu, sementara dunia Islam masih menyalin kitab dengan tangan. Akibatnya, umat
Islam tertinggal dalam literasi. Kini,
AI adalah “kapal besar” dan “mesin cetak” baru. Kalau kita tidak melek dan ikut
memanfaatkannya, nasib kita akan sama seperti umat terdahulu—tertinggal dan
terpinggirkan.
2. Ilmu yang Matang dan Diamalkan
AI bisa membantu kita menemukan hadis, menyiapkan silabus, bahkan
membuat tafsir tematik. Tapi ia hanyalah supporting system (alat bantu). Tanpa
logika yang benar dan ilmu yang kokoh, AI hanya mempercepat kebodohan. Seorang dai harus menguasai ilmu agama secara
mendalam: ushul tafsir, fikih, maqashid syariah, musthalah hadis. Dan yang tak
kalah penting, mengamalkan ilmunya. Karena dakwah bukan sekadar transfer
informasi, tetapi pendampingan manusia menuju hidayah.
3. Transformasi Diri (Self
Transformation)
Banyak dai lahir dari pendidikan tradisional, tanpa ilmu teknologi.
Tapi dakwah adalah proses belajar seumur hidup—minal mahdi ilal lahdi.
Rendahkan hati, belajar dari nol, bahkan kepada santri yang lebih paham
teknologi. Jangan berlindung di balik
alasan “yang penting ikhlas” untuk menutupi kemalasan belajar. Rasulullah
sendiri menugaskan Zaid bin Tsabit mempelajari bahasa asing demi kepentingan
dakwah. Dai hari ini pun harus mau mempelajari algoritma media sosial, tren
digital, dan cara kerja AI.
4. Visi Besar (Big Picture)
Waktu dan tenaga dai terbatas. Tidak semua harus menjadi ahli IT
atau jago editing. Yang penting adalah memiliki visi strategis: bagaimana
mentransformasikan ilmu agama agar lebih mudah diakses publik lewat teknologi. Misalnya, mengubah materi kitab kuning yang
sulit menjadi aplikasi interaktif, animasi edukatif, atau kursus daring. Detail
teknis bisa dikerjakan tim, tapi arah besar harus ditentukan oleh sang dai.
5. Teacher is a Leader
Dai bukan sekadar pengajar, tapi pemimpin proyek dakwah. Rasulullah
tidak hanya mengajar, tetapi juga memimpin negara, menjadi hakim, legislator,
panglima, dan pengarah peradaban. Dalam
dakwah digital, dai harus membentuk tim, merekrut talenta terbaik, memberi
arahan, dan memastikan visi terwujud. Seorang guru sejati adalah pemimpin yang
menggerakkan orang lain.
6. Ketahanan dan Konsistensi
Perubahan besar butuh waktu panjang. Rasulullah sendiri pernah
mengalami masa-masa dakwah yang nyaris tidak membuahkan hasil, seperti di Thaif
atau saat bertemu puluhan kabilah yang menolak. Tapi beliau terus mencoba
hingga bertemu kaum Khazraj, cikal bakal Anshar di Madinah. Kita pun harus siap gagal berkali-kali.
Konsistensi (istiqamah) adalah kunci: amal terbaik adalah yang terus-menerus,
walau sedikit. Jangan berhenti hanya karena lelah atau frustasi.
Penutup
Enam mindset ini : sensitivitas terhadap perubahan, ilmu yang matang
dan diamalkan, transformasi diri, visi besar, kepemimpinan, serta
ketahanan
akan menentukan apakah dakwah kita relevan di era digital. Kalau ribuan dai Indonesia memegang prinsip
ini, lalu masuk ke dunia AI dengan konten berkualitas, insyaallah algoritma
internet akan mencari dan menyebarkan ilmu agama yang lurus, bukan sekadar
opini kosong. Dakwah digital bukan
pilihan tambahan, ia adalah keharusan zaman.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar