Selasa, 12 Agustus 2025

Enam Mindset Dai di Era Digital dan AI

Oleh  : Muhammad Fitrianto, S.Pd.Gr, Lc, M.A., M.Pd, C.ISP, C.LQ

Kita hidup di zaman yang penuh perubahan. Dulu, tantangan dakwah adalah bagaimana menembus batas wilayah dan bahasa. Kini, tantangannya jauh lebih kompleks: internet, media sosial, dan kini artificial intelligence (AI). Semua ini mengubah peta permainan dakwah, game changer yang memaksa kita untuk beradaptasi atau tertinggal.  Masalahnya, kebenaran kini sering dibolak-balik. Orang yang tak punya ilmu agama bisa tampil meyakinkan, mengemas pesan dengan visual memukau, dan viral. Sementara ulama yang berilmu dan ikhlas berdakwah, kontennya tenggelam tanpa like, share, atau view yang berarti.  Lalu, apa yang harus kita lakukan?
Berikut enam mindset yang wajib dimiliki setiap dai di era AI.

1. Sensitivitas Terhadap Perubahan

Belajar dari sejarah, Daulah Utsmaniyah pernah diingatkan oleh ilmuwan visioner Umar Thalib tentang ancaman kapal besar Eropa pada abad ke-16. Peringatan itu diabaikan, dan akhirnya jalur perdagangan serta wilayah Muslim dikuasai Barat.  Begitu pula saat mesin cetak Gutenberg muncul. Dunia Barat langsung menggunakannya untuk menyebarkan ilmu, sementara dunia Islam masih menyalin kitab dengan tangan. Akibatnya, umat Islam tertinggal dalam literasi.  Kini, AI adalah “kapal besar” dan “mesin cetak” baru. Kalau kita tidak melek dan ikut memanfaatkannya, nasib kita akan sama seperti umat terdahulu—tertinggal dan terpinggirkan.

2. Ilmu yang Matang dan Diamalkan

AI bisa membantu kita menemukan hadis, menyiapkan silabus, bahkan membuat tafsir tematik. Tapi ia hanyalah supporting system (alat bantu). Tanpa logika yang benar dan ilmu yang kokoh, AI hanya mempercepat kebodohan.  Seorang dai harus menguasai ilmu agama secara mendalam: ushul tafsir, fikih, maqashid syariah, musthalah hadis. Dan yang tak kalah penting, mengamalkan ilmunya. Karena dakwah bukan sekadar transfer informasi, tetapi pendampingan manusia menuju hidayah.

3. Transformasi Diri (Self Transformation)

Banyak dai lahir dari pendidikan tradisional, tanpa ilmu teknologi. Tapi dakwah adalah proses belajar seumur hidup—minal mahdi ilal lahdi. Rendahkan hati, belajar dari nol, bahkan kepada santri yang lebih paham teknologi.  Jangan berlindung di balik alasan “yang penting ikhlas” untuk menutupi kemalasan belajar. Rasulullah sendiri menugaskan Zaid bin Tsabit mempelajari bahasa asing demi kepentingan dakwah. Dai hari ini pun harus mau mempelajari algoritma media sosial, tren digital, dan cara kerja AI.

4. Visi Besar (Big Picture)

Waktu dan tenaga dai terbatas. Tidak semua harus menjadi ahli IT atau jago editing. Yang penting adalah memiliki visi strategis: bagaimana mentransformasikan ilmu agama agar lebih mudah diakses publik lewat teknologi.  Misalnya, mengubah materi kitab kuning yang sulit menjadi aplikasi interaktif, animasi edukatif, atau kursus daring. Detail teknis bisa dikerjakan tim, tapi arah besar harus ditentukan oleh sang dai.

 5. Teacher is a Leader

Dai bukan sekadar pengajar, tapi pemimpin proyek dakwah. Rasulullah tidak hanya mengajar, tetapi juga memimpin negara, menjadi hakim, legislator, panglima, dan pengarah peradaban.  Dalam dakwah digital, dai harus membentuk tim, merekrut talenta terbaik, memberi arahan, dan memastikan visi terwujud. Seorang guru sejati adalah pemimpin yang menggerakkan orang lain.

6. Ketahanan dan Konsistensi

Perubahan besar butuh waktu panjang. Rasulullah sendiri pernah mengalami masa-masa dakwah yang nyaris tidak membuahkan hasil, seperti di Thaif atau saat bertemu puluhan kabilah yang menolak. Tapi beliau terus mencoba hingga bertemu kaum Khazraj, cikal bakal Anshar di Madinah.  Kita pun harus siap gagal berkali-kali. Konsistensi (istiqamah) adalah kunci: amal terbaik adalah yang terus-menerus, walau sedikit. Jangan berhenti hanya karena lelah atau frustasi.

Penutup

Enam mindset ini  :  sensitivitas terhadap perubahan, ilmu yang matang dan diamalkan, transformasi diri, visi besar, kepemimpinan, serta ketahanan
akan menentukan apakah dakwah kita relevan di era digital.  Kalau ribuan dai Indonesia memegang prinsip ini, lalu masuk ke dunia AI dengan konten berkualitas, insyaallah algoritma internet akan mencari dan menyebarkan ilmu agama yang lurus, bukan sekadar opini kosong.  Dakwah digital bukan pilihan tambahan, ia adalah keharusan zaman.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Meniti Jalan Hidayah: Dari Adab Dasar Menuju Puncak Kemuliaan

  Oleh  :  Muhammad Fitrianto, S.Pd.Gr, Lc, M.A., M.Pd Setiap Muslim mendambakan hidayah, cahaya petunjuk dari Allah SWT yang menerangi ja...