Kamis, 23 Januari 2020

MENGAMBIL IBRAH DARI PERJANJIAN HUDAIBIYYAH*


*Oleh : Abu Afra*
_(Khadim Majelis Ta'lim Tazkiyatun Nufus Banjarbaru)_

Diceritakan sebelum perjanjian Hudaibiyah, hubungan antara kaum muslimin dan kafir Quraisy adalah hubungan perang.

Kekalahan pada peristiwa perang Ahzab masih menyisakan dendam kesumat bagi orang-orang quraisy.  Sehingga mereka senantiasa menunggu-nunggu waktu yang tepat untuk melakukan pembalasan.

Sampailah datang musim haji.  Rasulullah SAW dan para sahabat berencana untuk menunaikan ibadah haji dan umrah pada tahun itu.

Walaupun kondisi keamanan pada ketika itu tidaklah kondusif, namun Rasulullah SAW tetap dengan keputusan beliau.  Haji dan Umrah harus tetap dilaksanakan.

Ada beberapa misi yang ingin beliau wujudkan melalui aktifitas ibadah haji ini.  Adapun misi terbesar beliau SAW adalah misi dakwah.  Beliau sangat memahami bahwa musim haji adalah saat yang sangat tepat untuk melakukan kontak maqshudah dan membangun opini umum.  Karena pada saat itu banyak berkumpul manusia dari berbagai negeri mendatangi kota suci.

Misi ini pun dijalankan, 1400 orang bersama Nabi SAW berangkat menuju Makkah.  Dengan hanya menggunakan pakaian ihram dan senjata tersarung mereka menyusuri padang gurun untuk beribadah haji.  Tidak terbersit di benak Rasul SAW niatan untuk berperang sedikitpun.

Ketika rombongan sudah sampai diperbatasan.  Maka terlihatlah oleh Khalid dan Ikrimah yang tengah berpatroli.  Betapa kagetnya mereka ternyata rombongan kaum muslimin sudah sangat dekat dengan mereka.

Tempat itu bernama Hudaibiyah, sekitar 22 KM sebelah barat kota Makkah menuju arah Jeddah.  Mereka pun kalut dan merasa perlu melakukan persiapan pasukan perang untuk menghadang rombongan tersebut.

Kaum muslimin juga pada ketika itu dalam kondisi mentalitas yang sangat siap untuk berperang.  Walaupun dalam kondisi seadanya.

Namun Rasul SAW tetap dengan khittah awalnya datang dengan damai dan pulang dengan kemenangan.  Niat awal beliau adalah berhaji bukan berperang.  Inilah yang beliau pegang.

Bagaimanapun kondisinya beliau bertekad untuk tidak akan mengubah misinya.  Beliau SAW memiliki keyakinan yang berbeda dengan kebanyakan kaum muslimin pada ketika itu. 

Mayoritas kaum muslimin sudah begitu yakin perang akan terjadi.  Sementara Nabi SAW meyakini bahwa kaum kafir Quraisy telah kalah secara mentalitas pasca kekalahan Ahzab.  Sehingga mereka tidak akan mungkin berani menyerang duluan.

Ternyata benar apa yang diperkirakan oleh Baginda Nabi SAW.  Kaum kafir Quraisy hanya berani mengamati dan menunggu di markas mereka.  Sambil sesekali mengirim utusan untuk memastikan lagi misi dari pasukan Nabi.

Kaum kafir Quraisy tetap dalam ketakutannya.  Sementara Rasul tetap teguh dengan keyakinan beliau.

Disinilah kita belajar betapa berharganya sebuah keyakinan yang kokoh.

Beberapa utusan telah dikirim oleh kafir Quraisy.  Tetapi beberapa kali pula mereka mementahkan laporannya.  Mereka tidak yakin dengan penglihatan dan pendengaran mereka sendiri. Begitulah Allah tanamkan keragu-raguan dalam dada mereka.

Ketakutan akan kekalahan di Ahzab begitu menghantui mereka.  Padahal pada saat itu secara logika matematis mereka unggul di sisi jumlah dan senjata.  Kaum muslimin yang berjumlah 1400 orang hanya datang dengan peralatan seadanya saja.

Begitulah Rasul SAW mengajarkan kepada kita semua ummatnya agar tetap yakin dalam kondisi bagaimanapun.

Berprasangka baik dalam segala kondisi.  Karena semakin kuat keyakinan sungguh semakin dekat pula dengan kemenangan.

Nabi SAW kemudian mengambil langkah positif dengan mengutus Usman Bin Affan kepada pemuka kaum Quraisy. Perundingan tersebut akhirnya menghasilkan kesimpulan bahwa hanya memperbolehkan Usman bin Affan untuk melaksanakan ibadah umrah.

Perdebatan panjang dan waktu yang cukup lama tersebut menyebabkan munculnya desas-desus bahwa Usman telah dibunuh secara muslihat.

Nabi Muhammad SAW dan pengikutnya merasa gelisah. Merekapun menunjukkan rasa solidaritas yang kuat dengan saling meletakkan tangannya di atas beberapa pedang yang dibawanya untuk keperluan pemotongan binatang kurban. Sumpah setia ini dalam sejarah Islam dikenal dengan nama Bai’atur Ridwan.

Sumpah setia ini pun sampai ke pihak Quraisy dan menggetarkan hati mereka. Mereka segera mengadakan sidang darurat untuk mencari cara menghadapi ancaman kaum Muslimin. Kaum Quraisy sejatinya mengalami kejatuhan mental karena mereka masih trauma dengan kekalahan mereka pada Perang Badar. Pada Perang Badar, kaum muslimin dapat mengalahkan kaum Quraiys walaupun dengan pasukan yang jauh lebih sedikit.

Kabar mengenai kejatuhan mental para petinggi Quraisy dan kepulangan Usman bin Affan membuat kaum Quraisy percaya bahwa kedatangan Nabi dan pengikutnya hanyalah untuk melakukan ibadah umrah dan bukan untuk berperang. Pihak Qurais pun akhirnya mengirimkan utusannya untuk melaksanakan perundingan guna menghindari kesalahpahaman. Upaya untuk mencapai titik komporomi diwakili oleh Suhail Ibnu Umar  dari kalangan Quraisy dan kaum Muslimin diwakili oleh Nabi Muhammad SAW. Maka pertemuan tersebut menghasilkan Perjanjian Hudaibiyah.

Garis besar Perjanjian Hudaibiyah berisi: "Dengan nama Tuhan. Ini perjanjian antara Muhammad dan Suhail bin 'Amru, perwakilan Quraisy. Tidak ada peperangan dalam jangka waktu sepuluh tahun. Siapapun yang ingin mengikuti Muhammad, diperbolehkan secara bebas. Dan siapapun yang ingin mengikuti Quraisy, diperbolehkan secara bebas. Seorang pemuda, yang masih berayah atau berpenjaga, jika mengikuti Muhammad tanpa izin, maka akan dikembalikan lagi ke ayahnya dan penjaganya. Bila seorang mengikuti Quraisy, maka ia tidak akan dikembalikan. Tahun ini Muhammad akan kembali ke Madinah. Tapi tahun depan, mereka dapat masuk ke Mekkah, untuk melakukan tawaf disana selama tiga hari. Selama tiga hari itu, penduduk Quraisy akan mundur ke bukit-bukit. Mereka haruslah tidak bersenjata saat memasuki Mekkah"

Secara sekilas isi perjanjian huidaibiyah itu merugikan kaum muslimin.  Namun dengan pandangan yang lebih tajam jauh ke depan Rasul SAW melihat ada maslahat bagi dakwah Islam dari adanya perjanjian Hudaibiyah ini.

Faktanya memang benar, kemudian hari perjanjian hudaibiyah menjadi pintu pembuka pembebasan kota Makkah oleh kaum muslimin.  Hal inilah yang kemudian menjadi asbabun nuzul dari surat Al Fath.

Maka kemenangan itu menjadi nyata bagi kaum muslimin.  Setelah mereka berada dalam kondisi terjepit dan sulit yang mengiringinya. Allah Ta’ala berfirman,

فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا

“Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan,” (QS. Al-Insyirah 94: Ayat 5)

Allah Ta’ala menceritakan bahwa sesungguhnya sesudah kesulitan pasti ada kemudahan, kemudian berita ini diulangi-Nya lagi.

Masihkah kita ragu dengan pertolongan Allah?

_Wallahu 'a lam bish showab._

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MERESTART ULANG KEHIDUPAN

* Oleh  : Abu Afra t.me/AbuAfraOfficial Terkadang ada orang yang ketika awal hijrahnya begitu bersemangat.  Dimana-mana selalu ngomong...