Kamis, 16 Januari 2020

WAHAI PARA GURU, SADARI KEMULIAANMU*

*

_Oleh : Abu Afra_

Kita sangat familiar dengan hadits yang berbunyi خير الناس أنفعهم للناس (khoirunnas anfa'uhum linnas). Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain.

Hadits shahih tentang sebaik-baik manusia ini diriwayatkan dari Jabir.


عن جابر قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : « المؤمن يألف ويؤلف ، ولا خير فيمن لا يألف ، ولا يؤلف، وخير الناس أنفعهم للناس »


Dari Jabir, ia berkata,”Rasulullah Saw bersabda,’Orang beriman itu bersikap ramah dan tidak ada kebaikan bagi seorang yang tidak bersikap ramah. Dan sebaik-baik manusia adalah orang yang paling bermanfaat bagi manusia.” (HR. Thabrani dan Daruquthni).

Status kemuliaan kita sebagai manusia sangat ditentukan oleh sisi manfaat kita terhadap yang lainnya.  Dan untuk bisa memberi manfaat yang sebanyak-banyaknya kepada orang lain tentu diperlukan pengetahuan yang cukup tentang apa dan bagaimana seharusnya ukuran kemanfaatan itu sendiri di dalam Islam.

Seringkali orang berfikir asal mampu mendatangkan hal-hal yang disenangi oleh manusia maka dia sudah mendatangkan manfaat bagi orang lain.  Atau terkadang juga, asal bisa memberikan manfaat dari sisi materi saja maka dianggaplah telah mampu mendatangkan manfaat.

Sejatinya pandangan tersebut tidak sepenuhnya benar, namun tidak pula seluruhnya salah.

Asas manfaat di dalam syariat kita tentu tidaklah lama dengan asas manfaat yang dimaksud dalam sistem kapitalis sekuler warisan peradaban barat.

Di dalam sistem hidup Islam manfaat itu diukur melalui kaca mata syariat.  Maksudnya, apakah suatu perkara diridhoi oleh Allah atau justru dimurkainya. Atau apakah hal tersebut diperintahkan -Nya atau justru dilarang.

Sehingga ukuran manfaat itu bukan dilihat dari perbuatan atau benda itu sendiri, melainkan oleh sesuatu yang lain. Maksudnya disini adalah bagaimana syara memandangnya.

Sementara dalam sistem sekuler kapitalis seperti sekarang ini.  Asas manfaat itu diukur dari seberapa banyak keuntungan secara materil yang didapat manusia.  Atau seberapa banyak orang menyenangi hal tersebut.

Inilah kenapa seringkali seseorang yang mengukur manfaat dengan kaca mata Islam akan berbeda dengan orang lain yang mengukur asas manfaat itu dari sudut pandang yang lain.

Maka dalam menafsirkan hadits di atas juga akan berbeda outputnya.  Misal, berdasarkan hadits tersebut orang yang paling baik adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain.  Secara sederhana jika dilihat dari terminologi orang kapitalis tentu yang dimaksud disini adalah orang yang paling kaya secara materi.

Sehingga profesi terbaik dalam kaca mata ini adalah profesi-profesi yang mampu mendatangkan banyak uang atau kekayaan.

Kenapa demikian? Karena orang kaya logikanya paling besar potensinya untuk mendatangkan kemanfaatan kepada yang lainnya secara keuntungan materi maupun kecintaan manusia terhadapnya.

Akan tetapi jika diukur dengan kaca mata syariat.  Manusia terbaik itu tidak mesti harus kaya raya.  Yang penting dia mampu mendatangkan kemanfaatan yang besar dari sudut pandang syariat. Baik lewat hartanya atau lewat yang lainnya. Intinya bertaqwa sajalah.

Sebagaimana Allah sampaikan di dalam Al Quran :
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ

Yang mana dengan ketaqwaan itulah akan banyak orang yang terpapar manfaat darinya.  Dan tentu menjadi bertaqwa tidak harus kaya, namun boleh jadi juga seorang yang kaya.

Kuncinya tentu saja yang paling penting adalah ilmu. Karena ketaqwaan tidak akan mampu diraih kecuali dengan pengetahuan yang benar terhadap segala seruan Rab-Nya.

Dalam kaca mata syariat mereka yang paling mengetahui kebenaran dan paling kuat komitmennya terhadap kebenaran Islam yang merupakan manifestasi dari seruan Rab Semesta Raya  ini adalah para Ulama atau para Guru.

Mereka adalah para guru-guru mulia yang mengajarkan manusia banyak hal tentang apa yang mampu menyelamatkan  dalam menjalani kehidupan di dunia dan di akhirat.

Al Imam Ghazali pernah membagi manusia menjadi empat (4) golongan.  Salah satu diantara yang disebutkan beliau sebagai golongan terbaik  yaitu Rojulun Yadri wa Yadri Annahu Yadri (Seseorang yang Tahu (berilmu), dan dia Tahu kalau dirinya Tahu).

Orang ini bisa disebut para  ‘alim = mengetahui.  Siapa mereka? Siapa lagi kalau bukan para guru.  Merekalah sebenarnya wasilah kemanfaatan bagi banyak orang.

 Bahkan Nabi SAW menyebut kalangan mereka ini sebagai waratsatul anbiya (pewaris para nabi). Luar Biasa!

Al Imam Al Ghazali juga mengatakan,
“Ini adalah jenis manusia yang paling baik. Jenis manusia yang memiliki kemapanan ilmu, dan dia tahu kalau dirinya itu berilmu, maka ia menggunakan ilmunya. Ia berusaha semaksimal mungkin agar ilmunya benar-benar bermanfaat bagi dirinya, orang sekitarnya, dan bahkan bagi seluruh umat manusia. Manusia jenis ini adalah manusia unggul. Manusia yang sukses dunia dan akhirat,”

Hanya saja menjadi guru memanglah tidak menjanjikan harta dunia yang berlimpah.  Tapi sadarilah, bahwa menjadi seorang guru itu hidupnya berlimpah berkah.

Maka sadarilah olehmu wahai para guru akan kemuliaan profesimu.  Syukuri dengan cara terus memantaskan diri agar menjadi guru yang terbaik.  Karena dari kalianlah lahir generasi terbaik umat ini sebagaimana yang telag dijanjikan.

Cukup lah rasanya bisyarah Rasulullah tentang kemulian para guru menjadi penguat dalam menjalani tugas berat sebagai pembina.

Sebagai penutup dari tulisan kecil ini saya kutipkan sebuah hadits tentang betapa agungnya hadiah untuk para guru.

Dari Abu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda;
مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ
“Siapa yang menunjukkan seseorang kepada kebaikan , maka ia memperoleh pahala seperti pahala orang yang melakukannya” (HR. Muslim)._

_Wallahu Musta'an_

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MERESTART ULANG KEHIDUPAN

* Oleh  : Abu Afra t.me/AbuAfraOfficial Terkadang ada orang yang ketika awal hijrahnya begitu bersemangat.  Dimana-mana selalu ngomong...