Selasa, 07 Maret 2017

Freeport Berulah, Negara Kalah



“Lebih baik Indonesia tenggelam ke dasar lautan daripada jadi ‘jongos’ bangsa lain” (Drs. M. Hatta, Wakil Presiden RI yang pertama).

Freeport McMoran Inc sebagai induk usaha dari PT Freeport Indonesia, mengancam akan menggugat pemerintah Indonesia ke Arbitrase Internasional. Bila tak ada jalan keluar terkait izin ekspor dan kepastian investasi perusahaan tambang asal Amerika Serikat (AS) ini. (https://finance.detik.com/energi/d-3427122/freeport-ancam-gugat-ke-abitrase-jonan-pemerintah-juga-bisa).
Sungguh aneh tapi nyata di negeri kita tercinta ini sebuah perusahaan mampu menggertak Pemerintah.  Bahkan tidak hanya sampai disitu, mereka juga mampu mengendalikan kebijakan.  Sebut saja salah satu perusahaan tambang emas asal amrik ini, begitu pongahnya membrikan ancaman kepada pemerintah terkait kebijakan yang tidak menguntungkan mereka.
Padahal secara logika seharusnya yang lebih layak memberikan ancaman atau gertakan itu justru sebaliknya.  Namun apa mau dikata inilah yang terjadi, rupanya dunia sudah terbalik.  Ibarat jongos sudah berani mengancam bos karena selama ini diperlakukan laksana bos besar yang selalu saja benar.
Sungguh ini masalah besar bagi negeri ini, di saat seharusnya negeri ini mampu menunjukan wibawa kedaulatan bangsanya.  Ancam mengancam yang ditujukan kepada pemerintahan negeri ini telah meluluhlantakan kepercayaan akan kuatnya kewibawaan bangsa.  Sebenarnya ada apa dengan negeri ini? Ada apa dengan Freeport?

Freeport mulai menjarah emas di Papua sejak 1967. Namun Freeport Indonesia berdiri beberapa tahun sebelumnya. Semula bernama Freeport Sulphur, beroperasi di Kuba dan nyaris bangkrut ketika terjadi pergantian kekuasaan di Kuba tahun 1959. Tahun 1959, Fidel Castro menjatuhkan rezim diktator Batista dan menasionalisasi semua aset asing di Kuba. Freeport Sulphur yang di tahun 1959 sedang memulai ekspor nikel dari Kuba, ikut terkena imbas nasionalisasi Fidel Castro di Kuba.
Freeport Sulphur pun sempat beberapa kali melakukan percobaan pembunuhan terhadap Castro, tapi digagalkan. Di tengah keputusasaan itu, Direktur Freeport Sulphur Forbes Wilson bertemu dengan Direktur East Borneo Company Jan van Gruisen. Pada pertemuan itu, Gruisen menceritakan soal penelitian Mountain Ersberg (Gunung Tembaga) di Papua Barat karya Jean Jaques Dozy pada 1936.
Revisi: Penelitian Dozy yang dianggap mitos itu, membuat Forbes Wilson tertarik karena dikatakan Gruisen, Tembaga berserakan di tanah. Forbes Wilson segera menyusun tim ekspedisi ke Papua Barat untuk membuktikan penelitian Dozy yang diceritakan Gruisen. Ekspedisi ini membuahkan hasil yang mengejutkan, bahwa penelitian Dozy dalam Mountain Ersberg bukanlah mitos, ia benar adanya. Forbes Wilson pun menuliskan ekspedisi ‘menemukan’ Gunung Tembaga ini dalam sebuah buku berjudul “The Conquest of Cooper Mountain”
Serupa dengan penelitian Dozy, ekspedisi Forbes Wilson dan Freeport Sulphur menemukan bahwa Tembaga di Papua Barat itu berserakan di tanah. Tak hanya tembaga, ekspedisi Wilson dan Freeport Sulphur juga menemukan bahwa emas dan perak juga bergelimpangan di Papua Barat.
Tak hanya tembaga, ekspedisi Wilson dan Freeport Sulphur juga menemukan bahwa emas dan perak juga bergelimpangan di Papua Barat. Dalam “The Conquest of Cooper Mountain” pun, Forbes Wilson menyebut nama gunung ini seharusnya Gold Mountain alias Gunung Emas. Temuan di Papua Barat ini pun menjadi harapan Freeport Sulphur untuk bangkit dari kebangkrutan dan jalan untuk meninggalkan Kuba.
Sejak saat itulah dominasi besar yang mencengkram kekayaan negeri ini dimulai.  Diatur berbagai macam strategi untuk menguasai tambang emas terbesar di dunia.  Mulai dari zaman Soekarno yang ternyata tidak berjalan mulus.  Sampai akhirnya mereka menemukan momennya pada rezim Soeharto.
Ketika ketika UU No. 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) yang draftnya dirancang di Jenewa-Swiss yang didiktekan Rockefeller, disahkan tahun 1967, maka perusahaan asing pertama yang kontraknya ditandatangani Suharto adalah Freeport. Inilah kali pertama kontrak perminyakan yang baru dibuat. Jika di zaman Soekarno kontrak-kontrak dengan perusahaan asing selalu menguntungkan Indonesia, maka sejak Soeharto berkuasa, kontrak-kontrak seperti itu malah banyak merugikan Indonesia.

Perjalanan panjang Freeport dalam mengeruk kekayaan alam di Papua ini yang selama ini berjalan mulus tentu memberikan kesan yang aneh bagi kita yang mau berfikir.  Bagaimana sumber daya alam yang begitu besarnya bisa dengan mudah begitu saja diserahkan kepada pihak swasta asing yang notabene bangsa penajajah dan tidak pernah peduli dengan penduduk negeri ini.

Tapi itulah  hasil dari sistem demokrasi, dimana faktanya adalah siapa yang memiliki modal lebih kuat maka dialah yang menang.  Sehingga teori bahwa kedaulatan itu di tangan rakyat tidak lebih dari sekedar pameo kosong tanpa wujud.  Lebih tepatnya form company, by company to company.
Kekayaan alam yang begitu dahsyat di negeri ini yang sejatinya bisa digunakan untuk mensejahterakan rakyat,  sesungguhnya jika dikelola dengan baik akan mampu memberikan hasil yang luar biasa.  Tapi apa mau dikata, kekayaan itu diserahkan kepada kumpulan manusia-manusia serakah dan dikelola secara brutal untuk kesejahteraan bos-bos besar.

Sekiranya sejak awal kekayaan negeri ini dikelola dengan syariah Islam, maka tentu negeri ini akan
merasakan langsung manfaat dan hasilnya.  Kedaulatan bangsa juga tidak akan diinjak-injak oleh negeri penajajah.  Karena syariah melarang kepemilikan umum seperti tambang dikuasai oleh segelintir orang seperti swasta apalagi asing penajajah.

Maka sudah sepantasnya bagi negeri ini untuk mengambil syariah Islam dalam mengelola kekayaan alam yang berlimpah ruah.  Meninggalkan sistem jahiliyah yang terbukti menistakan bangsa dan rakyatnya.  Bahkan penguasa negeri seolah tak lagi punya harga diri dan muru’ah.  Kembalilah pada syariah dan mari kelola dengan sistem yang penuh barokah.

Hanya dengan cara itulah kita bangsa Indonesia akan kembali merasakan kesejahteraan dan kedaulatan yang hakiki.  Tentu tidak cukup menjadikan syariah hanya sebagai pengatur dalam sistem pertambangan, melainkan juga harus mengatur seluruh kebijakan negeri ini.  Dan semua itu hanya bisa diwujudkan dengan menerapkan sistem Khilafah ala min hajin nubuwah sebagai wadah paling indah bagi hukum syariah.**

Wallahu’alam bis showab.


Penulis             :  Muhammad Fitrianto
Aktifis HTI Kota Banjarbaru
Guru Sekolah Islam Terpadu Insantama Banjarbaru






Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MERESTART ULANG KEHIDUPAN

* Oleh  : Abu Afra t.me/AbuAfraOfficial Terkadang ada orang yang ketika awal hijrahnya begitu bersemangat.  Dimana-mana selalu ngomong...