“Lebih baik Indonesia tenggelam ke
dasar lautan daripada jadi ‘jongos’ bangsa lain” (Drs. M. Hatta, Wakil Presiden
RI yang pertama).
Freeport McMoran Inc sebagai induk usaha dari PT Freeport
Indonesia, mengancam akan menggugat pemerintah Indonesia ke Arbitrase
Internasional. Bila tak ada jalan keluar terkait izin ekspor dan kepastian
investasi perusahaan tambang asal Amerika Serikat (AS) ini. (https://finance.detik.com/energi/d-3427122/freeport-ancam-gugat-ke-abitrase-jonan-pemerintah-juga-bisa).
Sungguh aneh tapi nyata di negeri kita tercinta ini sebuah
perusahaan mampu menggertak Pemerintah.
Bahkan tidak hanya sampai disitu, mereka juga mampu mengendalikan
kebijakan. Sebut saja salah satu
perusahaan tambang emas asal amrik ini, begitu pongahnya membrikan ancaman
kepada pemerintah terkait kebijakan yang tidak menguntungkan mereka.
Padahal secara logika seharusnya yang lebih layak memberikan
ancaman atau gertakan itu justru sebaliknya.
Namun apa mau dikata inilah yang terjadi, rupanya dunia sudah
terbalik. Ibarat jongos sudah berani
mengancam bos karena selama ini diperlakukan laksana bos besar yang selalu saja
benar.
Sungguh ini masalah besar bagi negeri ini, di saat seharusnya
negeri ini mampu menunjukan wibawa kedaulatan bangsanya. Ancam mengancam yang ditujukan kepada
pemerintahan negeri ini telah meluluhlantakan kepercayaan akan kuatnya kewibawaan
bangsa. Sebenarnya ada apa dengan negeri
ini? Ada apa dengan Freeport?
Freeport mulai menjarah emas di Papua sejak 1967. Namun Freeport
Indonesia berdiri beberapa tahun sebelumnya. Semula bernama Freeport Sulphur,
beroperasi di Kuba dan nyaris bangkrut ketika terjadi pergantian kekuasaan di
Kuba tahun 1959. Tahun 1959, Fidel Castro menjatuhkan rezim diktator Batista
dan menasionalisasi semua aset asing di Kuba. Freeport Sulphur yang di tahun
1959 sedang memulai ekspor nikel dari Kuba, ikut terkena imbas nasionalisasi
Fidel Castro di Kuba.
Freeport Sulphur pun sempat beberapa kali melakukan percobaan
pembunuhan terhadap Castro, tapi digagalkan. Di tengah keputusasaan itu,
Direktur Freeport Sulphur Forbes Wilson bertemu dengan Direktur East Borneo
Company Jan van Gruisen. Pada pertemuan itu, Gruisen menceritakan soal
penelitian Mountain Ersberg (Gunung Tembaga) di Papua Barat karya Jean Jaques
Dozy pada 1936.
Revisi: Penelitian Dozy yang dianggap mitos itu, membuat Forbes
Wilson tertarik karena dikatakan Gruisen, Tembaga berserakan di tanah. Forbes
Wilson segera menyusun tim ekspedisi ke Papua Barat untuk membuktikan
penelitian Dozy yang diceritakan Gruisen. Ekspedisi ini membuahkan hasil yang
mengejutkan, bahwa penelitian Dozy dalam Mountain Ersberg bukanlah mitos, ia
benar adanya. Forbes Wilson pun menuliskan ekspedisi ‘menemukan’ Gunung Tembaga
ini dalam sebuah buku berjudul “The Conquest of Cooper Mountain”
Serupa dengan penelitian Dozy, ekspedisi Forbes Wilson dan
Freeport Sulphur menemukan bahwa Tembaga di Papua Barat itu berserakan di tanah.
Tak hanya tembaga, ekspedisi Wilson dan Freeport Sulphur juga menemukan bahwa
emas dan perak juga bergelimpangan di Papua Barat.
Tak hanya tembaga, ekspedisi Wilson dan Freeport Sulphur juga
menemukan bahwa emas dan perak juga bergelimpangan di Papua Barat. Dalam “The
Conquest of Cooper Mountain” pun, Forbes Wilson menyebut nama gunung ini
seharusnya Gold Mountain alias Gunung Emas. Temuan di Papua Barat ini pun
menjadi harapan Freeport Sulphur untuk bangkit dari kebangkrutan dan jalan
untuk meninggalkan Kuba.
Sejak saat itulah dominasi besar yang mencengkram kekayaan
negeri ini dimulai. Diatur berbagai
macam strategi untuk menguasai tambang emas terbesar di dunia. Mulai dari zaman Soekarno yang ternyata tidak
berjalan mulus. Sampai akhirnya mereka
menemukan momennya pada rezim Soeharto.
Ketika
ketika UU No. 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) yang draftnya
dirancang di Jenewa-Swiss yang didiktekan Rockefeller, disahkan tahun 1967,
maka perusahaan asing pertama yang kontraknya ditandatangani Suharto adalah
Freeport. Inilah kali pertama kontrak perminyakan yang baru dibuat. Jika di
zaman Soekarno kontrak-kontrak dengan perusahaan asing selalu menguntungkan
Indonesia, maka sejak Soeharto berkuasa, kontrak-kontrak seperti itu malah
banyak merugikan Indonesia.
Perjalanan
panjang Freeport dalam mengeruk kekayaan alam di Papua ini yang selama ini
berjalan mulus tentu memberikan kesan yang aneh bagi kita yang mau
berfikir. Bagaimana sumber daya alam
yang begitu besarnya bisa dengan mudah begitu saja diserahkan kepada pihak
swasta asing yang notabene bangsa penajajah dan tidak pernah peduli dengan
penduduk negeri ini.
Tapi
itulah hasil dari sistem demokrasi,
dimana faktanya adalah siapa yang memiliki modal lebih kuat maka dialah yang
menang. Sehingga teori bahwa kedaulatan
itu di tangan rakyat tidak lebih dari sekedar pameo kosong tanpa wujud. Lebih tepatnya form company, by company to
company.
Kekayaan
alam yang begitu dahsyat di negeri ini yang sejatinya bisa digunakan untuk
mensejahterakan rakyat, sesungguhnya
jika dikelola dengan baik akan mampu memberikan hasil yang luar biasa. Tapi apa mau dikata, kekayaan itu diserahkan
kepada kumpulan manusia-manusia serakah dan dikelola secara brutal untuk
kesejahteraan bos-bos besar.
Sekiranya
sejak awal kekayaan negeri ini dikelola dengan syariah Islam, maka tentu negeri
ini akan
Maka
sudah sepantasnya bagi negeri ini untuk mengambil syariah Islam dalam mengelola
kekayaan alam yang berlimpah ruah.
Meninggalkan sistem jahiliyah yang terbukti menistakan bangsa dan
rakyatnya. Bahkan penguasa negeri seolah
tak lagi punya harga diri dan muru’ah.
Kembalilah pada syariah dan mari kelola dengan sistem yang penuh barokah.
Hanya
dengan cara itulah kita bangsa Indonesia akan kembali merasakan kesejahteraan
dan kedaulatan yang hakiki. Tentu tidak
cukup menjadikan syariah hanya sebagai pengatur dalam sistem pertambangan,
melainkan juga harus mengatur seluruh kebijakan negeri ini. Dan semua itu hanya bisa diwujudkan dengan menerapkan
sistem Khilafah ala min hajin nubuwah sebagai wadah paling indah bagi hukum
syariah.**
Wallahu’alam
bis showab.
Penulis
: Muhammad Fitrianto
Aktifis
HTI Kota Banjarbaru
Guru
Sekolah Islam Terpadu Insantama Banjarbaru
Tidak ada komentar:
Posting Komentar