Ust. Dr. Choirul Anam
(penulis buku "Cinta Nusantara, Rindu
Khilafah)
Semua orang tak ada yang mau repot. Semua
orang ingin kemudahan dan semua hal berjalan sesuai yang diinginkan. Oleh
karena itu dikembangkan sains dan teknologi serta berbagai layanan, dengan
suatu harapan berbagai aktivitas manusia berjalan dengan mudah dan cepat. Bisa
kita bayangkan sebelum adanya alat transportasi modern seperti sekarang ini,
untuk bepergian dari Surabaya ke Sumatra, misalnya, betapa lama dan repotnya
perjalanan tersebut. Sebelum adanya alat komunikasi yang modern seperti saat
ini, hanya untuk sekedar mengirimkan informasi ke teman atau keluarga di
kampung halaman, manusia membutuhkan waktu berhari-hari. Namun, dengan
teknologi yang ada saat ini, semuanya dapat berjalan dengan cepat dan sangat
mudah. Tampaknya, sains dan tenologi serta berbagai layanan (jasa) akan terus
berkembang untuk semakin mempermudah dan mempercepat semua aktivitas manusia.
Kemudahan yang luar biasa dengan adanya
kemajuan sains dan teknologi, salah satunya adalah karena para ilmuan dan para
insinyur mencurahkan segala tenaga dan pikirannya. Mereka berepot-repot ria,
agar masyarakat hidupnya tidak terlalu repot.
Masyarakat juga selalu menyambut kehadiran
sains dan teknologi dan layanan baru dengan sangat antusias. Masyarakat
membelanjakan uangnya yang diperoleh dengan susah payah untuk membeli berbagai
teknologi dan berbagai layanan agar hidupnya semakin mudah. Inilah sikap alami
manusia. Manusia tak mau repot. Manusia ingin semuanya serba mudah. Slogannya: “Gitu aja kok
repot!”.
Namun demikian, sikap tak mau repot, yang
sebenarnya sangat alami, jika ditempatkan pada posisi yang keliru, justru akan
merepotkan manusia itu sendiri, bahkan bisa merepotkan hampir semua orang.
Sekedar contoh, bagi sebagian orang, membuang sampah ke tempat sampah itu
merepotkan. Lebih mudah dan lebih praktis, jika sampah itu tinggal dibuang di
mana saja. Tinggal lempar. Mudah bukan? Tak perlu capek-capek jalan ke tempat
sampah. Namun, apa yang terjadi dari sikap tak mau repot tersebut? Bisa jadi,
sampah akan menumpuk dimana-mana. Lalu banjir, bau busuk, lingkungan tak sehat,
pemandangan kumuh, dan lain sebagainya bisa jadi akan terjadi. Semua orang jadi
repot.
Contoh yang lain, di jalan raya yang ramai,
biasanya dilengkapi dengan penyebrangan jalan. Ada beberapa fungsi penyebrangan
tersebut, yaitu untuk keselamatan dan menghindari kecelakaan, serta dapat
mengurangi kemacetan jalan raya. Memang dalam hal ini, penyebrang jalan harus
mau sedikit repot, yaitu menyebrang lewat penyebrangan jalan. Ia harus rela
naik dan turun tangga. Apa jadinya, jika kita semua tak mau repot? Ngapain
capek-capek naik tangga, mendingan langsung nyebrang aja. Toh, selama ini
aman-aman saja. Nah, sikap inilah yang akhirnya membuat kesemrawutan dan
kemacetan jalan raya. Sikap tak mau repot, telah membuat repot banyak orang.
Apa jadinya jika semua orang tak mau repot?
Misalnya semua pemilik mobil, tak mau naik angkutan umum, sehingga jalan raya
tak lagi cukup menampung volume kendaran yang melintas. Yang terjadi adalah
kemacetan parah. Naik mobil pribadi itu memang sangat nyaman, dibanding naik
angkutan umum yang ada saat ini. Naik angkutan umum, itu sungguh sangat
merepotkan. Tetapi, sikap kita yang tak mau repot inilah terkadang yang membuat
semua orang jadi repot.
Jadi, saat semua orang tak mau repot,
terkadang di sinilah sumber kerepotan itu muncul dan kemudian merepotkan banyak
orang atau semua orang.
*****
Yang palih parah adalah jika para pemimpin
tak mau repot. Sikap ini dipastikan membawa kerepotan bagi semua masyarakat.
Apa jadinya, jika para pemimpin tak mau
repot? Misalnya, mereka bersikap, ngapain capek-capek membangun jalan, ngurusi
got, dan lain sebagainya. Capek amat! Mendingan biarkan aja. Toh selama ini
mereka fine-fine aja dengan jalan, got, dan semua fasilitas publik yang ada.
Ah, repot amat ngusir Freeport dan
perusahaan-perusahaan asing lainnya!. Biar mereka tetap beroperasi seperti
biasanya. Dengan begitu pajak bisa jalan terus dan bisa diperas untuk mempertebal
kantong pribadi. Ngusir mereka itu repot sekali dan resikonya jga sangat besar.
Harus berhadapan dengan negara-negara besar, berurusan dengan pemilik modal
raksasa, memicu gejolak, menyiapkan SDM yang berkualitas dan lain-lain.
Mendingan enak seperti sekarang, tidak ada apa-apa. Kerjakan cukup jalan-jalan,
senang-senang, dan menebar senyum ke sana kemari.
Kalau pemerintah kekurangan uang, gampang
saja, tidak perlu repot-repot. Utang saja! Beres kan? Masalah utang menumpuk,
bodoh amat! Toh, nanti yang menanggung adalah pemerintahan berikutnya, sama
dengan sekarang yang menanggung dari hutang rezim sebelumnya. Dengan hutang
yang besar akan tersedia dana segar yang besar, yang bisa dipakai apa saja.
Enak kan? Urusan bayar hutang, tidak perlu dipikirkan, itu urusan nanti.
Dan seterusnya. Semua akan dibuat repot,
jika pemimpin tak mau repot.
*****
Bagi umat Islam, sikap tak mau repot ini
juga sangat berbahaya. Sikap ini akhirnya membuat umat ini tak lagi peduli
dengan kondisi umat Islam. Akhirnya ajaran Islam terlunta-lunta dan umat
menjadi sasaran empuk orang-orang dzalim.
Terus terang, memang hidup ini akan terasa
enak jika kita hanya fokus mengurusi urusan pribadi dan karir kita, tidak perlu
mengurusi urusan umat. Ngurusi urusan pribadi aja tidak ada habisnya, apalagi
ngurusi umat. Lagi pula, umat yang kita urusi juga belum tentu mau diurusi.
Selalu ada alasan bagi kita untuk tidak mau
repot ngurusi umat dan agama ini. Misalnya, ngapain repot-repot ngurusi umat,
wong urusan sendiri aja belum kelar. Ngapain ngurusi kenaikan BBM dan tarif
listrik, itu sudah ada yang ngurusi, mendingan cari uang bisa dimakan anak dan
istri, serta bisa untuk infaq.
Ngapain ngurusi penista agama, itu kan
urusan pribadi dia dengan Allah. Nanti juga akan mati sendiri. Mendingan kita
ngurusi diri sendiri dengan rajin beribadah. Diri sendiri aja belum tentu
benar, ngapaian ngurusi orang lain.
Ngapain ngurusi Rohingnya, Palestina,
Suriah dan lain sebagainya. Urusan dalam negeri saja menumpuk tidak ada
habisnya. Itu kan urusan luar negeri, mendingan ngurus dalam negeri sendiri
saja. Dan lain sebagainya.
Saat ada urusan luar negeri, bilangnya
mendingan mengurusi urusan dalam negeri. Saat ada urusan dalam negeri,
bilangnya mendingan mengurusi urusan keluarga. Saat ada urusan keluarga,
bilangnya mendingan mengurusi urusan pribadi. Saat ada urusan pribadi,
bilangnya kok tidak ada yang bantu, kok repot sekali.
Padahal, saat umat tak mau repot mengurusi
urusan umat, inilah yang membuat umat ini jadi repot. Saat kita tak mau
membantu yang lain, maka tak ada yang lain yang terbantu. Bisa jadi, orang lain
yang tak terbantu itu adalah kita. Saat kita semua sudah tak peduli, maka kita
pun juga tak dipedulikan oleh yang lain.
*****
Tak mau repot terkadang juga menginveksi
aktivis dakwah.
Mereka tak mau repot mengkaji dan mengikuti
dakwah Nabi saw. Mereka lebih senang berdakwah dengan metode yang dikreasi
sendiri. Sebab lebih mudah, lebih sesuai selera, dan lebih sesuai keinginan.
Seandainya mereka sudah mengkaji dakwah Nabi saw, mereka juga tak mau repot
mengikuti Nabi Muhammad saw. Mereka berdakwah sesuai kehendak mereka sendiri.
Memang harus diakui meniru dakwah Nabi itu sangat merepotkan. Harus begini dan
begitu. Tidak boleh begini dan begitu.
Sebagian aktivis dakwah berpikir, “Kok repot amat
sih?. Mendingan berdakwah sesuai selera sendiri. Toh, Allah tahu kalau kita
sedang berdakwah. Kalaupun salah-salah dikit ya masih mendingan lah, daripada
mereka yang tak dakwah sama sekali. Iya kan?”.
Saat mereka diingatkan agar meniru dakwah
Nabi, agar jangan menikmati sistem jahiliyah yang harusnya didakwahi dan
diubah, mereka berargumentasi bahwa zaman sekarang tak sama dengan zaman Nabi
dahulu. Sehingga tak ada keharusan pada zaman sekarang untuk meniru Nabi dalam
dakwah. Dengan sangat canggih mereka mengatakan, “Antara zaman sekarang dan zaman
Nabi terdapat perbedaan ruang dan waktu”.
Saat mereka diingatkan oleh aktivis dakwah
yang lain, atau jamaahnya diingatkan oleh aktivis dari jamaah lain, mereka tak
pernah menerima nasihat tersebut. Mereka murka besar. Sebagai gantinya, mereka
justru mencari kesalahan aktivis atau jamaah dakwah yang telah menasehatinya
untuk menyerang balik. Iya nasihat itu, dilawan dengan serangan balik. Dengan
begitu, mereka merasa puas, bahkan sangat puas. Meraka merasa puas bahwa yang
salah bukan hanya dirinya dan jamaahnya, tetapi juga aktivis lain dan jamaah
lain. Karena itu, jika mereka mendapatkan “kesalahan” jamaah dakwah (dalam tanda petik,
sebab terkadang bukan kesalahan, tetapi diopinikan salah), mereka merasa
teramat-sangat gembira. Mereka bukan menasehatinya dengan tulus sebagai saudara
muslim, tetapi mereka seakan menemukan amunisi, yang siap ditembakkan kepada
jamaah lain untuk menjatuhkan dan kalau perlu mematikan jamaah tersebut.
Tak ada idealisme. Kalau pun ada, itu hanya
setengah atau seperempat idealisme. Idealisme itu memang sangat merepotkan,
apalagi di tengah kerumunan orang-orang yang menganut pragmatisme.
Tetapi sikap tidak mau repot, inilah yang
membuat repot yang sebenarnya. Akibatnya ajaran Islam menjadi kabur. Masyarakat
tak lagi bisa membedakan mana yang sesuai dengan Islam dan mana yang tidak.
Juga tidak bisa diidentifikasi mana yang aktivis Islam dan mana yang bukan.
Semuanya sama, yaitu sama-sama pragmatis, sama-sama mengejar keuntungan
pribadi, sama-sama menipu, sama-sama korupsi, dan sama-sama yang lain. Kalau
pun beda hanya casing-nya saja, yang satu dibalut dengan busana yang bernuansa
Islam, dan yang satu lagi dibalut busana universal. Yang satu bicaranya berbau
ke-arab-araban, yang satu lagi ke barat-baratan. Tetapi substansinya tidak
berbeda sama sekali. Syariah Islam tetap tak tersentuh sama sekali, apalagi
Khilafah dan persatuan umat.
Dengan dakwah yang tak mau repot ini,
akhirnya kemaksiyatan semakin hebat, perpecahan umat semakin mengaga, riba
semakin menggurita, pemimpi semakin durjana, dan rakyat semakin putus asa.
Akibatnya, saat ada yang dengan tulus
menyuarakan dakwah Islam dengan menawarkan perubahan yang hakiki dari sistem
demokrasi menjadi sistem syariah, masyarakat jadi antipati dengan mengatakan: “Ah paling
juga sama dengan yang sudah-sudah. Ujung-ujungnya cuma uang dan kekuasaan”.
Jadi, tidak mau repot memang merepotkan.
Tetapi jika kita lebih tak mau repot lagi karena kondisi yang sudah terlanjur
merepotkan, maka kondisi akan semakin merepotkan. Oleh karena itu, kita harus
memutus mata rantai sikap tak mau repot ini.
Kita harus mau repot. Kta harus berani
mengambil sikap dan aksi. Kita harus meninggalkan sikap cuek dan abai terhadap
kondisi umat dan agama kita. Kita hars bangkit untuk berjuang. Bukan sekedar
berjuang, tetapi berjuang meniru Rasulullah saw. Kita harus berani repot
mengkaji perjuangan Nabi saw, meneladaninya, dan istiqomah di jalannya.
Memang kelihatan snagat repot, tetapi di
sanalah kita akan merasakan manisnya perjuangan. Lebih dari itu, hanya dengan
berdakwah mencontoh Nabi secaa konsisten, insya Allah kita akan berhasil
mewujudkan cita-cita perjuangan, yaitu terciptanya baldatun thoyybatun wa
rabbun ghafur, yaitu denan tegaknya syariAmiin...
Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar