bismillaahirrahmaanirrahiim. Assalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh.
Artikel ini insya Allah akan menjadi
sebuah artikel yang berisi sebuah dialog antara Imam asy-Syafi’i
rahimullah dan seorang pengingkar sunnah (ingkarussunnah) yang
saya dapatkan dari kitab “Manhaj ‘Aqidah Imam asy-Syafi’i” yang
diterbitkan oleh Pustaka Imam asy-Syafi’i pada halaman 123-128, yang
diambil dari kitab Jimaa’ul-‘Ilmi (halaman 21-23). berikut ini dialog antara beliau rahimullah dan seorang pengingkar sunnah :
Imam asy-Syafi’i rahimullah menceritakan
bahwa salah seorang pengingkar sunnah berkata: “Sebutkan kepadaku
dalilmu” Imam asy-Syafi’i rahimullah menjawab: “Allah berfirman :
Dia-lah yang mengutus kepada kaum
yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan
ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka
Kitab dan Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya
benar-benar dalam kesesatan yang nyata, “
PS : “Kami tahu yang dimaksud dengan
al-Kitab pada ayat tersebut adalah Kitabullah al-Qur’an, sementara
tentang al-Hikmah, apa maksudnya?”
IAS : “Yaitu, Sunnah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam.”
PS : “Apakah mungkin Rasul mengajarkan kepada mereka al-Qur’an
secara keseluruhan kemudian mengajarkan al-Hikmah secara khusus padahal
ia juga termasuk dari hukum-hukum Allah ?”IAS : “Yaitu, Sunnah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam.”
IAS : “Maksudnya adalah Rasulullah menjelaskan kepada mereka apa yang datang dari Allah, misalnya menjelaskan tentang amal-amal yang fardhu, seperti shalat, zakat, haji, dan lain-lain. Dengan kata lain, Allah menetapkan fardhu-fardhu-Nya dengan Kitab-Nya dan menjelaskan caranya melalui lisan Rasul-Nya.”
PS : “Kalau seperti itu, jawaban Anda adalah salah satu kemungkinan.”
IAS : “Apabila engkau berpendapat seperti itu, sesungguhnya makna al-Hikmah sama dengan al-kitab (sama-sama wahyu). Begitu juga dengan apa yang tidak engkau pahami, kecuali dengan penjelasan dari Rasulullah (yakni, bahwa Sunnah Rasulullah adalah penjelas dari al-Qur’an)”
IAS : “Apabila engkau berpendapat seperti itu, sesungguhnya makna al-Hikmah sama dengan al-kitab (sama-sama wahyu). Begitu juga dengan apa yang tidak engkau pahami, kecuali dengan penjelasan dari Rasulullah (yakni, bahwa Sunnah Rasulullah adalah penjelas dari al-Qur’an)”
PS : “Jika aku mengatakan bahwa al-Hikmah
itu maksudnya adalah al-Qur’an, bukan as-Sunnah seperti yang dikatakan
oleh ahli hadits?”
IAS : “Ketika kata al-Kitab dan al-Hikmah sebagai dua kata yang berbeda disebut bergandengan, manakah yang lebih bisa diterima: keduanya adalah hal yang berbeda atau keduanya satu hal yang sama yang disebut dua kali ?”
IAS : “Ketika kata al-Kitab dan al-Hikmah sebagai dua kata yang berbeda disebut bergandengan, manakah yang lebih bisa diterima: keduanya adalah hal yang berbeda atau keduanya satu hal yang sama yang disebut dua kali ?”
PS : “Bisa jadi maksudnya adalah dua hal
yang berbeda seperti pendapat engkau, yakni al-Kitab dan as-Sunnah, bisa
juga maksudnya hanya satu.”
IAS : “Yang lebih mungkin adalah yang kukatakan karena hal itu didukung oleh ayat dan bertentangan dengan pendapatmu.”
PS : “Coba sebutkan ayat itu !”IAS : “Yang lebih mungkin adalah yang kukatakan karena hal itu didukung oleh ayat dan bertentangan dengan pendapatmu.”
IAS : “Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah (sunnah nabimu). Sesungguhnya Allah adalah Maha Lembut lagi Maha Mengetahui. Pada ayat ini Allah memberitahukan bahwa di rumah-rumah mereka dibacakan dua bacaan (bukan satu bacaan).”
PS : “al-Qur’an memang sebagai bacaan
sehingga ia dibaca, tetapi kaitannya dengan membaca al-hikmah, bagaimana
al-Hikmah itu dibacakan?”
IAS : “Makna tilawah (membaca) tidak lain adalah mengucap dengan al-Qur’an dan as-Sunnah.”
IAS : “Makna tilawah (membaca) tidak lain adalah mengucap dengan al-Qur’an dan as-Sunnah.”
PS : “Sekarang barulah jelas bahwa al-Hikmah maksudnya adalah bukan al-Qur’an”
IAS : “Allah mewajibkan kepada kita untuk mengikuti Nabi-Nya.”
IAS : “Allah mewajibkan kepada kita untuk mengikuti Nabi-Nya.”
PS : “Mana dalilnya ?”
IAS : “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.
IAS : “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.
Barangsiapa yang menta’ati Rasul itu,
sesungguhnya ia telah menta’ati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling
(dari keta’atan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi
pemelihara bagi mereka.
Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.”
PS : “Yang lebih cocok memang al-Hikmah
tersebut diartikan dengan sunnah Rasulullah. Akan tetapi, ada sebagian
teman-temanku yang mengatakan bahwa Allah menyuruh kita pasrah kepada
hukum Rasulullah dan hikmahnya, sementara al-Hikmah adalah bagian dari
apa yang diturunkan oleh Allah. Dengan demikian, tentu orang yang tidak
mengambil sunnah pun bisa dikatakan pasrah kepada hukum Rasulullah.” [1]
IAS : “Allah benar-benar telah menyuruh kita untuk mengikuti perintahnya melalui firman-Nya yang berbunyi : …Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah… “
PS : “Memang telah jelas didapati dalam al-Qur’an bahwa Allah
mewajibkan bagi kita untuk mematuhi apa yang diperintahkan dan yang
dilarang oleh Rasulullah kepada kita.”IAS : “Allah benar-benar telah menyuruh kita untuk mengikuti perintahnya melalui firman-Nya yang berbunyi : …Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah… “
IAS : “Kewajiban itu berlaku untuk kita, orang sebelum kita, dan orang sesudah kita.”
PS : “Ya.”
IAS : “Kalau begitu, bukankah perintah-Nya itu berarti menunjukkan bahwa kita wajib mengambil sunnahnya ?”
PS : “Ya.”
IAS : “Apakah engkau, orang sebelummu, dan orang yang datang sesudahmu yang belum melihat Rasulullah menentukan jalan untuk menunaikan kewajiban yang Allah wajibkan dalam mengikuti perintah Rasulullah, selain keharusan untuk menerima berita yang datang darinya ? Sikapku adalah tidak akan bisa mendapatkan (berita dari Nabi) itu, kecuali melalui khabar (hadits) yang datang dari Rasulullah, karena hal itu telah menunjukkan kepadaku bahwasannya Allah telah mewajibkanku untuk mengambil dari Rasulullah.”
IAS : “Anda juga harus percaya akan adanya nasakh dan mansukh dalam al-Qur’an (penghapusan hukum dengan hukum yang lain).”
PS : “Mana contohnya ?”
IAS : “Firman Allah : Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf…
Allah berfirman berkenaan dengan Faraidh [2] : Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam.
Berdasarkan hadits yang sampai kepada kita, kita mengatakan bahwa ayat faraidh me-mansukh (menghapus) ayat wasiat kepada ibu bapak. Andaikata kita menolak hadits, akan ada seseorang yang berpendapat : ‘Wasiat menghapus faraidh.’ Apakah kita dapati hujjah yang dapat menanggapi anggapan ini selain dari Sunnah Rasulullah ?”
____________________________________________________________
Dialog tersebut, dapat kita simpulkan 3 hal :
- Allah telah mewajibkan kepada kita untuk mengikuti Sunnah Rasulullah. Dia menyuruh kita untuk mematuhi perintah dan menjauhi larangannya.
- Tidak ada cara lain bagi kita untuk mentaati perintah Allah tersebut, kecuali dengan mengamalkan apa yang datang dari Rasulullah dengan lapang dada dan hati yang bersih dari keinginan untuk menolaknya, serta pasrah kepada perintah dan hukum-hukumnya.
- Seorang Muslim membutuhkan Sunnah Nabi untuk menjelaskan keumuma isi/kandungan al-Qur’an yang di antara contohnya telah dikemukakan Imam asy-Syafi’i dengan mengutip ayat faraidh dan wasiat.
——————-footnote———————-
1. Syaikh Ahmad Syaikr memberi uraian sebagai berikut : “Tentu orang yang tidak mengambil sunnah pun bisa dikatakan pasrah kepada hukum Rasulullah, maksudnya adalah tentu orang yang tidak berpedoman dan mengambil hadits pun bisa disebut pasrah kepada hukum Rasulullah karena ia telah mengikuti al-Qur’an dan mengikuti al-Hikmah yang merupakan bagian dari apa yang Allah turunkan dalam al-Qur’an, menurut pemahaman mereka.
Adapun menurut pendapat yang mengatakan bahwa Hikmah maknanya adalah sunnah, maka yang tidak mengakui hadits tidak bisa dikatakan ia pasrah kepada hukum Rasulullah karena ia menolak hadits.” Lihat kitab Jamma’ul ‘Ilmi (Halaman 20) dalam hasyiyah-nya.
2. Hal-hal yang berkenaan dengan waris.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar