- Al Qur’an memang tertulis dalam bahasa Arab. Dalam bahasa Arab yang digunakan oleh Al Qur’an terdapat kata-kata yang bersifat umum dan ada yang bersifat khusus; ada yang status global dan ada yang berstatus rinci sehingga untuk mengetahui diperlukan petunjuk Al Qur’an dan hadits Nabi saw.
- Dalam sejarah umat Islam memang pernah mengalami kemunduran, namun setelah itu mengalami kemajuan pesat pada zaman klasik. Puncak kemajuan terjadi pada sekitar tahun 650-1000 M. Ulama besar yang hidup pada masa itu tidak sedikit jumlahnya, baik di bidang tafsir, hadits, fiqih, ilmu kalam dan lain-lain. Periode klasik berakhir ketika Bagdad jatuh ke tangan Hulagu Khan. Menuduh sunnah sebagai biang perpecahan adalah menunjukkan pendeknya akal mereka. Al Qur’an dan As Sunnah adalah pedoman hidup yang mengangkat umat manusia dari era keterpurukan jahiliyah menuju cahaya kejayaan. Adapun perkembangan politik, budaya, kekuasaan dan negara sudah pasti ada pasang surutnya.
- Menganggap bahwa hadits Nabi saw tidak tercatat pada zaman beliau masih hidup adalah pernyataan orang yang tidak mengetahui sejarah perkembangan hadits Nabi saw.
- Pernyataan pengingkar sunnah yang menyatakan bahwa hadits Nabi saw lahir setelah lama beliau wafat merupakan pernyataan yang tidak memiliki argumen dan mengada-ada.
Orang yang berpaham ingkar sunnah berpijak pada pemahaman yang salah terhadap ayat-ayat Al Qur’an, sejarah umat Islam, sejarah penghimpunan sunnah dan sebagai dari cabang penelitian kesahihan sunnah. Kesalahan pemahaman itu disebabkan oleh banyak faktor, sebagian dari faktor itu ada yang berkaitan dengan kekurangan pengetahuan mereka terhadap berbagai hal tentang sumber ajaran Islam, Al Qur’an dan sunnah, dan sebagai faktor lagi berkaitan anggapan dasar dalam metode berfikir.
Untuk mendalami pengetahuan yang berkaitan dengan sunnah, dituntut tersedianya sejumlah kitab, minimal kitab-kitab yang berkaitan dengan musthalah, kaidah, pengkajian matan, dan pengkajian sanad. Tanpa tersedianya fasilitas kita-kitab yang diperlukan, maka upaya mendalami pengetahuan sunnah akan mengalami kesulitan
Orang yang mengingkari kedudukan as sunnah sebagai salah satu sumber hukum setelah al Qur’an, seharusnya mereka tidak bisa shalat sebagaimana shalat yang diajarkan Nabi saw. Mereka tidak akan bisa menentukan kadar zakat, sebagaimana ditentukan oleh Nabi saw, mereka tidak akan bisa menjalankan manasik haji sebagaimana yang diajarkan Nabi saw, dsb. Sebab tata cara ibadah tersebut hanya terdapat di dalam as sunnah. Dan kemudian jika didapati mereka (golongan ingkar sunnah itu) melakukan semua itu seperti sebagaimana yang dilakukan oleh kebanyakan kaum muslimin, berarti mereka tidak konsisten dengan keingkarannya.
Tragisnya, kasus demikian tetap muncul di era sekarang dan sering membuat bingung hingga meresahkan masyarakat Islam. Para penyeru di antara merka bahkan dari kalangan tokoh intelektual. Pemikiran ingkar sunnah itu jika dicermati disebabkan oleh cara pandang atau pola pikir mereka sendiri. Mereka membuat metodologi tertentu dalam menyikapi sunnah. Metodologi yang mereka gunakan itu janggal dan tak pernah dikenal apalagi diterapkan oleh ulama-ulama besar terdahulu, baik dari kalangan ulama hadits maupun ulama fiqh. Sehingga golongan ingkar sunnah itu terperangkap dalam kandangnya sendiri.
Menolak sunnah secara mutlak pada gilirannya akan menolak aksiomatika agama yang tak diketahui kecuali melalui sunnah. Menolak sebagian kecil sunnah, sesungguhnya juga termasuk sebagai perilaku ingkar sunnah. Karena penyebutan ingkar sunnah itu sebenarnya tidak berarti semata-mata penolakan terhadap sunnah, baik sebagian atau keseluruhan, baik yang disukai atau tidak. Namun sekali lagi, kerangka berpikir mereka terhadap sunnah itulah yang tidak dikenal dan tak diakui oleh para ulama. Mereka berpendapat tidak perlu mengakui adanya sunnah atau mengamalkannya karena Al Qur’an itu diturunkan sudah lengkap dan tidak membutuhkan sesuatu yang lain. Mereka menganggap jika Al Qur’an masih membutuhkan yang lain, berarti belum lengkap.
Pemahaman mereka tentang kelengkapan Al Qur’an telah melupakan kaidah bahwa kelengkapannya terletak pada kesempurnaannya dalam mengatur persoalan pokok kehidupan manusia, bukan pada persoalan yang bersifat cabang dan ranting atau yang kecil-kecil dalam kehidupan. Al Qur’an mengatur problematika manusia pada wilayah ushul al hayat atau pokok kehidupan yang menjadi tumpuan hidup, bukan pada wilayah furu’ al masa’il atau persoalan-persoalan cabang, walaupun memang ada sebagian kecil yang mengatur cabang kehidupan. Kalau Kitab yang benar-benar lengkap memuat apa saja di alam ini, maka hanya terdapat di Lauh Mahfudz.
Al Qur’an memuat dasar-dasar atau hal-hal yang pokok agama dan kaidah-kaidah yang bersifat umum. Sebagian nashnya telah terang dan jelas maknanya bagi kita, dan sebagian yang lain diterangkan oleh Nabi saw. Salah satu tugas Nabi saw adalah menjelaskan, merincikan ataupun mengaskan kepada manusia hukum-hukum yang terdapat dalam Al Qur’an tersebut. Hal ini memang perintah dari Allah swt yang tertera di dalam Al Qur’an.
“Dan Kami telah menurunkan Al Qur’an kepadamu agar engkau menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka, dan mudah-mudahan mereka memikirkannya“. (An Nahl: 44)
Maka dengan demikian, penjelasan Nabi saw tentang hukum-hukum atau nilai sebagaimana terdapat dalam sunnah adalah penjelasan Al Qur’an juga, semestinya hal ini masuk di akal mereka. Sehingga tidak ada alasan sama sekali untuk mengabaikan sunnah beliau. Sungguh mengherankan jika ada segolongan orang yang menolak sebagian dari sunnah Nabi saw. Istilah “menolak sebagian sunnah” itu membawa konsekuensi. Sebagian itu seberapa? Kalau sebagian ini ditolak, sebagian yang itu juga ditolak, maka akan menjadi sebagian besar. Dari sinilah akan terlihat bahwa yang salah itu kerangka berpikir mereka, yang berakibat tertolaknya sebagian ini dan sebagian itu dari sunnah Nabi saw.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar