Selasa, 11 Februari 2020

MALU LAH JIKA TIDAK BERDAKWAH


*Oleh : Abu Afra*
_t.me/AbuAfraOfficial_

Shohibul Fadhilah Al Ustadz Muhammad Ismail Yusanto Hafizahullahu ta'ala pernah menyampaikan dalam sebuah majelis.  Kata Beliau, ```"memahami dan menyadari kesimpulan akhir dari kehidupan yang kita jalani, itu sangat penting dan sangat mendasar sekali, Karena ketika seseorang tidak menyadarinya maka dia akan kehilangan arah dan prioritas dalam beraktifitas".```

Beliau mencontohkan,  Bagaimana kawan-kawan beliau yang seusianya saat  ini rata-rata telah banyak yang memasuki usia pensiun setelah melewati masa-masa gemilang dan puncak dalam karir dan bisnisnya.  Tapi justru yang anehnya kesibukan mereka di masa pensiun malah lucu-lucu.  Ada yang sibuk ngurusin burung, ada juga yang sibuk ngurusin sepeda, dan perkara remeh temeh lainnya.

Kalo kita hari ini masih aktif dan sibuk bekerja lantas karena kesibukan kita itu lalu meninggalkan dakwah, maka ketahuilah kita telah tertipu.  Kalau hidup kita ini bukan untuk dakwah, lantas untuk apa? Ngurusin burung? atau ngurusin hoby lainnya?

Kesibukan kita bekerja akan ada masa pensiunnya.  Mungkin besok, lusa atau saat kita sudah mulai menua.  Tetapi apakah tugas kita sebagai *Abdullah dan Khalifatullah fil ardh* juga bisa dipensiunkan ketika itu juga? Tentu tidak akan bisa.  Kewajiban kita mengabdikan diri secara total kepada Allah SWT yang telah menciptakan kita tetap akan berlaku sampai ajal mendatangi kita. 

Sadarilah bahwa kita hidup di dunia ini hanya sementara.  Ada kehidupan abadi yang kelak akan kita jalani.  Jika kita mempertaruhkan kehidupan yang abadi itu dengan dunia yang singkat ini, maka sungguh betapa ruginya kita ini.

Ada sebagian diantara kita mengambil pilihan tidak mau ikut sibuk dakwah karena takut dengan resikonya.  Pertanyaannya, apa sih sebenarnya resiko terbesar dari aktifitas dakwah ini?  Katakanlah kematian misalkan.  Apakah mereka yang tidak berdakwah itu bisa menghindar dari kematian?

Jika tidak, maka sadarilah kematian itu bukanlah resiko.  Karena ia pasti mendatangi siapa saja di antara kita.  Tidak peduli aktifis dakwah ataupun aktifis dunia.  Jika telah tiba waktunya, maka tidak bisa dimajukan atau dimundurkan.

Ada lagi yang tidak berdakwah karena takut terhalang dari kepentingan dunianya.  Takut karirnya sulit, rezekinya sempit dan lain sebagainya.  Pertanyaannya, siapakah yang memerintahkan amal dakwah ini sebenarnya?  Bukankah Allah SWT Sang pemegang rezeki juga yang memerintahkannya?  Lantas sebegitu teganya kah kita berprasangka buruk terhadap seruannya.  Lalu kita mengira dengan akal dan nafsu kita meninggalkan dakwah adalah pilihan terbaik dalam hidup kita di dunia? wal iyyadzubillahi.


Karena itulah kita wajib memiliki kesadaran awal mengenai kesimpulan akhir dari setiap urusan kita.  Kesimpulan akhir dari kehidupan kita ini adalah kematian.  Apakah kita ingin mati dalam keadaan mulia atau mati dalam kondisi hina atau biasa saja? Ini pilihan kita.

Dalam bahasa dakwah inilah namanya uqdatul kubra.  Ketika kita mampu memecahkannya, seharusnya hidup kita akan lebih bermakna. Pilihan-pilihan kita juga akan tertuntun pada hal-hal yang lebih berkualitas bukan malah sebaliknya.

Dakwah adalah wujud kecerdasan seorang hamba dalam memilih jalan hidup.  Karena tidak ada amal yang nilainya melebihi umurnya kecuali amal ini.  Dalam dakwah juga tersimpan sebuah rahasia bagi setiap diri untuk menyelamatkan diri. 

Karena dakwah ini seperti cermin.  Sekali kita terlibat di dalamnya, maka kontrol sosial benar-benar akan kita rasakan.  Dan bersyukurlah jika itu terjadi.  Karena itu maknanya peluang berbuat dosa yang menghancurkan akan lebih kecil peluangnya.

Seorang pebisnis yang sudah sampai pada level finansial freedom.  Kemudian dia memiliki kelebihan harta dan waktu.  Jika tak mengerti kesimpulan akhir dari hidupnya di dunia, maka hampir bisa dipastikan akan terjatuh pada aktifitas yang sia-sia belaka.

Sebaliknya walaupun kita secara hitungan dunia hari ini masih berproses menuju kesuksesan, namun sudah menggenggam kesimpulan akhir kehidupan.  Maka ketahuilah kita lebih layak untuk dikatakan sebagai pemilik dunia dan segala isinya.

Kalau kita sudah memiliki keyakinan bahwa setiap aktifitas kita ini ada pertanggungjawaban, tentu tidak akan mungkin ada waktu untuk bermain-main dalam menjalani kehidupan.

```Everybody come to here because a reason.```

Setiap kita datang ke
dunia itu untuk sebuah alasan.  Maka mengetahui alasan kenapa kita harus tetap hidup adalah keharusan.

Tidak mungkin Allah SWT menciptakan kita dengan main-main.  Karena ciptaan itu itu adalah manifestasi penciptanya.  Maka diciptalah kita dalam sebaik-baik penciptaan.

Jika sudah tahu begini, tidak malukah kita ketika menjalani hidup ini dengan asal-asalan.  Tanpa arah dan tujuan?Orang berakal pasti akan memiliki sensitifitas terhadap perkara ini.

Rasulullah SAW pernah mengingatkan kita terkait hal ini dalam sebuah haditsnya. 

*عَنْ أَبِي مَسْعُوْدٍ عُقْبَةَ بِنْ عَمْرٍو الأَنْصَارِي الْبَدْرِي رَضِيَ الله عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلاَمِ النُّبُوَّةِ الأُوْلَى، إِذَا لَمْ تَسْتَحِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ*

*[رواه البخاري ]*

_Dari Abu Mas’ud Uqbah bin Amr Al Anshary Al Badry radhiallahuanhu dia berkata: Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda_ : _Sesungguhnya ungkapan yang telah dikenal orang-orang dari ucapan nabi-nabi terdahulu adalah_ :  _Jika engkau tidak malu perbuatlah apa yang engkau suka_
_(Riwayat Bukhori)_

Dari hadits tersebut, Para Ulama menjelaskan bahwa maksud dati sabda beliau :  _“berbuatlah sekehendakmu”_, mengandung dua pengertian, yaitu :

1.  Berarti ancaman dan peringatan keras, bukan merupakan perintah, sebagaimana sabda beliau : _“Lakukanlah sesuka kamu”_  Yang juga berarti ancaman, sebab kepada mereka telah diajarkan apa yang harus ditinggalkan. Demikian juga sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam :  _“Barang siapa yang menjual khamr maka hendaklah dia (seperti) memotong-motong daging babi”._ Tidak berarti bahwa beliau membenarkan melakukan hal semacam itu.

2.  Hendaklah melakukan apa saja yang kamu tidak malu melakukannya, seperti halnya sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam :  *“Malu itu sebagian dari Iman”.*

Maksud malu di sini adalah malu yang dapat menjauhkan dirinya dari perbuatan keji dan mendorongnya berbuat kebajikan. Demikian juga bila malu dapat mendorong seseorang meninggalkan perbuatan keji kemudian melakukan perbuatan-perbuatan baik, maka malu semacam ini sederajat dengan iman karena kesamaan pengaruhnya pada seseorang.

Akhirnya, Marilah kita bangun kesadaran bahwa kita ini berasal dari Allah. Segala yang kita miliki saat ini juga merupakan pemberian dari Allah sebagai titipan bagi kita.  Kelak kita akan dikembalikan kepada-Nya untuk mempertanggungjawabkan segala sesuatunya.  Tidak kah kita malu ketika kita tidak terlibat dalam berdakwah menolong agama-Na?

Sebagaimana seruan-Nya :

*يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن تَنصُرُوا اللَّهَ يَنصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ ﴿٧﴾*

_Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu._

Kemudian tidak yakinkah kita dengan janji-Nya :

*وَلَيَنصُرَنَّ اللَّهُ مَن يَنصُرُهُ إِنَّ اللَّهَ لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ*

_“Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha kuat lagi Maha perkasa,” (QS. Al Hajj : 40)_


_*Maha Benar Allah dengan segala Firman-Nya.*_

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MERESTART ULANG KEHIDUPAN

* Oleh  : Abu Afra t.me/AbuAfraOfficial Terkadang ada orang yang ketika awal hijrahnya begitu bersemangat.  Dimana-mana selalu ngomong...