Kamis, 13 Februari 2020

HAUL ABAH GURU SEKUMPUL, KECINTAAN DAN TELADAN PERJUANGAN ISLAM


*Oleh : Abu Afra*
_t.me/AbuAfraOfficial_

Beberapa waktu terakhir ini ramai dibicarakan di media sosial dan cetak mengenai aksi nyeleneh beberapa orang yang  melakukan hal-hal di luar kebiasaan.  Apalagi menjelang agenda besar tahunan di kota serambi Mekah, Martapura Kalimantan Selatan. 

Sudah menjadi tradisi warga muslim banua apabila memasuki bulan-bulan haulan tokoh besar maka diadakanlah sebuah kegiatan.  Yang paling besar dan fenomenal adalah kegiatan haulan Abah Guru Sekumpul.

Ratusan ribu bahkan jutaan orang hadir dari berbagai penjuru negeri. Mulai dari dalam maupun luar negeri.  Dengan berbagai niat dan motivasi.  Umara dan Ulama bahkan masyarakat biasanya sibuk berlomba-lomba untuk mensukseskan agenda ini.

Diantara hal-hal unik yang menyertainya adalah munculnya sebagian orang yang mendatanginya dengan cara tidak biasa.  Ada yang hanya berjalan kaki dari kota tertentu yang jaraknya tidaklah  dekat.  Ada lagi yang berkendaraan dengan jarak tempuh di atas rata-rata.

Berbagai persepsi dan asumsi pun bermunculan di masyarakat.  Ada yang beranggapan orang-orang tersebut hanya cari sensasi saja.  Ada lagi yang menganggap mereka itu sedang melatih keikhlasan yang biasa dalam dunia tarekat dan ketasawufan.  Ada pula yang menyampaikan,  hal itu dilakukan demi menunaikan nazarnya dan hajat yang pernah diucapkan. Entahlah mana yang benar.

Yang pasti penulis tidak ingin ikut berpolemik dalam menghakimi dan menghukumi orang-orang tersebut. Kami hanya ingin mengangkat beberapa ibrah dan hikmah yang mungkin bisa kita petik.

Diantara bentuk ibrah besarnya yang menjadi inspirasi jutaan manusia berkumpul setiap tahunnya adalah sosok Abah Guru Sekumpul.  Kekaguman pada sosok beliau telah menjadikan banyak manusia rela melakukan berbagai hal demi meraih keberkahan dan kecintaan Sang Guru.

Kekaguman adalah pintu pertama yang akan mengantarkan engkau sampai pada apa yang engkau kagumi. Secara metaforis, kekaguman autentik itu laksana cahaya terang yang menerobos masuk ke dalam labirin-labirin gelap dan mampu memperlihatkan serpihan-serpihan mutiara yang tersembunyi di dalamnya, sehingga mutiara itu menjadi tampak bersinar pula.

Kekaguman pada sosok Abah guru inilah yang menjadi pintu pertama kecintaan terhadap beliau.  Hanya saja kadang beberapa diantara kita kurang tepat dalam mengungkapkan manifestasi kecintaan.

Padahal sejatinya Islam ini telah menggariskan kaidah-kaidah baku bagi para pecinta.  Karena mencintai sesuatu dan berbuat sesuatu untuknya adalah wilayah dimana hukum syara memiliki wewenang untuk mengaturnya.

Sebagaimana sabda Nabi kita yang mulia :

 أَنْتَ مَعَ مَنْ أَحْبَبْتَ قَالَ أَنَسٌ فَأَنَا أُحِبُّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ وَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ مَعَهُمْ بِحُبِّي إِيَّاهُمْ وَإِنْ لَمْ أَعْمَلْ بِمِثْلِ أَعْمَالِهِمْ

Engkau akan bersama dengan orang yang engkau cintai.’
Anas Radhiyallahu anhu (Sahabat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang meriwayatkan hadits ini) mengatakan, “Kami tidak pernah merasakan kebahagiaan sebagaimana kebahagiaan kami ketika mendengar sabda Rasûlullâh , ‘Engkau akan bersama dengan orang yang engkau cintai.

Anas Radhiyallahu anhu mengatakan, "Saya mencintai Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Abu Bakr dan Umar. Saya berharap bisa bersama mereka dengan sebab kecintaanku kepada mereka meskipun saya tidak mampu melakukan amalan yang mereka lakukan".

Imam al Mubarakfuri memaparkan dalam Tuhfatul Ahwadzi yang merupakan syarah kitab Sunan at Tirmidzi bahwa dari ragam riwayat itu, keseluruhannya saling melengkapi tentang bagaimana seorang muslim yang tidak mampu melakukan banyak amal seperti orang-orang saleh, agar tetap optimis, dan terus mempertahankan cinta pada Allah, Rasul-Nya dan para shalihin.

*مَنْ أَحَبَّ قَوْمًا بِالْإِخْلَاصِ يَكُونُ مِنْ زُمْرَتِهِمْ وَإِنْ لَمْ يَعْمَلْ عَمَلَهُمْ لِثُبُوتِ التَّقَارُبِ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ وَرُبَّمَا تُؤَدِّي تِلْكَ الْمَحَبَّةُ إِلَى مُوَافَقَتِهِمْ* “

_Jika seseorang mencintai kalangan saleh dengan ikhlas, maka sebagaimana dinyatakan Nabi, ia termasuk golongan mereka kendati amalannya tidak seperti yang dilakukan orang-orang saleh tadi, sebab keterpautan hati dengan mereka. Kiranya rasa cinta itu memotivasi agar bisa berbuat serupa.” (Muhammad bin Abdurrahman al Mubarakfuri, Tuhfatul Ahwadzi bi Syarhi Jami’ at Tirmidzi [Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyyah], juz 7, hal 53)._

Mengagumi dan mencintai Abah Guru seharusnya dimanifestasikan dengan mengikuti jejak perjalanan keilmuan dan akhlak beliau.  Mentaati segala nasehat dan petuahnya.  Meneladani kegigihan dan keistiqomahan beliau dalam menghadiri pengajian dan jangan wujudkan rasa cinta kita dengan bertindak nyeleneh yang tidak pernah diajarkan oleh beliau.

Apalagi jika sampai menzholimi diri sendiri.  Jelas itu bukanlah cara yang benar dalam mencintai.

Setidaknya ada beberapa hal yang harus diperhatikan agar cinta menjadi benar bentuknya.  Yang pertama perhatikan siapa yang dicintai.  Jika yang dicintai adalah orang-orang yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya, maka kita sudah berada pada rel yang benar pada sisi mahbubnya.

Selanjutnya posisi kita sebagai pecinta, apakah sudah murni karena mengharapkan keridhoan Allah saja.  Atau masih ada terbersit demi kepentingan dunia kita.  Disinilah letaknya keikhlasan akan menjadi setirnya.

Lalu perhatikan pada kaifiyat mencinta.  Apakah telah sejalan dengan syariat-Nya atau justru menyelisihnya.  Kita perlu mengingat-ingat kembali petuah-petuah Abah Guru.

Beliau pernah berpesan kepada para muhibbin seluruhnya agar tidak menjadi manusia yang tertipu.  Diantara contoh tertipu itu adalah mengutamakan yang sunnah kemudian meninggalkan kewajiban.

Masih segar dalam ingatan kita, bagaimana kata-kata beliau terkait menghadiri haulan.  Beliau pernah mewanti-wanti jangan sampai gara-gara itu lalu meninggalkan tugas dan kewajiban harian.

Menghadiri haulan itu sunnah kata beliau, tapi memenuhi akad kerja itu kewajiban.  Jangan sampai gara-gara yang sunnah yang wajib terlalaikan.  Jika demikian adanya, maka yang di hauli pun tidak ridho tegasnya.

Dalam kesempatan yang lain beliau juga pernah menyampaikan, bahwa negeri ini tidak akan pernah sejahtera dan aman sentosa.  Selama belum berhukum dengan hukum Allah SWT.  Menerapkan syariat-Nya dalam segala sisinya.

Seharusnya jika benar cintanya, maka petuah Sang Guru akan kita perjuangkan agar mampu kita terapkan.  Malu lah kita sebagai pecinta Abah Guru, namun tidak peduli dengan penistaan Syariat Agama.  Diam saat hukum Allah dianggap ancaman serta bahaya. 

Abah guru selalu mengajari kita agar sangka baik dengan siapa saja.  Terlebih lagi kepada syraiat-Nya.

Para Pecinta sejatinya adalah para pejuang agama.  Pelanjut kiprah para Ulama kita dalam menyebarkan ilmu dan syiar-syiar Islam. Penyambung lidah dari guru-guru kita yang mulia.

Semoga kita semuanya diberkahi Allah begitupun dengan guru-guru kita, wabil khusus untuk guru mulia Abah Guru Sekumpul Martapura. Mudah-mudahan Allah kumpulkan kita dengan beliau di jannah-Nya berkat komitmen kita dalam memperjuangkan Islam.

``` Lahul fatihah!```

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MERESTART ULANG KEHIDUPAN

* Oleh  : Abu Afra t.me/AbuAfraOfficial Terkadang ada orang yang ketika awal hijrahnya begitu bersemangat.  Dimana-mana selalu ngomong...