Sabtu, 15 Februari 2020

KETAATAN ITU WAJIB, TAPI INGAT ADA SYARAT DAN KETENTUAN


*Oleh : Abu Afra*
_t.me/AbuAfraOfficial_

Ketaatan kepada pemimpin itu mutlak di dalam sebuah kepemimpinan.  Ini pesan Islam kepada seluruh kaum muslimin tanpa terkecuali.

Ketaatan hukumnya wajib tanpa bisa ditawar lagi.  Maka menyelisihi pemimpin itu hukumnya haram.  Tapi mengkritiknya tetaplah diperbolehkan.  Namun kritik tidak boleh keluar dalam kerangka ketaatan. 

Ketaatan akan mudah jika pemimpin yang diikuti adalah sosok pemimpin yang ideal.  Namun ketaatan akan terasa berat ketika sosok pemimpin yang diikuti adalah pemimpin yang gagal.

Hanya saja, bagaimanapun sosok pemimpin ideal ataupun tidak, tetaplah dia memiliki hak untuk ditaati.  Demikianlah Islam menggariskannya.  Dengan syarat, selama pemimpin itu tidak memerintahkannya kepada keharaman.

Di dalam kitab Nizham Al Hukmi fil Al Islam yang ditulis oleh Syaikh Taqiyuddin An Nabhani kemudian disyarah kembali oleh Syaikh Abdul Qadim Zallum terdapat sebuah pembahasan yang berjudul,

 *الطاعۃ للحاكم المسلم الذي يحكم بالاسلام فرض*

_(Ketaatan terhadap Penguasa Muslim yang berhukum dengan Islam adalah Wajib)._

Disampaikan oleh penulis bahwa ketaatan terhadap penguasa muslim yang berhukum dengan syariat Islam itu wajib secara mutlak. Walaupun dia zholim.  Meskipun pemimpin tersebut mengambil hak-hak kita.  Selama dia tidak memerintahkan kepada kemaksiatan. Dan selama tidak tampak padanya kekufuran yang jelas dan terang.

Beliau berdalil dengan ayat diantaranya : 

*يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ (النساء : ٥٩).*

_Wahai orang-orang yang beriman! Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul, serta ulil amri diantara kalian. (TQS. AN NISA : 59)._

Selain itu dengan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari di dalam shahihnya.  Dari Abu Salamah bin Abdurrahman bahwasanya beliau pernah mendengar dari Abu Hurairah ra. Telah bersabda Rasulullah SAW :

*من أطاعني فقد أطاع الله، ومن يعصني فقد عصى الله، ومن يطع الأمير فقد أطاعني، ومن يعص الأمير فقد عصاني؛ (رواه مسلم.)*

_“Barangsiapa yang taat kepadaku berarti ia telah taat kepada Allah dan barangsiapa yang durhaka kepadaku berarti ia telah durhaka kepada Allah, barangsiapa yang taat kepada amirku (yang muslim) maka ia taat kepadaku dan barangsiapa yang maksiat kepada amirku, maka ia maksiat kepadaku.”_

_(HR. Al-Bukhari (no. 7137), Muslim (no. 1835 (33)), Ibnu Majah (no. 2859) dan an-Nasa-i (VII/154), Ahmad (II/252-253, 270, 313, 511), al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (X/41, no. 2450-2451)_

Kemudian lagi beliau berdalil dengan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Shahabat Amru bin Al Ash radhiyallahu 'anhu.  Bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda :

*وَمَنْ بَايَعَ إِمَامًا فَأَعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِهِ ، وَثَمَرَةَ قَلْبِهِ ، فَلْيُطِعْهُ إِنِ اسْتَطَاعَ ، فَإِنْ جَاءَ آخَرُ يُنَازِعُهُ فَاضْرِبُوا عُنُقَ الْآخَرِ*

_Siapa saja yang  membai’at seorang imam, lalu memberikannya dengan suka rela dan sepenuh hati,  maka hendaknya dia mentaatinya dengan sekuat tenaga; jika ada orang lain yang merebutnya, maka penggallah leher orang yang terakhir itu.” (HR. Muslim)._

Berdasarkan dalil-dalil tersebut menjadi jelaslah bahwa ketaatan terhadap pemimpin itu wajib hukumnya.  Karena sesungguhnya Allah SWT telah memerintahkan ketaatan kepada 'Ulil Amri, kepada Amir, kepada para Imam, dan dalil-dalil yang telah disebutkan disini mengindikasikan akan kewajibannya secara pasti.

Karena itulah di dalam syariat Islam ini ditetapkanlah bahwa bermaksiat kepada seorang pemimpin sama saja hukumnya seperti bermaksiat terhadap Rasul SAW.  Sama pula maknanya bermaksiat kepada Allah SWT.

Apalagi dalil terkait hal ini dikuatkan dengan adanya hadits berikut ini,

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اسْمَعُوا وَأَطِيعُوا ، وَإِنِ اسْتُعْمِلَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ ، كَأَنَّ رَأْسَهُ زَبِيبَةٌ

_Dengarkanlah dan taatilah oleh kalian, walaupun orang yang dipercayakan untuk memimpin kalian adalah seorang hamba sahaya Ḥabasyi (Ethiopia), yang kepalanya seperti kismis"_
(HR.BUKHARI).

Terkait hadits ini beliau menjelaskan bahwa ketaatan itu tetap wajib diberikan sekalipun sosok pemimpin seperti digambarkan dalam hadits tersebut.

*ولو كان الحاكم عبدا حبشيا*

 _(Sekalipun penguasa itu seorang budak habasyah yang hitam)_

Ini menunjukkan dalil yang pasti bahwa ketaatan itu wajib hukumnya. Tanpa memandang siapapun sosok pemimpinnya.

Hanya saja dalil-dalil ini seringkali disalahpahami oleh sebagian kaum muslimin.  Seolah-olah adanya perintah ketaatan terhadap pemimpin kaum muslimin ini menjadi dalil untuk tidak melakukan kritik terhadap penguasa yang tidak menerapkan hukum Islam.

Padahal konteks ayat dan hadits yang menyebutkan mengenai ketaatan terhadap penguasa muslim di sini adalah maksudnya mereka yang menerapkan hukum Islam.  Bukan penguasa yang menerapkan hukum kufur demokrasi.

Karena kalau diibaratkan itu seperti orang yang menerapkan hukum-hukum terkait hak dan kewajiban suami isteri kepada pasangan yang tidak sah secara agama.  Karena mereka berkumpul saja tanpa adanya akad yang disahkan oleh agama.

Maka secara otomatis hukum-hukum terkait hak dan kewajiban pasangan suami istri tidaklah bisa diterapkan pada mereka.

Negara yang tidak dibangun berdasarkan akad syar'i tentu tidaklah dapat dikatakan negara Islam.  Karena asasnya bukanlah syariat Islam.  Maka segala ketetapan syariat terkait hak dan kewajiban warga negara juga belum bisa diberlakukan.

Semisal masalah ketaatan yang merupakan kewajiban rakyat terhadap penguasa.  Kita memang wajib taat selama hukum yang diterapkan sejalan dengan syariat.  Tetapi jika hukum yang dipakai untuk mengurusi rakyat adalah hukum kufur demokrasi maka jelas dalam hal ini ketaatan menjadi gugur.

*لا طاعۃ في امعصيۃ*

_(Tidak ada ketaatan dalam kemaksiatan)_

Hal ini sebagaimana sabda Nabi ﷺ :

 عَلى المَرْءِ المُسْلِم السَّمْعُ والطَّاعَةُ فِيما أَحَبَّ وكَرِهَ، إِلَّا أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ، فَإذا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلا سَمْعَ وَلا طاعَةَ (متفقٌ عَلَيْهِ)

_Kewajiban seorang muslim adalah mendengar dan mentaati dalam perkara yang ia senangi maupun ia benci, selama ia tidak diperintahkan untuk bermaksiat. Apabila ia diperintakan untuk bermaksiat, maka tidak boleh mendengar dan mentaati."_

Imam Al-Muzani rahimahullahu ta'ala  menjelaskan mengenai hadits ini :

 وَالطَّاعَةُ لِأُولِي الْأَمْرِ فِيْمَا كَانَ عِنْدَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ مَرْضِياًّ وَاجْتِنَابِ مَا كَانَ عِنْدَ اللهِ مُسْخِطًا. وَتَرْكُ الْخُرُوْجِ عِنْدَ تَعَدِّيْهِمْ وَجَوْرِهِمْ وَالتَّوْبَةِ إِلىَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ كَيْمَا يَعْطِفُ بِهِمْ عَلَى رَعِيَّتِهِمْ

```Dan bersikap taat kepada Ulil Amri (pemerintah) dalam hal-hal yang diridlai Allah Azza Wa Jalla, dan meninggalkan (ketaatan kepada mereka) pada hal-hal yang dimurkai Allah. Meninggalkan sikap khuruj (menentang kekuasaannya) ketika pemerintah bersikap sewenang-wenang dan tidak adil. Bertaubat kepada Allah Azza Wa Jalla agar pemerintah bersikap kasih sayang terhadap rakyatnya.```

Dari sini menjadi jelaslah kepada kita bahwa ketaatan terhadap penguasa itu bukanlah ketaatan yang membabi buta.  Sudah babi buta lagi, kasian banget kalau seperti ini. 

Intinya taatilah selama pemimpin itu taat kepada Allah dan Rasul-Nya.  Siapapun mereka dan apapun latar belakangnya tidak menjadi ukuran utama.  Yang terpenting adalah bagaimana komitmen seorang pemimpin terhadap hukum syara'.

*وﷲ اعلم با الصواب*

_Semoga Allah Memberi Petunjuk Kepada Kita Semuanya. Allahumma Aamin._

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MERESTART ULANG KEHIDUPAN

* Oleh  : Abu Afra t.me/AbuAfraOfficial Terkadang ada orang yang ketika awal hijrahnya begitu bersemangat.  Dimana-mana selalu ngomong...