Kamis, 30 Januari 2020

UJIAN DATANG, KUATKAN KESABARAN


_Oleh : Abu Afra_
t.me/AbuAfraOfficial

Kadang ada saja sesuatu yang menguji kesabaran kita setiap harinya.  Datangnya bisa dari mana saja.  Boleh jadi ujian itu datang dari orang-orang terdekat kita.

Orang dekat itu bisa jadi pasangan kita, anak kita, sahabat kita atau mungkin kerabat dekat lainnya.  Ujiannya juga bisa bermacam-macam.  Yang pasti berujung di satu muara, yaitu membuat kita merasa tidak nyaman.

Tapi tenang saja, segala sesuatu yang membuat kita tidak nyaman biasanya adalah tanda perubahan ke arah lebih baik.  Seperti ketika kita berjalan menanjak memang terasa berat, beda sekali ketika kita hanya berjalan norman di atas jalan datar.

Jangankan kita manusia biasa.  Orang-orang yang lebih mulia dari kita pun sedari dulu sudah diuji melalui anak dan istrinya.

Ada banyak sekali contoh mengenai hal ini.  Coba kita simak saja kisah para nabi-nabi yang mulia.  Nabi Nuh  misalnya diuji melalui anaknya sendiri. 

Nabi Nuh dengan sabar telah berdakwah selama sembilan ratus lima puluh tahun untuk menyembah Allah.  Namun dakwah yang begitu panjang tidak banyak menyadarkan kaumnya.

Akhirnya Allah memerintahkan Nabi Nuh untuk membuat bahtera (kapal) yang sangat besat di puncak bukit, dan memerintahkan kaumnya yang taat dan berbagai jenis hewan untuk naik ke dalam bahtera tersebut.

Ketika azab Allah berupa banjir besar menenggelamkan apa saja yang ada di muka bumi,  Beliau  Nabi Nuh  melihat putranya yang ingkar kepada ajarannya untuk naik ke atas perahu, namun putranya tersebut menolak untuk diselamatkan dan memilih mencari dataran yang lebih tinggi untuk menyelamatkan diri. Akhirnya sang anak termasuk diantara kaumnya yang celaka dan ditenggelamkan.

Kemudian lagi Nabi Luth.  Beliau diutus kepada sebuah kaum yang dikenal dengan kaum Sodom dan Gomorah. Dakwah Nabi Luth pada kaumnya untuk menyembah Allah dan menjauhi kemaksiatan pada akhirnya tidak banyak berhasil sehingga Allah menurunkan laknat dan azab pada kaum homoseksual ini dengan hujan batu. Allah menyelamatkan nabi Luth dan pengikutnya, kecuali istri Nabi Luth sendiri yang ingkar pada ajaran Nabi Luth.

Selanjutnya lagi Nabi Ya’kub.  Beliau menikahi dua puteri pamannya, Laban, yang bernama Layya (Lea) dan Rahil (Rachel). Dari Layya Nabi Ya’kub memperoleh anak-anak: Rubail (Ruben), Syam’un (Simeon), Lawi (Lewi), Yahudza (Yahuda, dari nama inilah diambil nama Yahudi), Yasakhir, Zabilun dan Dina (satu-satunya perempuan). Dari Rahil Nabi Ya’kub memperoleh dua putera: Yusuf dan Bunyamin.

Nabi Ya'kub lebih mengasihi Yusuf dan Bunyamin karena Rahil meninggal dunia setelah melahirkan Bunyamin. Masalahnya terletak pada sifat iri dan dengki putra Nabi Ya'kub yang tua-tua dari istri Layya sehingga mereka mencelakai Yusuf dengan membuangnya ke sebuah sumur kering dan berkata  kepada ayahnya kalau Yusuf diterkam bianatang buas dengan membawa bukti baju Yusuf yang diolesi darah kambing, dengan tujuan untuk merebut cinta dan perhatian nabi ya'kub. Nabi Ya'kub sangat sedih atas perbuatan mereka

Nabi Yusuf adalah putra Nabi Ya'kub yang menjadi korban dari sifat iri dan dengki saudara-saudara dari ibu yang berbeda. Nabi Yusuf dibuang ke sebuah sumur namun atas ijin Allah, Nabi Yusuf selamat dan menjadi pembesar di kerajaan mesir.

Kemudian lagi kisah Nabi Ibrahim yang telah berkeluarga dengan Sarah belum juga dikaruniai keturunan. Atas saran Sarah kemudian Nabi Ibrahim menikahi Hajar yang kemudian memiliki anak bernama Ismail. Sedangkan dengan Sarahpun akhirnya dikarunia putra yang diberi nama Ishaq. Masalahnya timbul ketika Sarah begitu cemburu terhadap Hajar akhirnya mengusir hajar dari rumahnya. Nabi Ibrahim pun membawa Hajar dan Ismail hijrah ke jazirah arab yang tandus dan meninggalkannya di sana. Suatu ketika Nabi Ibrahim ingat dengan nazarnya untuk memberikan apasaja yang Allah inginkan jika beliau dikaruniai putra. Allah menguji Nabi Ibrahim untuk mengorbankan putra yang dikasihinya sebagai tebusan atas nazar tersebut. Sungguh ujian yang sangat berat, namun Nabi Ibrahim, hajar dan Ismail dapat melaluinya dengan baik.

Nabi Muhammad merupakan keturunan dari bangsawan suku Quraiys. Paman-pamannya adalah tokoh masyarakat yang sangat berpengaruh. Paman nabi Muhammad yaitu: Haris, Abu Thalib (Abdu Manaf), Zubair,  Hamzah, Abu Lahab (Abdul Uzza), Ghaidaq, Muqawwam, Dhirar, `Abbas, Qusam, Abdul Ka`bah dan Hajal (Mughirah). Namun hanya Abbas dan Hamzah saja yang beriman dan menjadi pengikut Nabi Muhammad. Justru yang membuat Nabi Muhammad sedih adalah pamannya Abu Thalib (ayah dari Ali bin Abi Tahlib ra) yang telah membesarkan dan melimndungi Nabi Muhammad, sampai akhir  hayatnya tidak beriman kepada Nabi Muhammad.

Tidak hanya para nabi yang diuji melalui orang dekatnya.  Mereka yang hidupnya meneladani para nabi juga akan diberikan ujian yang serupa dengan mereka.

Sebut saja para shahabat nabi radhiyallahu 'anhum ajma'in juga mengalami ujian dari orang-orang dekatnya.  Umar bin Khattab RA.  Sang Amirul mukminin saja pernah dberikan ujian berupa kemarahan dan omelan dari istrinya sendiri.  Tapi itu tidak sedikitpun mengurangi kemuliaan beliau.

Generasi setelah mereka pun demikian adanya. Para Ulama waratsatul anbiya juga tidak sunyi dari cerita ujian orang-orang dekatnya.


Contoh kecil saja misalnya. Imam Syibawaihi seorang Ulama pakar Nahwu muda dan rupawan suatu ketika beliau menikah dengan seorang perempuan yg sangat mencintai Imam Syibawaihi.

saat itu kebetulan Sang Iman Nahwu sedang sibuk dan asyik mengarang kitab tentang ilmu nahwu sehingga tidak ada waktu lagi bercinta dan memadu kasih dengan istrinya. Siang malam hanya berpikir dan menulis saja.

Suatu hari sang imam keluar menuju pasar karena ada hajat dan keperluan sedang dirumah sang istri yg kecewa dan cemburu lantas membakar kitab yg sedang akan dirampungkan suaminya.

Sepulang dari pasar sang Imam Nahwu menjumpai kitabnya sudah habis menjadi abu.  Lalu beliau pingsan dan ketika sadar istrinya langsung ditalaknya.

Kata Ulama telah hilang sebagian besar ilmu Syibawaihi yg beliau belajar sama Imam Khalil karena dibakar istrinya. itulah ujian seorang Ulama.

Anak dan Istri adalah Ujian. Namun jika kita sabar menghadapinya buahnya adalah surga.  Kita harus sadari bersama, ujian terberat yang dirasakan oleh orang beriman justru dari keluarga sendiri.

Hal ini karena anak dan istri memiliki ikatan emosional yang kuat denga diri kita. Sampai-sampai Allah memperingatkan kita dengan beberapa firmanNya :

_"Hai orang-orang mukmin, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS 64:14)_

_"Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar. " (QS 8:28)_

_"Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi." (QS 63:9)_

Kedua ayat tersebut sangat jelas menggambarkan bahwa anak, istri dan harta akan menjadi bagian dari ujian yang diberikan oleh Allah untuk lebih mendekatkan diri pada Allah atau kita semakin jauh dari Allah.


Filosofi Ujian bagi Orang yang Beriman adalah seperti kata  Pepatah inggris *"No pain No Gain"* artinya *'tidak ada kesenangan tanpa dicapai dengan susah payah"*.

Demikian juga dengan orang beriman, karena Allah SWT tidak akan menggratiskan tiket masuk surga tanpa bayaran pahala. Allah tidak akan menaikkan level game kehidupan kita tanpa terlebih dahulu melewati ujian keimanan kita sesuai dengan firman Allah SWT.

_"Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu. Dan (juga) kamu sungguh-sungguh akan mendengar dari orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan dari orang-orang yang mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak yang menyakitkan hati. Jika kamu bersabar dan bertakwa, maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang patut diutamakan." (QS 3:186)_

_"Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan." (QS 21:35)_

_"Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar." (QS2:155)_

_"Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun" (QS 67:2)_

_"Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk syurga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: "Bilakah datangnya pertolongan Allah?" Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat. " (QS 2: 214)_

_"Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta." (QS 29:2-3)_

_"Dan kami jadikan sebahagian kamu cobaan bagi sebahagian yang lain. Maukah kamu bersabar?; dan adalah Tuhanmu maha Melihat." (QS 25:20)_

Beberapa Hadist Rasulullah Muhammad SAW juga menegaskan tentang ujian kehidupan bagi orang yang beriman

_" Seorang hamba memiliki suatu derajat di surga. Ketika dia tidak dapat mencapai - nya dengan amal-amal kebaikkannya maka Allah menguji dan mencobanya agar dia mencapai derajat itu." (HR. At Thabrani)_

_"Sesungguhnya Allah Azza Wajalla menguji hambanya dalam rezeki yang diberikan kepada-nya. Kalau dia ridho dengan bagian yang diterimanya maka Allah akan memberkahinya dan meluaskan pemberian-Nya. Kalau dia tidak ridho dengan pem berian-Nya maka Allah tidak memberi -nya berkah.  (HR. Ahmad)._

_Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra bahwa Rasululloh saw. bersabda , “ Ujian akan selalu menyertai hidup orang mu’min , entah pada dirinya , anak-nya maupun hartanya sehingga ia berjumpa dengan Allah dalam keadaan terbebas dari dosa.”  (HR. Turmudzi)_

_"Apabila Allah menyenangi hamba-Nya , maka dia diuji , agar Allah mendengar permohonannya ( kerendahan dirinya )." (HR.Al Baihaqi)_

_"Apabila Aku menguji hamba-KU dengan membutakan kedua matanya dan dia bersabar maka Aku ganti kedua matanya dengan surga. " (HR.Ahmad)_

_"Janganlah ada orang yang menginginkan mati karena kesusahan yang diderita - nya , Apabila harus melakukannya , hendaklah dia cukup berkata, : “ Ya Allah , tetap hidupkan aku selama kehidupan itu baik bagiku , & wafatkanlah aku jika kematian baik untukku. " (HR. Bukhari)_

_"Tiada seorang mukmin ditimpa rasa sakit , kelelahan (kepayahan) diserang penyakit atau kesedihan (kesusahan) sampaipun duri yang menusuk tubuhnya kecuali dengan itu Allah menghapus dosa-dosanya." ( HR. Al Bukhari )_

_"Besarnya pahala sesuai dengan besarnya ujian dan cobaan. Sesungguhnya Allah ‘Azza wajalla bila menyenangi suatu kaum – Allah menguji mereka. Barang siapa bersabar maka baginya manfaat kesabarannya dan barang siapa murka maka baginya murka Allah." (HR. Attirmidzi)._


_Akhirnya, semoga segala ujian yang datang menjadikan kita semakin bijak dan sabar dalam menghadapinya._

Selasa, 28 Januari 2020

JIKA ANDA BERTAQWA, REZEKI ANDA TIDAK TERKIRA.


_Oleh : Abu Afra_

K.H Didin Hafiduddin pernah bertanya pada salah seorang murid beliau yang kebetulan seorang Direktur sebuah perusahaan. Kata beliau, _"Apakah penghasilan kamu
tiap bulan sama?"_ lalu dijawab oleh sang murid, _" iya kiyai kurang lebih sama"._

Sang kiyai kemudian bilang, _" kalau begitu kamu terindikasi kurang bertaqwa"._  Sang murid pun merasa kaget dengan jawaban sang kiyai.

Kiyai Didin kemudian melanjutkan, _" Kalau kamu bertaqwa seharusnya rezekimu tak terduga.  Demikian janji Allah Jalla wa 'ala."_

Apa yang disampaikan kiyai Didin bukanlah isapan jempol belaka.  Beliau ngomong itu ada dalilnya.  Lihat saja di Al Qur'an Surat Ath Talaq ayat 2 dan 3 :

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ

_Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya._

ۚ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ ۚ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ ۚ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا

Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.


Rezeki memang bukanlah sesuatu yang bisa dipastikan dengan hitungan angka sebagaimana gaji.  Karena rezeki itu pemberian Allah SWT.  Jadi terserah Allah mau kasih berapa kepada hamba-Nya. Beda sama gaji yang angkanya bisa saja sudah dipastikan sesuai dengan pangkat dan golongan.  Atau sesuai dengan keahlian seseorang.  Namun kita wajib yakin bahwa Allah SWT telah menetapkan rezeki kita selama kehidupan masih berjalan.

Sebagaimana Allah telah sampaikan di dalam Al Qur'an :


وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا ۚ كُلٌّ فِي كِتَابٍ مُبِينٍ

Dan tidak ada satupun makhluk bergerak (bernyawa) di muka bumi melainkan semuanya telah dijamin rezekinya oleh Allah. Dia mengetahui tempat kediaman dan tempat penyimpanannya. Semua itu (tertulis) dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh). – (Q.S Hud: 6)

Kami secara pribadi sudah begitu sering merasakan hal ini.  Mungkin begitu pun dengan anda yang sedang baca tulisan ini.  Boleh jadi penghasilan kita di bulan ini berbeda dengan penghasilan kita di bulan sebelumnya.  Walaupun secara matematis seharusnya sama saja karena sehari-hari kita bekerja sebagai karyawan atau pegawai yang sudah pasti secara angka misalnya.  Namun kadang rezeki itu bisa saja datang dari pintu-pintu lainnya selain gaji kita.

Kita kembali lagi ke  Q.S. At Talaq ayat 2-3 yang telah kami sebutkan di atas.  Ayat ini seringkali juga disebut-sebut sebagai ayat seribu dinar.  Kok bisa? Menurut beberapa riwayat yang masyhur di tengah masyarakat kita begini kisahnya.

Diceritakan pada zaman dahulu ada seorang pedagang lelaki yang bermimpi didatangi Nabi Khidir.

Pedagang itu kemudian diperintahkan untuk bersedekah uang sebanyak seribu dinar. Setelah tiga kali mengalami mimpi yang sama pedagang itu mulai berpikir bahwa mimpi yang beliau alami itu adalah benar.

Pedagang itupun kemudian bersedekah uang sebanyak seribu dinar, seperti yang diperintahkan melalui mimpinya. Setelah itu, sekali lagi pedagang tersebut bermimpi bertemu Nabi Khidir. Lalu Nabi Khidir pun mengajarkan pedagang itu ayat 2-3 surah at-Talaq untuk diamalkan. Lalu beramallah pedagang dengan ayat ini.

Sehingga pada suatu hari pedagang tersebut ingin pergi berdagang ke suatu tempat yang lain melalui jalur laut dengan menaiki kapal. Di tengah pelayaran ia dilanda angin topan yang sangat dahsyat. Yang bisa dilakukan oleh pedagang itu hanya bertawakal kepada Allah sambil terus membaca ayat yang diajarkan Nabi Khidir.

Akhirnya kapal itupun pecah dipukul ombak, semua penumpangnya tidak selamat kecuali pedagang tersebut. Saat angin reda, ia mendapati dirinya terdampar di tepi pantai sebuah negeri asing dengan barang dagangan yang tidak rusak sedikit pun. Sambil menadahkan tangan mengucap syukur kepada Allah Swt ia sadar dan insyaf akan kebesaran keutamaan ayat yang diamalkannya. Pedagang itu lantas memutuskan untuk menetap di negeri tersebut.

Tinggallah lelaki itu di negeri yang baru, berdagang dan berniaga dengan penduduk negeri, di samping terus mengamalkan membaca ayat 2-3 surat at-Thalaq. Hingga ia diangkat menjadi raja di negeri tersebut (rezeki yang tidak disangka-sangka). Begitulah kisahnya, sehinggalah sekarang ini ayat yang diajar Nabi Khidir itu digelar ayat seribu dinar.

Entah dari mana sumber cerita tersebut, kami pribadi pertama kali menemukan istilah ayat seribu dinar ini ketika dahulu menghafalkan doa-doa di dalam sebuah kutayib karangan tuan guru Qusyairi Hamzah yang berjudul Risalah 'Amaliyah.  Kitab kecil ini sangat populer di kalangan warga nahdhiyin terutama di daerah kami Kalimantan Selatan.

Di dalam kitab kecil itu dijelaskan agar ayat ini diamalkan sebanyak tiga kali pengulangan setiap selesai shalat fardhu agar diberikan kemudahan dalam perkara rezeki.

Terlepas dari itu semua, ada pesan penting dari ayat ini.  Di dalam ayat tersebut terdapat janji Allah SWT terhadap hamba-hamba-Nya yang bertaqwa dan bertawakkal kepada Allah SWT.

Allah SWT berjanji akan memberikan jalan keluar atas setiap persoalan di dalam hidupnya.  Selain itu juga diberikan jalan rezeki yang tidak terduga sebelumnya. Bahkan diberi kecukupan atas segala kebutuhannya.

Memang kita tidak boleh menafikan kelebihan ayat seribu dinar. Para ulama menganjurkan supaya mengamalkan ayat ini untuk memperoleh kejayaan atau keuntungan. Walaupun terdapat perselisihan dan pertentangan dari para alim ulama mengenai kelebihan dan kesahihan sumbernya, karena tidak ada dalil dari Alquran atau hadis yang shahih.

Jadi menurut hemat kami ini pilihan saja.  Bagi anda yang meyakininya silahkan beramal dengannya, bagi anda yang masih ragu maka amalkan seruan ayat ini yang jelas qoth'i tsubut maupun dilalahnya.

Apabila diperhatikan kepada makna setiap ayat, memang tepat dan benar bahwa ayat ini amat penting untuk diamalkan oleh setiap umat Islam, agar lebih tinggi kebergantungan seseorang itu kepada Allah Swt dalam setiap tindak tanduk dan perbuatan.

Kami berkhusnuzhon saja dengan para ulama yang menganjurkan mengulang-ulang ayat ini.  Tentu dengan sering mengulangnya lama-lama akan hafal.  Selanjutnya setelah hafal menjadi faham dan sadar lalu bermetamorfosa menjadi sebuah keyakinan yang bulat.  Fainsya Allah.

Juga dapat dipahami bahwa ayat tersebut mengandung dua pelajaran supaya kita bertakwa dan bertawakal kepada Allah dalam semua urusan rezeki dan kebergantungan.

Hanya Allah yang Maha Berkuasa menentukan rezeki dan jalan keluar dari setiap persoalan hidup setiap hamba-Nya.  Jika keyakinan itu disematkan di hati dan pikiran maka sudah tentu Allah lah tempat penentu kesudahan.

Lantas taqwa itu sendiri apa sih sebenarnya?

Imam Ibnu Rojab  Rohimahullah pernah mengatakan :
_“Asal/ dasar taqwa adalah seorang hamba menjadikan adanya tameng antara dirinya dan hal yang ditakuti, diwaspadainya. Sehingga taqwa seorang hamba kepada Robbnya adalah dia menjadikan adanya tameng antara dirinya dan hal yang dikhwatirkan, ditakutinya berupa marah, kemurkaan dan hukuman dari Robbnya yaitu dengan melakukan keta’atan kepada Nya dan menjauhi maksiat kepada Nya”._

Inilah makna taqwa dalam Firman Allah Subhana wa Ta’ala,

وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ

_ "Bertaqwalah kepada Allah yang hanya kepada Nyalah kamu akan dikumpulkan"_

(QS. Al Maidah [5] : 96)

*Semoga kita termasuk hamba-hamba Allah yang bertaqwa.*

MENULISLAH DEMI PERUBAHAN


_Oleh : Abu Afra_
t.me/AbuAfraOfficial

Harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading.  Sementara manusia mati meninggalkan kenangan dan sejarah yang diukirnya ketika dia hidup di dunia.

Kita harus sadar bahwa kehidupan yang kita jalani sekarang ini pasti akan berakhir.  Oleh sebab itu, mulai sekarang kita harus berpikir sejarah apa sih yang ingin kita torehkan dalam kehidupan yang singkat ini.

Berlalu satu periode umur kita berarti bertambah tua lah kita ini.  Artinya semakin dekat pula kita dengan kematian.  Lantas jika demikian, apakah kita mau setelah kita mati kemudian hilang dan terlupakan?

Kita mengenal wali songo dari literatur sejarah kita.  Kita juga mengenal ulama-ulama mazhab dari karya tulis mereka.  Banyak orang- orang besar yang telah ratusan bahkan ribuan tahun meninggalkan dunia ini namun manusia setelahnya masih tetap merasakan keberadaan mereka. 

Kenapa bisa demikian? karena mereka mengukir sejarah mereka sendiri dengan apik dan rapi.  Mereka tinggalkan dunia ini dengan karya berharga yang manfaatnya masih bisa dirasakan oleh manusia setelahnya.

Jika kita berbuat baik semasa hidup kita, yang bisa merasakan kebaikan kita hanyalah orang yang hidup sezaman dan pernah berinteraksi dengan kita.  Akan tetapi ketika kita mampu menorehkan kebaikan itu dalam bentuk tulisan, maka lintas generasi akan ikut merasakan kebaikannya.

Maka mulai sekarang siapapun kita, MENULISLAH!.  Sudah waktunya sejarah dunia ini kita warnai dengan karya-karya terbaik kita.  Sebagaimana dahulu para ulama kita telah mencontohkannya.

Salah seorang guru kami Al Ustadz Abdul Hafidz pernah menjelaskan.  Diantara rahasia kenapa para ulama kita mampu meninggalkan karya tulis sedemikian banyaknya.  Adalah karena mereka memiliki kebiasaan menuliskan apa yang mereka dapatkan dari guru-guru mereka.  Tanpa pernah berpikir apakah tulisan mereka itu akan terbaca oleh orang ataukah tidak, atau menebak-nebak apakah bagus ataukah jelek tulisan itu. 

Bagi para ulama kita dahulu, menulis adalah bentuk ibadah yang mudawamah mereka lakukan.  Dengan harapan mendapatkan keridhoan Allah SWT saja.  Karena itulah para ulama kita sangat luar biasa produktif dalam menghasilkan karya tulis.    Dan wajar jika tulisan-tulisan mereka kemudian terus dibaca dan dikaji manusia dari masa ke masa.

Adalah Muhammad bin Jarir ath-Thabari atau lebih dikenal Ibnu Jarir ath-Thabari. Beliau hidup pada abad ke-3 Hijriyah. Ath-Thabari adalah nama yang lumayan masyhur, terutama dalam bidang ilmu tafsir. Beliau adalah penulis kitab tafsir terkenal Jami’ul Bayan ‘an Ta’wilil Ayil Qur’an atau yang lazim dikenal Tafsir Ath-Thabari. Ath-Thabari juga merupakan penulis kitab sejarah Islam yang sangat tebal dan populer Tarikh ar-Rusul wa al-Muluk. Dua buku itu saja sudah menunjukkan kecakapan beliau dalam hal menulis. Sedangkan kitab-kitab tulisan beliau masih banyak lagi.

Dalam suatu riwayat, seorang sejarawan menyebutkan bahwa Ibnu Jarir ath-Thabari memiliki kebiasaan menulis sebanyak 40 lembar dalam sehari. Bayangkan, bukan 40 kata atau 40 kalimat apalagi cuma 40 huruf. Tapi 40 lembar! Menulis 40 lembar dalam sehari dan secara rutin tentu hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang kuat otak dan fisiknya. Dan Ibnu Jarir ath-Thabari menjadi salah seorang yang Allah karuniai dengan nikmat sanggup memanfaatkan waktu luang sehingga bisa merutinkan menulis sebanyak itu.

Ibnu ‘Aqil pernah menulis sebuah kitab bertajuk Al-Funun, semacam kitab bunga rampai yang berisi tulisan-tulisannya tentang berbagai bidang kehidupan. Tahukah kamu, dalam satu riwayat disebutkan bahwa buku Al-Funun tersebut tebalnya mencapai 800 jilid! Jika jilid-jilid tersebut ditumpuk, kira-kira tingginya adalah 40 meter. Tentu kita bisa bayangkan seberapa tebalnya buku itu dan seberapa serius serta gigihnya si penulis saat menulis buku tersebut.

Selain mereka ada banyak lagi ulama yang meninggalkan banyak karya tulis yang sangat berharga.  Mereka tetap hidup di tengah-tengah manusia di saat orang-orang yang pernah hidup sezaman mungkin telah banyak dilupakan.

Mungkin ada yang bilang, ah zaman sekarang nulis udah gak penting.  Teknologi sudah canggih dan kecenderungan manusia sudah bergeser.  Mereka lebih senang dengan yang instan untuk memperoleh informasi.  Gambar meme dan video pendek lebih diminati.

Oke, mungkin anda benar.  Tapi ketahuilah semaju apapun zaman karya tulis tetaplah memegang peranan.  Sehebat apapun seseorang jika tak mampu menghasilkan karya tulis maka tetap akan ada yang kurang.

Gelar akademik saja hanya akan diberikan jika anda telah mampu menghasilkan sebuah karya tulis ilmiyah.  Karena memang ada hal-hal yang tidak bisa tuntas dibahas kecuali lewat tulisan.

Nah, melalui karya tulis itulah ilmu-ilmu yang sangat berharga nilainya masih bisa kita temukan. 

Walaupun para ilmuan yang menemukannya telah lama meninggalkan kita.

Risalah Islam yang mulia ini pun masih bisa kita rasakan keagungannya diantaranya karena pena para Ulama.  Maka seorang aktifis dakwah yang merindukan kejayaan Islam sudah seharusnya meneladani mereka.  Tidak mencukupkan diri berdakwah secara lisan saja, tapi juga melalui tulisan.

Tulisan anda adalah masa depan dunia.  Maka, ukirkan sejarah terbaik dengan tulisan-tulisan terbaik kita.  Jadikan tulisan kita sebagai amal jariyah yang tiada putus-putusnya. Demi dakwah, demi kejayaan Islam di masa depan.

_Wallahu musta'an_

Senin, 27 Januari 2020

MUTIARA DAN PENGORBANAN*


*_Oleh  : Abu Afra_*

t.me/AbuAfraOfficial


Untuk mendapatkan sesuatu yang berharga itu memang butuh pengorbanan.  Tidak bisa instan kawan.  Untuk mendapatkan santan saja, kelapa harus dikupas dulu, kemudian di parut dan diperas.

Untuk mendapatkan mutiara yang sangat berharga seseorang harus menyelam dulu di lautan yang dalam.  Jadi memang sekali lagi sesuatu yang berharga itu tidak instan.  Perlu perjuangan dan pengorbanan untuk mendapatkannya.

*Al Jazaa'u min jinsil 'amal ( Balasan itu bergantung bobot amal perbuatan).*  Ketika kita berharap hasil yang terbaik tapi usaha yang dikeluarkan malah terbalik itu namanya belum klik.

Sudah menjadi sunnatullah ketika kita berupaya sungguh-sungguh untuk mendapatkan sesuatu yang berharga maka tentu saja ada pula hal-hal lain yang harus dikorbankan.

Kalo istilah seorang teman, seperti teori pembayaran.  Kita mau bayar di depan atau bayar dibelakang.  mau bayar kontan atau bayar cicilan.

Kalo kita pengen dapat enak di belakang maka depannya kudu susah-susah dulu.  Tapi jika kita di awal tidak mau repot, maka dibelakang kita akan direpotkan.

Saya teringat dulu pernah baca di sebuah majalah.  Seorang Ade Rai binaragawan top sekitar tahun 90an, dia punya kebiasaan berlatih yang berbeda dengan orang kebiasaan.  Termasuk dari sisi pola makan.

Perbedaan itu bermula dari bedanya paradigma dari orang kebanyakan.  Misal, jika kebanyakan orang beranggapan olahraga itu melelahkan dan tidak menyenangkan.  Maka dia malah beranggapan sebaliknya.  Kalau tidak olahraga maka merasa lelah dan tidak menyenangkan.

Maka wajar jika hasilnya juga berbeda dari orang biasa.  Posturnya sampai pada titik sempurna untuk ukuran seorang binaragawan.

Dalam dunia pendidikan kita juga mengenal mutiara-mutiara berharga.  Mutiara berharga itu adalah para Ulama.  Ada banyak sekali kisah pengorbanan mereka dalam menuntut ilmu pengetahuan.  Sehingga wajar jika mereka meraih kesuksesan.   Semoga bisa menjadi pelajaran dan teladan bagi kita untuk bersemangat menjalankan aktifitas ilmiyyah sebagaimana pernah dicontohkan oleh mereka.  Diantaranya seperti : menempuh perjalanan menghadiri majelis ilmu, mencatat, murojaah (mengingat kembali pelajaran yang sudah didapat), membaca buku-buku para Ulama’, merangkum, meringkas, menyadur dan menyalin tulisan para ulama, mencatat faidah-faidah ilmu yang kita lihat dan dengar, mendengarkan rekaman ceramah-ceramah ilmiyyah melalui file-file audio, dan semisalnya.

 Sesungguhnya menuntut ilmu adalah ibadah, bahkan menurut al-Imam asy-Syafi’i:

*طَلَبُ الْعِلْمِ أَفْضَلُ مِنْ صَلَاةِ النَّافِلَةِ*

_Menuntut ilmu lebih utama dibandingkan sholat Sunnah (Musnad asySyafi’i (1/249), Tafsir alBaghowy (4/113), Faidhul Qodiir (4/355)._

Kisah-kisah nyata berikut ini sebagian besar disarikan dari kitab AlMusyawwaq ilal Qiro-ah wa tholabil ‘ilm karya Ali bin Muhammad al-‘Imran.

Ibnu Thahir al-Maqdisy berkata :
 _"Aku dua kali kencing darah dalam menuntut ilmu hadits, sekali di Baghdad dan sekali di Mekkah. Aku berjalan bertelanjang kaki di panas terik matahari dan tidak berkendaraan dalam menuntut ilmu hadits sambil memanggul kitab-kitab di punggungku"_

Al-Hasan alLu’lu-i selama 40 tahun tidaklah tidur kecuali kitab berada di atas dadanya.

Al-Hafidz Abul ‘Alaa a-Hamadzaaniy menjual rumahnya seharga 60 dinar untuk membeli kitab-kitab Ibnul Jawaaliiqy.

Ibnul Jauzy  sepanjang hidupnya telah membaca lebih dari 20.000 jilid kitab Al-Khothib al-Baghdady membaca Shahih al-Bukhari dalam 3 majelis ( 3 malam), setiap malam mulai ba’da Maghrib hingga Subuh (jeda sholat).

Sebagai catatan,  Shahih AlBukhari terdiri dari 7008 hadits, sehingga rata-rata dalam satu kali majelis (satu malam) dibaca 2336 hadits.

Abdullah bin Sa’id bin Lubbaj al-Umawy dibacakan kepada beliau Shahih Muslim selama seminggu dalam sehari 2 kali pertemuan (pagi dan sore) di masjid Qurtubah Andalus setelah beliau pulang dari Makkah.

*Catatan : Shahih Muslim terdiri dari  5362 hadits.*

Al-Hafidz Zainuddin al-Iraqy membaca Musnad Ahmad dalam 30 majelis (pertemuan).

 *Catatan : Musnad Ahmad terdiri dari 26.363 hadits*

Sehingga rata-rata dalam sekali majelis membacakan lebih dari 878 hadits.

Al-‘Izz bin Abdissalaam membaca kitab Nihaayatul Mathlab 40 jilid dalam tiga hari (Rabu, Kamis, dan Jumat) di masjid. Al-Mu’taman as-Saaji membaca kitab al-Fashil  465 halaman (kitab pertama tentang Mustholah hadits) dalam 1 majelis.

Bayangkan sungguh pengorbanan mereka untuk ilmu sangat luar biasa.  Bahkan bisa dikatakan di luar logika manusia pada umumnya.

Tapi begitulah adanya dan hasilnya juga tidak biasa.  Maka memanglah untuk mendapatkan ilmu pengetahuan diperlukan pengorbanan.

Guru kami Al Ustadz Abu Bakar pernah mengatakan,  _"Jadi guru itu harus rajin baca (Iqro).  Kalo gak nanti jadinya *_KAADZIBATIN KHAATI'AH_*.  Sudahlah sering dusta banyak salahnya lagi."_

Jangan sampai kita seperti ini.  Maka itulah harus rajin baca, rajin ngaji, rajin tambah daya.  Tidak mudah merasa puas dengan apa yang ada.

Memang tidak mudah kalo mau tambah daya.  Ada pikiran yang tersita, waktu yang harus dialokasikan, energi yang mesti disediakan.  Atau mungkin harta yang harus dikeluarkan.  Tapi ingatlah balasan itu tergantung besarnya usaha yang dikeluarkan.

_*Semoga Mencerahkan*_

Minggu, 26 Januari 2020

MERAIH KEMUKJIZATAN AL QUR'AN


_Oleh  : Abu Afra_

Sehari-hari al faqir mengajarkan cara membaca Al qur'an dengan metode qiraati.  Di Qiraati ada satu pesan yang senantiasa di ulang-ulang oleh guru kami.  Pesan itu adalah, *" TIDAK ADA MURID YANG BODOH, YANG ADA HANYALAH GURU YANG TIDAK BISA MENGAJAR".*

Apa yang disampaikan oleh guru-guru kami ini senada dengan apa yang disampaikan dalam taujihnya  KH. DR. Abdullah Syukri Zarkasyi, M.A. Salah satu Pimpinan Pondok Pesantren Modern Darussalam Gontor Ponorogo.

Beliau menyampaikan pepatah arab yang masyhur terkait dengan guru dan pembelajaran:

المادة مهمة ولكن الطريقة اهم من المادة

"Materi Pembelajaran adalah sesuatu yang penting, tetapi metode pembelajaran jauh lebih penting daripada materi pembelajaran"

Jadi,  sebagus apa pun materi pembelajaran,  namun jika metode pembelajarannya kurang baik,  maka hasilnya kurang maksimal.

Lalu beliau melanjutkan dgn bait berikutnya....

الطريقة مهمة ولكن المدرس اهم من الطريقة

_"Metode pembelajaran adalah sesuatu yang penting,_  *tetapi guru jauh lebih penting daripada metode pembelajaran"*

Sehingga,  sebagus apa pun metode pembelajaran,  tetapi jika guru yang bersangkutan tidak mampu mengajar dengan metode tersebut, maka hasilnya pun sama, tidak akan maksimal.

 Kemudian beliau menyampaikan ungkapan yang sangat inspiratif, yaitu:

المدرس مهم ولكن روح المدرس اهم من المدرس

*_"Guru adalah sesuatu yang penting,  tetapi *jiwa guru* _jauh lebih penting dari seorang guru itu sendiri."_

Ungkapan yang sangat luar biasa! sama luar biasanya dengan ungkapan singkat yang dikutip dari salah satu halaman buku pembelajaran qiraati. Kata beliau *"KUUNU SYUYUUKHAN"*

*Jiwa Guru* jauh lebih penting! Ya,  kekuatan batin,  _lebih didahulukan daripada kekuatan dzohir._
Kyai Syukri menjelaskan bahwa *cara  membangun jiwa adalah dengan meningkatkan kedekatan kita kepada Alloh (اَلتَّقَرُبُ إلى اللّٰه )*. _Dengan melakukan amalan-amalan wajib,  ditambah dan disempurnakan dengan amalan-amalan sunnah._

_Bayangkan jika kita..._ *_mengajar dgn 'jiwa'_* *_Niat kita ikhlas dalam mengajar,_* membimbing dan mendidik murid, ikhlas dalam menasehati, *_disiplin ketika mengajar_*, dalam kehadiran, menyiapkan dan melaksanakan pembelajaran
 *_berakhlak baik kepada murid,_*

 *_mendoakan mereka disetiap selesai sholat_* kita atau bahkan mendoakan mereka di sepertiga malam-malam kita.
Inilah makna *KUUNU SUYUKHAN.*

Di Qiraati seorang tidak dibiarkan begitu saja mengajar walaupun sudah mengantongi syahadah.  Setiap periode selalu diupgrade lagi dan dibina lagi.

Setiap pekan kami ada forum MMQ (Majelis Mu'alimil Qur'an).  Isinya adalah penjagaan kualitas bacaan guru dan evaluasi serta urung rembuk atas setiap permasalahan yang muncul dalam proses pembelajaran.

MMQ ini ibarat urat nadi keberhasilan visi misi Qiraati.  Jika MMQ bermasalah, jalannya Qiraati juga akan bermasalah.

Di forum ini kami diingatkan kembali tentang apa yang pernah kami pelajari selama pelatihan metodologi.  Agenda wajib bagi calon guru qiraati sebelum boleh mengajar qiraati.

Yah begitulah istimewanya metode ini, guru-guru harus memiliki kompetensi yang cukup sebelum mengajar. Sering kami disampaikan seorang guru itu minimal harus mengerti apa itu makharijul huruf, shifatul huruf, adabut tilawah, mura'atul huruf wal harakat,  al maddu wal qashru, ghorib wal musykilat  tajwid, dan disiplin ilmu lainnya.

Masa untuk mengajar ilmu dunia seseorang harus kuliah dulu, ini untuk ngajar ngaji kok asal-asalan.  Demikian pesan guru kami.

Yang pasti menjadi guru qiraati itu adalah wasilah untuk berkhidmah dengan Al Qur'an.   *"SEBAIK-BAIK KALIAN ADALAH YANG BELAJAR AL QUR'AN DAN MENGAJARKANNYA"*  Demikian pesan Nabi kita SAW.

Maka ketika menghabiskan waktu kita untuk belajar saja tanpa mengajar itu tidaklah cukup.  Atau sebaliknya hanya mengajar saja tanpa mau belajar jelas kelirunya. 

Lewatilah tangga demi tangga pelajaran untuk sampai pada kelayakan menyampaikan pelajaran Al Qur'an.  Tidak ada yang instan kawan kecuali micinnya negeri +62 ini.

Sebagaimana pesannya Al Imam Asy Syafi'i Rahimahullahu ta'ala :

_"Bila kamu tak tahan penatnya belajar, maka kamu akan menanggung perihnya kebodohan.”_


Al Qur'an ini katanya mukjizat.  Mukjizat itu khariqun lil 'adat kata para Ulama.  Tapi kenapa saat kita baca quran tidak terjadi sesuatu yang menakjubkan? Jadi mana mukjizatnya? Ini pertanyaan kemudian dijawab oleh para guru kami.

Anda tidak akan pernah merasakan kemukjizatan Al Qur'an sampai anda betul-betul memperlakukan Al Qur'an itu sebagaimana seharusnya.  Menghormatinya dengan adab-adab terbaik.  Terus mempelajarinya dan membacanya, memahami isi dan maksudnya.  Kemudian menerapkannya dalam kehidupan kita di dunia.

Dengan demikian insya Allah Al Quran akan memberikan pengaruh yang sangat kuat dalam kehidupan kita.  Bukan sekedar cerita qila wa qola.

Lantas bagaimana anda katakan Al Qur'an itu mulia, sementara membacanya saja anda tak bisa.  Bagaimana kita tahu Al Qur'an itu petunjuk sempurna bagi manusia sementara untuk mempelajarinya saja harus dipaksa?

_Allahummarhamna bil qur'an_

Sabtu, 25 Januari 2020

APAPUN MASALAHNYA ISTIGHFAR SOLUSINYA


_Oleh : Abu Afra_

Masalah itu ketika harapan tidak sesuai dengan kenyataan.  Begitu kata seorang teman dalam sebuah diskusi ringan ditemani kopi hitam.

Sebenarnya saat itu kita sedang bahas sirah nabawiyah eh tahunya diskusi ngelantur sampai ke masalah rumah dan maisyah.  Begitulah omongannya aktifis dakwah semuanya berkah insya Allah.

Siapa sih yang tidak punya masalah di dunia ini? saya rasa tidak akan ada.  Bahkan anak kecil pun punya masalah.  Yang bilang tidak punya masalah biasanya justru itu indikasi bahwa yang bersangkutan sedang dalam masalah.

Kok gitu? lah iya itu artinya masalah dia  adalah tidak punya kesadaran terhadap masalah dia sendiri.  Ini masalah besar!

Ada orang yang terlilit masalah utang piutang.  Kalo kata Coach Arli Kurnia sumber utang itu biasanya cuman dua aja.  Kalau gak gengsi,  yaa spekulasi.  Maka ketika anda ingin menyelesaikan utang anda tentukan dulu akar masalahnya apa.

Begitu pula masalah yang lainnya.  Hal pertama yang harus dilakukan untuk mulai menyelesaikannya adalah cari dulu akar masalahnya apa.  Jangan terlalu cepat mengambil satu kesimpulan sebelum mengumpulkan semua informasi yang berkaitan.

Kadangkala masalah itu muncul dari internal diri kita, bisa juga dari eksternal diri kita.  Untuk mengetahui apakah masalah itu muncul dari internal atau eksternal diri, diperlukan kejujuran dan kesadaran serta kejelian dalam merunut masalah yang sedang dihadapi secara merinci.

Dalam kedokteran kita mengenal istilah diagnosa.  Biasanya dilakukan dokter atau tenaga kesehatan untuk mengecek sebab musabab suatu penyakit.  Jika salah diagnosa maka salah pula obatnya.  Ujungnya penyakit bukannya sembuh bisa jadi tambah parah.

Nah diagnosa biasanya bukanlah sebuah kepastian.  Bisa saja salah, bisa juga benar.  Diagnosa akan lebih dekat dengan kebenaran ketika informasi yang diberikan pasien lengkap terkait gejala yang dirasakan dan sebagainya.  Maka mengumpulkan informasi adalah langkah awal penanganan masalah yang benar sebelum mengambil keputusan.

Langkah berikutnya adalah mengendapkan masalah dulu sampai jernih persoalannya.  Sebagaimana air yang bercampur dengan tanah akan terlihat jernih ketika tanahnya sudah mengendap di dasar dan terpisah dengan airnya.

Endapkan masalah dengan mengikhlaskannya.  Mengembalikan masalah kepada Sang Pencipta kita, Allah SWT. Caranya dengan bertaubat menginsafi diri atas segala dosa.  Karena masalah jika dilihat dari sudut pandang aqidah bersumber dari dosa-dosa yang dilakukan hamba.

Syech Hasan Al Basri pernah ditanya langsung oleh tiga orang.  Pada suatu hari, datanglah sekelompok orang ke rumah Hasan Albashri. Mereka bertujuan untuk meminta nasihat kepada al-Hasan perihal berbagai masalah hidup yang mereka hadapi. Di antara mereka, ada yang mengadu perihal kefakiran yang dialaminya. Kondisi ekonominya begitu terpuruk sehingga ia tak mampu menanggung dan memenuhi kebutuhan keluarganya.

Sebagian yang lain, menanyakan terkait keinginannya mendapatkan momongan. Mereka telah lama mendamba kehadiran buah hati di dalam kehidupan rumah tangganya, tapi belum juga dikaruniai. Sedangkan, yang lainnya adalah para petani. Ia begitu gamang terhadap bumi yang ditanaminya. Bagaimana tidak, setelah sekian tahun mengolah tanah, tak sekali pun ia menuai hasil yang melimpah.

Malah yang terjadi adalah kerusakan tanaman akibat kekeringan dan tanah yang tandus. Semua pertanyaan dari berbagai orang tersebut dijawab oleh al-Hasan Bashri hanya dengan satu kalimat, Beristigfarlah!. Mendengar semua masalah dijawab dengan istighfar membuat Rabi' bin Shahib pun memberanikan diri untuk bertanya, Wahai Al Hasan, banyak orang yang mendatangimu dengan mengadukan berbagai hal dan meminta (pertolongan) bermacammacam kepadamu.

Tapi mengapa hanya istighfar yang kau jadikan sebagai solusi jalan keluar?" Al Hasan pun terdiam. Lalu, ia hanya membacakan beberapa ayat dari Surah Nuh sebagai berikut: Maka, aku (Nuh) katakan kepada mereka: "Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah maha pengampun. Niscaya Dia akan mengirimkan kepadamu hujan yang lebat.

Dan membanyakkan harta dan anak-anakmu dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungaisungai. Mengapa kamu tidak percaya akan kebesaran Allah?" (QS Nuh [71]: 10-12). Kisah yang termuat dalam kitab Hasyiyah al-Shawi 'ala Tafsir al-Jalalain karya Imam Ahmad Ibn Muhammad al-Showy al-Maliki itu, memberi pelajaran penting bahwa beristighfar merupakan solusi dari berbagai permasalahan yang mendera kehidupan kita.

Istighfar sebagai solusi dari berbagai problema hidup dapat dipahami dari beberapa hal. Pertama, beristighfar merupakan sarana untuk meminta ampun atas dosa dan sebagai pembersihan diri. Orang yang menyucikan diri adalah orang yang akan mendapatkan keberuntungan, di antaranya mendapatklan solusi dari problema hidupnya.

Kedua, beristighfar adalah cara untuk melihat kekurangan diri. Ketika kita beristighfar, kita akan melihat dosa dan kesalahan kita. Sebab, makna yang terdapat di dalam istighfar adalah muhasabatunnafsi, yakni mengoreksi berbagai hal terkait dengan kekurangan diri untuk bisa diperbaiki.

Ketiga, beristighfar cara untuk menjaga diri agar tidak mudah tergelincir pada kesalahan dan dosa. Ketika kita selalu beristighfar kita akan hati-hati dalam bertindak dan fokus pada satu titik, yakni bertindak dalam bingkai keridhaan Allah SWT.

Itu semua menjadi jalan bagi orang yang selalu beristighfar mendapatkan solusi dari problema hidupnya karena istighfar menjadi jalan mendapatkan pertolongan, bantuan serta kecintaan Allah SWT. Jika Allah sudah mencintai hamba-Nya, Allah akan selalu menyertainya, melindungi, menolongnya, dan mengijabah doa-doanya yang menjadikan problema hidupnya dapat diatasi dan mendapatkan apa-apa yang menjadi dambaannya.

Terakhir sebagai penguat apa yang telah kami sampaikan di atas.  Kami nukilkan sebuah riwayat dari  Imam Ahmad bin Hanbal dari sahabat Ibnu Abbas Radiyallahu 'anhuma :

قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ أكْثَرَ مِنَ الاسْتِغْفَارِ جَعَلَ اللَّهُ لَهُ مِنْ كُلِّ هَمٍّ فَرَجًا وَمِنْ كُلِّ ضِيقٍ مَخْرَجًا وَرَزَقَهُ مِنْ حَيْثُ لاَ يَحْتَسِبُ.

_Rasulullah saw. bersabda, “Siapa yang memperbanyak istighfar maka Allah akan menjadikan untuknya kelapangan dari setiap kegundahan, jalan keluar dari setiap kesempitan, dan Dia memberikan rezeki untuknya dari jalan yang tidak terduga.”_

*Wallahu musta'an*

Jumat, 24 Januari 2020

TATA HATI, JANGAN LUPA DIRI


*Oleh  : Abu Afra*
_(Khadim Majelis Ta'lim Tazkiyatun Nufus Banjarbaru)_             

Almarhum Uje pernah menyampaikan dalam salah satu cuplikan ceramahnya kurang lebihnya seperti ini, " _Menjadi orang baik itu sebuah keharusan, akan tetapi merasa diri baik itu adalah keburukan"._

Menghiasi diri dengan perilaku mulia adalah kebaikan.  Namun ketika merasa diri lebih mulia dari yang lainnya disitulah kemaksiatan bermula.

Ketika kita diberikan nikmat sehat terus menerus oleh Allah SWT tentu itu sebuah kebaikan.  Namun ketika nikmat sehat itu menjadikan kita terjatuh pada kemaksiatan ini tentu bukanlah kebaikan.

Ingatkah kita riwayat tentang seorang Fir'aun yang hanya karena seumur hidupnya tidak pernah sakit walaupun sekedar kena flu biasa.  Pada akhirnya menjadikannya jumawa lalu mentahbis dirinya menjadi Tuhan.

Al faqir teringat  pesan khutbah tadi siang yang disampaikan secara apik oleh salah satu ustadz Alumni Al Azhar Kairo di mesjid Ar Rahman.

Beliau menyampaikan sebuah riwayat
menukil dalam satu hadits riwayat Imam Muslim, sahabat Jabir radhiyallahu 'anhu (RA) berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: _"Tidak ada amalan seorang pun yang bisa memasukkannya ke dalam surga, dan menyelamatkannya dari neraka. Tidak juga denganku, kecuali dengan rahmat dari Allah"._

Dikisahkan dari sahabat Jabir RA, Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wa sallam (SAW) mendatangi kami kemudian Beliau bersabda: _"Jibril berkata: Wahai Muhammad, demi Dzat yang telah mengutusmu dengan membawa kebenaran, sesungguhnya Allah 'Azza wa Jalla memiliki seorang hamba telah beribadah kepada Allah selama lima ratus tahun di puncak gunung. Selama itu dihabiskan umurnya untuk bersujud kepada Allah SWT saja dengan shalatnya._

Usai salat, hamba itu selalu berdoa kepada Allah Taala, supaya kelak ketika ajalnya menjemput, dia wafat dalam keadaan bersujud kepada Allah dan dia juga berdoa supaya setelah kematiannya, jasadnya tidak dirusak oleh bumi dan oleh apapun juga sampai datangnya hari kebangkitan.

Allah Ta'ala pun mengabulkan semua doa hamba tersebut. Kemudian Allah berfirman: *_"Masukkan hambaKu ini ke surga dengan sebab rahmat-Ku"._*

Hamba tersebut berkata: *_"Dengan sebab amalku Ya Rabb"._*

Allah berfirman: *_"Masukkan hambaKu ke surga dengan sebab rahmat-Ku"._*

Hamba tersebut tetap berkata: *_"Dengan sebab amalku Ya Rabb"._*

Kemudian Allah berfirman: *_"Sekarang coba timbang amal hambaKu ini dengan nikmat yang telah aku berikan kepadanya"._*

Ternyata setelah ditimbang, nikmat penglihatan yang telah diberikan Allah kepada hamba itu menyamai timbangan amal ibadah yang telah dilakukannya selama 500 tahun. Dan masih tersisa anggota tubuh lain yang belum ditimbang, sedangkan amal hamba tersebut ternyata sudah habis.

Kemudian Allah Ta'ala berfirman: *_"Sekarang masukkan hambaKu ini ke neraka"._*

Mendengar perintah Allah itu, kemudian para Malaikat menggiring hamba tersebut ke neraka. Tiba-tiba ketika akan digiring ke neraka, hamba itu berteriak sambil menangis: *_"Ya Rabb, masukkan aku ke surga dengan rahmat-Mu"._*

Kemudian Allah Ta'ala berfirman kepada para Malaikat: : *"Tahan dulu wahai Malaikat*, *dan bawa dia ke sini"*

Hamba itu lalu dibawa oleh para Malaikat kehadapan Allah Ta'ala. Kemudian Allah berfirman: *"Wahai hambaKu, siapakah yang telah menciptakanmu yang sebelumnya kamu bukan apa-apa?"* Hamba itu menjawab: *"Engkau Ya Rabb".*

Kemudian Allah berfirman: *"Siapakah yang telah memberimu kekuatan sehingga kamu mampu beribadah kepadaKu selama 500 tahun?"* Hamba tersebut menjawab: *"Engkau Ya Rabb".*

Allah berfirman: *"Siapakah yang telah menempatkanmu di sebuah gunung yang berada di tengah-tengah laut yang luas, mengalirkan dari gunung tersebut air yang segar sedangkan di sekelilingnya adalah air asin. Yang menumbuhkan buah delima setiap malam yang seharusnya hanya setahun sekali berbuah, serta siapa yang telah memenuhi permintaanmu, ketika engkau berdoa supaya dimatikan dengan cara bersujud?"*

Hamba itu menjawab dengan wajah menunduk: *"Engkau Ya Rabb".*

Allah berfirman: *"Itu semua tak lain adalah atas rahmat-Ku, dan dengan rahmat-Ku juga engkau Aku masukkan surga".*

Kemudian Allah Ta'ala berfirman kepada para Malaikat: *"Masukkan hambaKu ini ke surga, engkau adalah sebaik-baik hamba wahai hamba-Ku"*. Dan dimasukkanlah hamba itu ke dalam surga berkat rahmat Allah Ta'ala.

Kemudian Malaikat Jibril AS berkata: *"Sesungguhnya, segala sesuatu itu berkat rahmat Allah wahai Muhammad".*

Lihatlah betapa kecilnya amal kita jika dibandingkan amal ahli ibadah yang diceritakan di riwayat tersebut. Maka betapa ruginya kita jika dengan amal yang sedikit itu saja telah melalaikan kita dari rasa syukur terhadap Rahmat Allah SWT.

Syukur itu berarti mengembalikan lagi segala nikmat yang Allah berikan dalam bentuk ketaatan.  Dimulai dari lisan yang senantiasa basah dengan kalimat-kalimat pujian kepada Allah Tuhan semesta alam.  Lalu berlanjut dengan pembuktian amal perbuatan dan tentu yang paling utama adalah sikap hati yang tak pernah lalai dari mengingat Rabb seluruh alam.

Ingatlah dengan Firman Allah SWT :

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ ۖ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ ﴿٧﴾ وَقَالَ مُوسَىٰ إِن تَكْفُرُوا أَنتُمْ وَمَن فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا فَإِنَّ اللَّـهَ لَغَنِيٌّ حَمِيدٌ ﴿٨

“Dan (ingatlah juga), tatkala Rabbmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih. Dan Musa berkata: “Jika kamu dan orang-orang yang ada di muka bumi semuanya mengingkari (nikmat Allah) maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (QS. Ibrahim: 7-8)

*_Yaa Rabb jadikanlah kami hamba-hamba-Mu yang senantiasa bersyukur._*

_Jum'at, 24 Januari 2020 /  28 Jumadil Awwal 1441 H_

Kamis, 23 Januari 2020

MENGAMBIL IBRAH DARI PERJANJIAN HUDAIBIYYAH*


*Oleh : Abu Afra*
_(Khadim Majelis Ta'lim Tazkiyatun Nufus Banjarbaru)_

Diceritakan sebelum perjanjian Hudaibiyah, hubungan antara kaum muslimin dan kafir Quraisy adalah hubungan perang.

Kekalahan pada peristiwa perang Ahzab masih menyisakan dendam kesumat bagi orang-orang quraisy.  Sehingga mereka senantiasa menunggu-nunggu waktu yang tepat untuk melakukan pembalasan.

Sampailah datang musim haji.  Rasulullah SAW dan para sahabat berencana untuk menunaikan ibadah haji dan umrah pada tahun itu.

Walaupun kondisi keamanan pada ketika itu tidaklah kondusif, namun Rasulullah SAW tetap dengan keputusan beliau.  Haji dan Umrah harus tetap dilaksanakan.

Ada beberapa misi yang ingin beliau wujudkan melalui aktifitas ibadah haji ini.  Adapun misi terbesar beliau SAW adalah misi dakwah.  Beliau sangat memahami bahwa musim haji adalah saat yang sangat tepat untuk melakukan kontak maqshudah dan membangun opini umum.  Karena pada saat itu banyak berkumpul manusia dari berbagai negeri mendatangi kota suci.

Misi ini pun dijalankan, 1400 orang bersama Nabi SAW berangkat menuju Makkah.  Dengan hanya menggunakan pakaian ihram dan senjata tersarung mereka menyusuri padang gurun untuk beribadah haji.  Tidak terbersit di benak Rasul SAW niatan untuk berperang sedikitpun.

Ketika rombongan sudah sampai diperbatasan.  Maka terlihatlah oleh Khalid dan Ikrimah yang tengah berpatroli.  Betapa kagetnya mereka ternyata rombongan kaum muslimin sudah sangat dekat dengan mereka.

Tempat itu bernama Hudaibiyah, sekitar 22 KM sebelah barat kota Makkah menuju arah Jeddah.  Mereka pun kalut dan merasa perlu melakukan persiapan pasukan perang untuk menghadang rombongan tersebut.

Kaum muslimin juga pada ketika itu dalam kondisi mentalitas yang sangat siap untuk berperang.  Walaupun dalam kondisi seadanya.

Namun Rasul SAW tetap dengan khittah awalnya datang dengan damai dan pulang dengan kemenangan.  Niat awal beliau adalah berhaji bukan berperang.  Inilah yang beliau pegang.

Bagaimanapun kondisinya beliau bertekad untuk tidak akan mengubah misinya.  Beliau SAW memiliki keyakinan yang berbeda dengan kebanyakan kaum muslimin pada ketika itu. 

Mayoritas kaum muslimin sudah begitu yakin perang akan terjadi.  Sementara Nabi SAW meyakini bahwa kaum kafir Quraisy telah kalah secara mentalitas pasca kekalahan Ahzab.  Sehingga mereka tidak akan mungkin berani menyerang duluan.

Ternyata benar apa yang diperkirakan oleh Baginda Nabi SAW.  Kaum kafir Quraisy hanya berani mengamati dan menunggu di markas mereka.  Sambil sesekali mengirim utusan untuk memastikan lagi misi dari pasukan Nabi.

Kaum kafir Quraisy tetap dalam ketakutannya.  Sementara Rasul tetap teguh dengan keyakinan beliau.

Disinilah kita belajar betapa berharganya sebuah keyakinan yang kokoh.

Beberapa utusan telah dikirim oleh kafir Quraisy.  Tetapi beberapa kali pula mereka mementahkan laporannya.  Mereka tidak yakin dengan penglihatan dan pendengaran mereka sendiri. Begitulah Allah tanamkan keragu-raguan dalam dada mereka.

Ketakutan akan kekalahan di Ahzab begitu menghantui mereka.  Padahal pada saat itu secara logika matematis mereka unggul di sisi jumlah dan senjata.  Kaum muslimin yang berjumlah 1400 orang hanya datang dengan peralatan seadanya saja.

Begitulah Rasul SAW mengajarkan kepada kita semua ummatnya agar tetap yakin dalam kondisi bagaimanapun.

Berprasangka baik dalam segala kondisi.  Karena semakin kuat keyakinan sungguh semakin dekat pula dengan kemenangan.

Nabi SAW kemudian mengambil langkah positif dengan mengutus Usman Bin Affan kepada pemuka kaum Quraisy. Perundingan tersebut akhirnya menghasilkan kesimpulan bahwa hanya memperbolehkan Usman bin Affan untuk melaksanakan ibadah umrah.

Perdebatan panjang dan waktu yang cukup lama tersebut menyebabkan munculnya desas-desus bahwa Usman telah dibunuh secara muslihat.

Nabi Muhammad SAW dan pengikutnya merasa gelisah. Merekapun menunjukkan rasa solidaritas yang kuat dengan saling meletakkan tangannya di atas beberapa pedang yang dibawanya untuk keperluan pemotongan binatang kurban. Sumpah setia ini dalam sejarah Islam dikenal dengan nama Bai’atur Ridwan.

Sumpah setia ini pun sampai ke pihak Quraisy dan menggetarkan hati mereka. Mereka segera mengadakan sidang darurat untuk mencari cara menghadapi ancaman kaum Muslimin. Kaum Quraisy sejatinya mengalami kejatuhan mental karena mereka masih trauma dengan kekalahan mereka pada Perang Badar. Pada Perang Badar, kaum muslimin dapat mengalahkan kaum Quraiys walaupun dengan pasukan yang jauh lebih sedikit.

Kabar mengenai kejatuhan mental para petinggi Quraisy dan kepulangan Usman bin Affan membuat kaum Quraisy percaya bahwa kedatangan Nabi dan pengikutnya hanyalah untuk melakukan ibadah umrah dan bukan untuk berperang. Pihak Qurais pun akhirnya mengirimkan utusannya untuk melaksanakan perundingan guna menghindari kesalahpahaman. Upaya untuk mencapai titik komporomi diwakili oleh Suhail Ibnu Umar  dari kalangan Quraisy dan kaum Muslimin diwakili oleh Nabi Muhammad SAW. Maka pertemuan tersebut menghasilkan Perjanjian Hudaibiyah.

Garis besar Perjanjian Hudaibiyah berisi: "Dengan nama Tuhan. Ini perjanjian antara Muhammad dan Suhail bin 'Amru, perwakilan Quraisy. Tidak ada peperangan dalam jangka waktu sepuluh tahun. Siapapun yang ingin mengikuti Muhammad, diperbolehkan secara bebas. Dan siapapun yang ingin mengikuti Quraisy, diperbolehkan secara bebas. Seorang pemuda, yang masih berayah atau berpenjaga, jika mengikuti Muhammad tanpa izin, maka akan dikembalikan lagi ke ayahnya dan penjaganya. Bila seorang mengikuti Quraisy, maka ia tidak akan dikembalikan. Tahun ini Muhammad akan kembali ke Madinah. Tapi tahun depan, mereka dapat masuk ke Mekkah, untuk melakukan tawaf disana selama tiga hari. Selama tiga hari itu, penduduk Quraisy akan mundur ke bukit-bukit. Mereka haruslah tidak bersenjata saat memasuki Mekkah"

Secara sekilas isi perjanjian huidaibiyah itu merugikan kaum muslimin.  Namun dengan pandangan yang lebih tajam jauh ke depan Rasul SAW melihat ada maslahat bagi dakwah Islam dari adanya perjanjian Hudaibiyah ini.

Faktanya memang benar, kemudian hari perjanjian hudaibiyah menjadi pintu pembuka pembebasan kota Makkah oleh kaum muslimin.  Hal inilah yang kemudian menjadi asbabun nuzul dari surat Al Fath.

Maka kemenangan itu menjadi nyata bagi kaum muslimin.  Setelah mereka berada dalam kondisi terjepit dan sulit yang mengiringinya. Allah Ta’ala berfirman,

فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا

“Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan,” (QS. Al-Insyirah 94: Ayat 5)

Allah Ta’ala menceritakan bahwa sesungguhnya sesudah kesulitan pasti ada kemudahan, kemudian berita ini diulangi-Nya lagi.

Masihkah kita ragu dengan pertolongan Allah?

_Wallahu 'a lam bish showab._

Rabu, 22 Januari 2020

BERSABARLAH DENGAN AHLI ILMU*


*Oleh  : Abu Afra*
_(Khadim Majelis Ta'lim Tazkiyatun Nufus)_

Diantara nikmat yang amat besar itu adalah ketika kita ditakdirkan oleh Allah bisa berada di sekitar ahli ilmu. Kemudian kita mampu mereguk sebanyak-banyaknya keilmuan mereka. 

Sekalipun kita tinggal di sekitar ahli ilmu namun kita tak mampu mendapatkan barang setetes dari faedah keilmuan mereka maka tetaplah kita dalam kejahilan yang sama selamanya.

Seringkali ada anekdot yang disampaikan oleh para assatidzah terkait hal ini. Kata mereka, _"coba tebak, lahir dan besar bahkan sampai mati tinggal di Arab akan tetapi tidak bisa berbahasa Arab. apakah itu?" jawabnya adalah onta._

Anekdot ini sebenarnya sindiran pedas untuk kita yang sekian lama hidup bersama para shohibul fadhilah (pemilik keutamaan) tapi gagal meraih keutamaan sebagaimana mereka.

Nah, jangan kita menjadi seperti onta. Tinggal dan bergaul setiap hari dengan para ahli ilmu namun tidak mampu beristifadah dengan mereka.

Maka betapa ruginya kita, ketika kita tahu di dekat kita ada sosok yang memiliki keutamaan di bidang tertentu tapi kita tidak tergerak untuk bersungguh-sungguh belajar dengan mereka.

Adakalanya kelak kita akan ditempatkan Allah dalam kondisi-kondisi yang tidak lagi ideal.   Dimana tidak lagi kita temukan sosok seperti mereka.  Entah karena mereka sudah tiada meninggalkan kita atau justru karena kita yang meninggalkan mereka.

Atau bisa jadi karena Allah telah sibukkan kita dengan urusan dunia kita lalu kita tak punya kesempatan lagi mendatangi majelis mereka.  Atau bisa jadi pula Allah uji kita dengan berbagai masalah yang pada akhirnya menyibukkan kita dari bermajelis dengan mereka.

Sebagaimana dikatakan oleh Al Imam Hasan Al Bashri rahimahullahu ta'ala :
_"Diantara tanda berpalingnya Allah dari seorang hamba adalah Dia akan menjadikan hamba tersebut sibuk dalam perkara yang tidak bermanfaat sebagai bentuk penghinaan baginya"._

Betapa ruginya kita ketika ini sudah menimpa kita.  Penyesalan demi penyelasan akan menghantui namun semua sudah terlambat dan tak berarti lagi.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

ﺇِﻥَّ ﺍﻟﻠﻪ ﻻ ﻳَﻘْﺒِﺾُ ﺍﻟﻌِﻠْﻢَ ﺍﻧْﺘِﺰَﺍﻋَﺎً ﻳَﻨْﺘَﺰِﻋُﻪُ ﻣﻦ ﺍﻟﻌِﺒﺎﺩِ ﻭﻟَﻜِﻦْ ﻳَﻘْﺒِﺾُ ﺍﻟﻌِﻠْﻢَ ﺑِﻘَﺒْﺾِ ﺍﻟﻌُﻠَﻤَﺎﺀِ ﺣﺘَّﻰ ﺇﺫﺍ ﻟَﻢْ ﻳُﺒْﻖِ ﻋَﺎﻟِﻢٌ ﺍﺗَّﺨَﺬَ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺭﺅﺳَﺎً ﺟُﻬَّﺎﻻً ، ﻓَﺴُﺌِﻠﻮﺍ ﻓَﺄَﻓْﺘَﻮْﺍ ﺑِﻐَﻴْﺮِ ﻋِﻠْﻢٍ ﻓَﻀَﻠُّﻮﺍ ﻭَﺃَﺿَﻠُّﻮﺍ

_“Sesungguhnya Allah Ta’ala tidak menggangkat ilmu dengan sekali cabutan dari para hamba-Nya, akan tetapi Allah menanggkat ilmu dengan mewafatkan para ulama. Ketika tidak tersisa lagi seorang ulama pun, manusia merujuk kepada orang-orang bodoh. Mereka bertanya, maka mereka (orang-orang bodoh) itu berfatwa tanpa ilmu. mereka sesat dan menyesatkan. [HR.Bukhari]._

Maka mumpung kita masih punya waktu.  Selama para pemilik keutamaan masih ada di sekitar kita.  Para guru-guru masih membuka majelisnya.  Hayuk kita ramaikan taman-taman surga itu.

Bersabarlah dengan segala kekurangannya.

Sesungguhnya disanalah kita akan menemukan perbaikan demi perbaikan.  Di tempat itulah kita akan semakin dekat dengan kebenaran.  Bertahan di dalamnya akan menuntun kita pada tangga-tangga kesempurnaan.

Perhatikanlah firman Allah SWT yang begitu indah ini :

وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ ۖ وَلَا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۖ وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا
_Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.[QS. AL KAHFI : 28]._

*Semoga kita bisa mengambil faedah darinya.*

_Wallahu musta'an_

Selasa, 21 Januari 2020

POLEMIK JILBAB


*Oleh : Abu Afra*
_(Khadim Majelis Taklim Tazkiyatun Nufus)_


Akhir-akhir ini jagat maya kembali dihebohkan dengan polemik tentang jilbab dan aurat.  Pasalnya telah beredar cuplikan video yang berisi wawancara dengan salah satu tokoh yang cukup disegani oleh kalangan tertentu.  Dimana tokoh ini mengatakan bahwa aurat memang wajib ditutup akan tetapi jilbab itu tidak wajib bagi perempuan.

Statement ini pun menuai kontroversi yang kian hari kian ramai dibicarakan oleh berbagai kalangan.   Lantas bagaimanakah seharusnya kita mendudukan masalah ini?

Ternyata memang perdebatan seputar aurat wanita ini telah muncul sejak setengah abad yang lalu. Artinya ini bukanlah sesuatu yang baru.  Perdebatan ini sengaja dimunculkan oleh kaum orientalis Barat di dalam jiwa orang-orang yang tertipu oleh silaunya peradaban mereka.

Mereka-mereka yang telah terkooptasi oleh tsaqofah dan pandangan hidup Barat.  Lalu dengan upaya-upaya tertentu memunculkan pendapat-pendapat yang tidak islami sama sekali sehingga polemik seperti ini terus saja berlanjut sampai hari ini.

Dikatakanlah oleh mereka bahwa jilbab itu budaya arablah.  Ada lagi yang menafsirkan definisi aurat dengan paradigma yang berbeda dari jumhur dan sebagainya.

Padahal sudah sangat  jelas pandangan-pandangan yang Islami terkait masalah ini.  Ada banyak ayat dan hadits yang menjelaskan perkara tersebut.

Diantara ayat yang memaparkan secara jelas tentang kewajiban jilbab adalah Q.S Al Ahzab (33)  ayat 59.

ياَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ ِلاَزْوَاجِكَ وَ بَنَاتِكَ وَ نِسَآءِ اْلمُؤْمِنِيْنَ يُدْنِيْنَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلاَبِيْبِهِنَّ، ذلِكَ اَدْنى اَنْ يُّعْرَفْنَ فَلاَ يُؤْذَيْنَ، وَ كَانَ اللهُ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا. الاحزاب:59

_Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mu’min, "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang_. [QS. Al-Ahzaab : 59]

*Menurut para ulama Hal Ihwal tentang JILBAB (KHIMAR).  Dikalangan Ulama tdk ada ikhtilaf mengenai status hukum WAJIB bagi Muslimah menggunakan JILBAB alias KHIMAR.  Mereka (Para Ulama) hanya berbeda pendapat (ikhtilaf) tentang status hukum CADAR alias BURQO.*

Dalam kamus Lisaan al-Arab, jilbab berasal dari kata al-jalb yang artinya menjulurkan atau memaparkan sesuatu dari satu tempat ke tempat yang lainnya.

Adapun khimar dalam kitab yang sama diartikan sebagai kerudung. Sebagian ahli bahasa mengatakan, khimar adalah yang menutupi kepala wanita. Jamaknya akhmarah, atau khumr, atau khumur, atau khimirr. Sementara hijab dalam Lisan al-Arab diartikan sebagai penutup.

Dalil terkait wajibnya berjiljab juga disebutkan dalam hadits Nabi SAW diantaranya :
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ قَالَتْ أُمِرْنَا أَنْ نُخْرِجَ الْحُيَّضَ يَوْمَ الْعِيدَيْنِ وَذَوَاتِ الْخُدُورِ ، فَيَشْهَدْنَ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِينَ وَدَعْوَتَهُمْ ، وَيَعْتَزِلُ الْحُيَّضُ عَنْ مُصَلاَّهُنَّ . قَالَتِ امْرَأَةٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ ، إِحْدَانَا لَيْسَ لَهَا جِلْبَابٌ . قَالَ « لِتُلْبِسْهَا صَاحِبَتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا »

_Dari Ummu ‘Athiyyah, ia berkata, “Pada dua hari raya, kami diperintahkan untuk mengeluarkan wanita-wanita haid dan gadis-gadis pingitan untuk menghadiri jamaah kaum muslimin dan doa mereka. Tetapi wanita-wanita haid harus menjauhi tempat shalat mereka. Seorang wanita bertanya:, “Wahai Rasulullah, seorang wanita di antara kami tidak memiliki jilbab (bolehkan dia keluar)?” Beliau menjawab, “Hendaklah kawannya meminjamkan jilbabnya untuk dipakai wanita tersebut.”_ (HR. Bukhari no. 351 dan Muslim no. 890).

Dalil-dalil ini saja sudah cukup bagi kita yang masih memiliki iman dan ketaatan untuk meyakinkan bahwa hukum berjilbab bagi perempuan itu memanglah wajib adanya.

Sebenarnya mudah dan sederhana sekali memahami kewajiban ini ketika dipandangan dengan kaca mata keimanan.  Saat anda para wanita mau melaksanakan sholat saja misalkan, maka anda mengenakan mukena yang sejatinya manifestasi dari pakaian syar'i itu sendiri.

Atau ketika seorang muslimah meninggal dunia, bagaimanakah syariat mengatur cara mengkafaninya? apakah seperti yang dikatakan oleh orang-orang liberal itu boleh terlihat sebagian tubuhnya atau mesti menutup seluruhnya? Anda pasti sudah tahu jawabannya.

Maka sudahlah cukup bagi kita mengikuti Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang yang lurus imannya.  Jangan pedulikan pendapat-pendapat nyeleneh terkait hal ini. Jangan ikuti talbis iblis yang akan menyeret manusia pada kesesatan dan kebinasaan.

Renungkanlah firman-Nya :

يَا بَنِي آدَمَ لَا يَفْتِنَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ كَمَا أَخْرَجَ أَبَوَيْكُمْ مِنَ الْجَنَّةِ يَنْزِعُ عَنْهُمَا لِبَاسَهُمَا لِيُرِيَهُمَا سَوْآتِهِمَا

_Wahai anak cucu Adam ! Janganlah kalian tertipu oleh setan ! sebagaimana dia telah mengeluarkan ibu bapak kalian dari surga, dengan menanggalkan pakaian keduanya untuk memperlihatkan aurat keduanya_. [al-A’râf/7:27].

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam  juga mengingatkan kita dengan sabdanya yang mulia :

صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا، قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ، وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلَاتٌ مَائِلَاتٌ، رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ، لَا يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ، وَلَا يَجِدْنَ رِيحَهَا، وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا

_Ada dua golongan penduduk neraka yang keduanya belum pernah aku lihat, (yang pertama): Kaum yang memiliki cambuk-cambuk seperti ekor sapi yang digunakan untuk memukuli orang-orang. Dan (yang kedua): Para wanita yang berpakaian tapi telanjang, mereka menggoda dan jalannya berlenggak-lenggok, kepala-kepala mereka seperti punuk unta yang miring. Para wanita itu tidak masuk surga, bahkan tidak mencium wanginya surga padahal wanginya bisa tercium dari jarak perjalanan sejauh ini dan itu.”_  [HR.Muslim No.2128]

*Semoga Allah memberikan kesadaran kepada kita semua untuk mentaati setiap perintah-Nya*

Rabu, 22 Januari 2020 M/ 26 Jumadil Ula 1441 H

Senin, 20 Januari 2020

MENYIKAPI BERITA AKHIR ZAMAN


_*Oleh : Abu Afra*_
(Khadim Majelis Ta'lim Tazkiyatun Nufus Banjarbaru)

Seringkali di era keterbukaan informasi seperti saat ini kita mendapatkan pesan berantai yang isinya perlu kita kroscek lagi kebenarannya.

Ada pesan-pesan broadcast yang begitu masif disebarkan namun kadang dalam kontennya masih banyak yang perlu dipertanyakan.

Salah satu contoh yang sering terjadi adalah pesan-pesan yang isinya  berupa analogi cocoklogi.  Dimana sebuah dalil syariat berupa ayat  Al Qur'an atau hadits Nabi SAW dikutip lalu dihubung-hubungkan dengan satu peristiwa besar yang diyakini akan terjadi pada hari atau tanggal tertentu.

Bagaimanakah kita sebagai seorang muslim menyikapinya?

Dalam ilmu ushul fiqih kita diajarkan oleh para Ulama bahwa dalam agama kita ini ada perkara yang disebut sebagai perkara qoth'i dan ada pula yang disebut dengan perkara dzhonniy.

Istilah qath’i dan dzhonniy dalam Ushūl Fikih digunakan untuk menjelaskan teks
sumber hukum Islam baik itu al-Qur’an maupun hadits dalam dua hal, yaitu al-
tsubūt (eksistensi) atau al-wurūd (bersumber dari kebenaran), dan al-dalālah (interpretasi) .

Dalam hal qath’i dan zhanni al-tsubut dan al-wurūd para ulama sepakat bahwa Qur’an dan hadis mutawatir adalah qath’i, sedangkan hadits ahad disebut zhanniy al-tsubut.

 Mereka berbeda pendapat dalam hal qath’i dan zhanni dari sisi al-dalālah (interpretasi) atau menafsirkannya.

Ulama ahli Ushūl Fikih menyatakan
bahwa jika suatu teks keagamaan (ayat Qur’an atau Hadits) hanya mengandung
satu makna yang jelas dan tidak membuka kemungkinan interpretasi lain, serta menyebutkan angka bilangan tertentu, maka teks tersebut dianggap sebagai teks yang qath’i al-dalālah.

Sementara jika masih membuka peluang banyak penafsiran maka bisa masuk ke ranah dzhonniyah.

Di dalam Al quran sendiri kita mengenal ada ayat-ayat muhkamat, ada pula ayat-ayat mutasyabihat. Jadi, kita perlu berhati-hati dalam menyimpulkan suatu ayat jika tanpa melihat bagaimana para ulama mu'tabar menafsirkannya.

Contoh kasus ada ayat yang berbicara tentang dukhan semisal pada QS. Al Furqaan (Pembeda) – surah 25 ayat 25 [QS. 25:25]

وَ یَوۡمَ تَشَقَّقُ السَّمَآءُ بِالۡغَمَامِ وَ نُزِّلَ الۡمَلٰٓئِکَۃُ تَنۡزِیۡلًا

_Dan (ingatlah) pada hari (ketika) langit pecah mengeluarkan kabut putih dan para malaikat diturunkan (secara) bergelombang._
―QS. 25:25.

Lalu dari ayat ini muncul sebagian orang mencoba menafsirkan dan mengkaitkan ayat ini dengan prediksi-prediksi kejadian di tanggal-tanggal tertentu.

Semisal pesan broadcast yang beredar terkait hal ini adalah seperti ini :

Assalamualaikum teman2 yg dirahmati Allah.
barusan saya lihat di kalender, ternyata di thn 2020 itu ada 4 hari besar :
Tgl.25 Januari hari Imlek
Tgl.25 Maret hari raya Nyepi
Tgl.25 Mei Iedul Fitri
Tgl.25 Desember Natal

Entah kebetulan atau apa, hati saya tergerak untuk melihat Al,Quran "surah ke 25 ayat 25" ,
Alangkah terkejutnya saya,

di ayat tersebut Allah menjelaskan tentang langit akan terbelah, kemudian akan mengeluarkan asap & malaikat akan turun secara bergelombang.

Secara tersirat pesan tersebut seolah-olah menyimpulkan bahwa kejadian yang disebutkan pada QS.25 ayat 25 akan terjadi dalam waktu dekat ini.

Dalam ilmu psikologi kita mengenal istilah  Fallacy of Dramatic instance yaitu
salah menyimpulkan karena satu peristiwa yang mengesankan.  Menganggap semua sama hanya berdasarkan satu kasus yang dilihat.

Lantas bagaimana seharusnya kita dalam melihat perkara ini?

Yang harus kita sadari adalah bahwa perkara peristiwa-peristiwa di hari akhir merupakan perkara ghoib.  Maka kita tidak boleh mengambilnya kecuali dari jalan yang qoth'i (pasti).

Tidak ada yang bisa mengetahui tentang perkara itu kecuali Allah SWT saja. Hal ini sudah ditegaskan di dalam Al Qur'an sendiri sebagaimana disebutkan di antaranya adalah firman-Nya:

يَسْأَلُونَكَ عَنِ السَّاعَةِ أَيَّانَ مُرْسَاهَا ۖ قُلْ إِنَّمَا عِلْمُهَا عِنْدَ رَبِّي ۖ لَا يُجَلِّيهَا لِوَقْتِهَا إِلَّا هُوَ ۚ ثَقُلَتْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۚ لَا تَأْتِيكُمْ إِلَّا بَغْتَةً ۗ يَسْأَلُونَكَ كَأَنَّكَ حَفِيٌّ عَنْهَا ۖ قُلْ إِنَّمَا عِلْمُهَا عِنْدَ اللَّهِ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

_"Mereka bertanya kepadamu tentang Kiamat, ‘Kapankah terjadinya?’ Katakanlah, ‘Sesungguhnya pengetahuan tentang Kiamat itu adalah pada sisi Rabb-ku, tidak seorang pun yang dapat menjelaskan waktu kedatangannya selain Dia. Kiamat itu amat berat (huru-haranya bagi makhluk) yang di langit dan di bumi. Kiamat itu tidak akan datang kepadamu melainkan dengan tiba-tiba. Mereka bertanya kepadamu seakan-akan kamu benar-benar mengetahuinya. Katakanlah, ‘Sesungguhnya pengetahuan tentang hari Kiamat itu adalah di sisi Allah, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.'’_ [Al-A’raaf: 187]

Maka alangkah lebih bijaknya dalam menyikapi ayat-ayat atau hadits-hadits terkait berita akhir zaman ini sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya Radhiyallahu 'anhum ajma'iin. Yang pada intinya ketika berita tentang hari kiamat itu sampai kepada mereka, maka yang mereka lakukan adalah bagaimana mempersiapkan diri untuk menghadapi hari itu agar terselamatkan dari segala keburukannya.

Sebagaimana dikatakan dalam sebuah qoidah :
Asbaabun Nasr Al I'daad (Sebab-sebab datangnya pertolongan itu karena adanya persiapan).


_Wallahu 'alam bis showab._

Minggu, 19 Januari 2020

CARA PANDANG DAN KUALITAS HIDUP SESEORANG*

*
*Oleh : Abu Afra*
_(Khadim Majelis Taklim Tazkiyatun Nufus)_

Menjadi seorang guru itu harus selalu siap dengan berbagai pertanyaan yang tidak terduga.  Seperti kemaren bakda sholat Ashar tiba-tiba saja seorang murid kami bertanya dengan pertanyaan yang tidak biasa.
Dia bilang, "Ustadz ana pernah baca tulisan di sebuah baju yang dipakai salah satu anak band, tulisannya itu cukup mengganggu pikiran ana ustadz, Tulisannya begini, " TUHAN SEBENARNYA AGAMAMU ITU APA?".
Sebenarnya cukup kaget juga dengan pertanyaan seperti ini.  Tetapi saya coba berikan penjelasan sebisa saya.

Saya katakan bahwa yang namanya TUHAN itu tentu berbeda dengan CIPTAAN.  Tuhan itu sebagai Al Khalik memiliki sifat yang pasti berlawanan dengan makhluknya.

Maka tentu Tuhan tidaklah ditanya dengan pertanyaan yang sama sebagaimana pertanyaan itu layaknya dipertanyakan atau ditujukan pada makhluknya.

Yang namanya TUHAN itu Dzat yang tidak terbatas.  Sementara kita sebagai manusia jelas memiliki batasan-batasan, seperti pandangan mata kita tak akan mampu menembus kejadian-kejadian yang berada dibalik tembok yang tinggi serta pendengaran kita tak akan sanggup mendengar suara dengan jarak tertentu karena semuanya terbatas. Lalu bagimana mungkin kita yang terbatas ini akan mampu memahami dzat yang maha tidak terbatas tersebut?

Disinilah pentingnya seorang Rasul yang menyampaikan wahyu ke tengah-tengah kita.  Dari sanalah kita bisa memahami bagaimana dan seperti apa TUHAN kita yang sebenarnya.

Jadi Allah Tuhan kita semua tidaklah ditanya agamanya apa, karena Dia lah agama itu ada.  Sebelum segala sesuatu itu ada Allah itu telah ada.  Dan ketika segala sesuatu itu telah tidak ada, Allah tetaplah ada untuk selamanya.

Inilah bedanya kita dengan sang Pencipta kita, Allah Jalla wa 'Ala.

Dari percakapan singkat dengan murid saya itu, saya tersadar rupanya serangan-serangan terhadap aqidah ummat Islam saat ini sudah sebegitu masifnya.

Perlu ditanamkan pemahaman yang benar dalam perkara aqidah ini.  Agar generasi penerus kita tidak terjatuh pada paham sesat yang makin banyak bermunculan.

Pemahaman yang benar akan menghasilkan kesadaran yang benar.  Dari kesadaran inilah keyakinan akan dibangun dan dari keyakinan itulah seluruh aktifitas kita berputar.

Apalagi dalam kondisi zaman yang penuh dengan fitnah dan syubhat seperti sekarang. Pembekalan dalam perkara aqidah ini menjadi begitu pentingnya.

Paham-paham sesat yang bertentangan dengan Islam sebegitu derasnya masuk ke negeri-negeri kita. Sekularisme, Sosialisme, Pluralisme, Liberalisme, dan lain sebagainya masuk melalui media-media yang ada.

Dan yang paling riskan adalah generasi muda kita.  Karena mereka adalah mangsa empuk yang memang menjadi target mereka. Maka diperlukan kerja dakwah yang juga lebih masif agar ummat ini bisa terhindar dari kehancurannya.

Dakwah seperti apa yang bisa menyelamatkan mereka semua? Jawabannya adalah dakwah fikriyah.  Dakwah yang mampu membangkitkan kesadaran ummat akan pentingnya agamanya sendiri. Dakwah yang mampu merubah cara pandang seseorang terhadap segala aspek kehidupannya, dari akar sampai daunnya.

Karena cara pandang seseorang akan sangat mempengaruhi pola hidupnya. Contoh kecil misalnya, seseorang yang menikah karena cara pandangnya dari pada membujang maka akan berbeda dengan orang yang menikah karena memandang pernikahan itu sebagai sebuah ajang bersenang-senang saja.  Akan sangat berbeda pula orang yang memandang pernikahan itu dengan pandangan bahwa perkara itu adalah bentuk ibadah terpanjang dan terlama.

Disinilah pentingnya bagi kita memiliki cara pandang yang benar dalam kehidupan kita.  Karena dari sana lah kebangkitan kita sebagai manusia berawal.

_Semoga Allah anugerahi kita cara pandang yang benar dalam menjalani kehidupan ini.  Aamiin._

Sabtu, 18 Januari 2020

*CITA-CITA DAN TEKAD BAJA*


_Oleh  : Abu Afra_

Di Sumedang Jawa Barat terdapat sebuah pondok pesantren Tahfidzul Qur'an yang di pimpin oleh seorang ustadz yang secara fisik memiliki disabilitas.

Kaki dan tangan beliau ditaqdirkan oleh Allah tidak sempurna semenjak lahirnya. Akan tetapi di tengah keterbatasannya beliau tetap mampu menjadi seorang penghafal Al Qur'an dan bahkan mencetak para penghafal qur'an lainnya.  Setidaknya sudah 40 lebih penghafal qur'an yang beliu telurkan.

Disamping itu beliau aktif memberikan kajian dan motivasi kepada masyarakat sekitar pondok dengan hanya berjalan menggunakan satu kaki saja kemana-mana pergi.  Luar biasa bukan?

Waktu yang beliau butuhkan untuk menghafal Al Qur'an hanya sekitar 1 tahun 2 bulan saja.  Ada lagi kisah nyata yang tidak kalah luar biasanya.

Adalah Ummu Shalih namanya.  Usianya  82 tahun, mulai menghafal Al-Qur’an pada usianya yang ke-70. Dengan usianya yang sudah senja tidak menghalanginya untuk menjadi seorang keluarganya Allah di muka bumi.

Ada benang merah yang bisa kita tarik dari dua kisah nyata tersebut.  Mereka berdua adalah potret manusia yang memiliki ketinggian cita-cita.  Kemudian fokus menjalaninya.

Imam Ali bin Thalib radiyallahu 'anhu wa karamallahu wajhah pernah menyampaikan sebuah pesan berharga terkait hal ini.  Kata beliau, *"Uluwwul himmah minal iimaan*" ( tingginya cita-cita merupakan bagian dari iman).

Jadi, ketika seseorang diberikan tekad yang kuat untuk memiliki sebuah cita-cita yang tinggi, maka sesungguhnya itu merupakan cerminan kuatnya iman yang menancap dalam dadanya.

Sebaliknya rendahnya cita-cita merupakan lemahnya keimanan seseorang.  Kenapa demikian? karena besarnya cita-cita itu meniscayakan besarnya keyakinan.  Besarnya keyakinan menumbuhkan kebesaran tawakkal kepada pemilik segala urusan.

Sulthan Muhammad Al Fatih misalkan berhasil menaklukan kota konstantinopel juga karena kuatnya keyakinannya.  Sehingga berawal dari situlah, muncul ikhtiar yang sangat kuat dalam mewujudkan cita-cita agungnya.

Inilah yang menjadi rumus keberhasilan pendahulu kita.  Kaum muslimin generasi awal senantiasa mengalami kemenangan dalam peperangan, bukan karena jumlah mereka yang banyak.  Bukan pula karena kekuatan senjata yang lengkap.  Tetapi justru karena kuatnya keyakinan mereka akan pertolongan Allah kepada mereka.

Rasanya pola pikir seperti ini harus kembali kita tumbuhkan agar kaum muslimin kembali meraih kegemilangan hidup sebagaimana pendahulu mereka.

Ada sebuah qoidah yang disampaikan Allah di dalam Al quran surat Ali Imran ayat 159 yang berbunyi :

فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ

“_Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertawakkal."

Maka malu lah kalian wahai para pemuda yang masih memiliki kekuatan yang cukup.  Diberikan Allah kelengkapan fisik dan usia muda.  Namun lemah dalam tekad dan rendah dalam cita-cita.

Hanya karena hambatan-hambatan kecil harusnya tidak boleh melemahkan semangatmu untuk berjuang.  Karena itulah miliki dulu kekuatan tekad agar kita kokoh dalam berjuang.  Dan milikilah cita-cita yang tinggi agar muncul tekad yang mumpuni.

Diantara cita-cita yang paling tinggi adalah keinginan untuk merepakan seluruh hukum-hukum Allah di muka bumi ini.  Memimpin peradaban dunia dengan Islam. _Li isti'nafil hayatil Islamiyah._

Inilah cita-cita yang paling agung.  Jika anda tak tergerak untuk memilikinya, sungguh betapa ruginya. Sekali lagi, ketinggian cita-cita adalah manifestasi keimanan kita.

_Semoga Allah tanamkan ketinggian cita-cita di dalam dada kita semuanya._

Jumat, 17 Januari 2020

AGAR HIDUP KITA LEBIH BERMAKNA*


_*Oleh : Abu Afra*_

Setiap kita diberikan Allah waktu yang sama dalam sehari yakni 24 jam saja.  Tidak ada yang diberikan lebih ataupun kurang dari itu.

Adapun perbedaan yang terjadi hanyalah pada cara pemanfaatannya saja.  Ada orang yang mampu menggunakan waktunya dengan sangat efektif.  Ada pula yang membuangnya dengan percuma saja.

Padahal sadar ataupun tidak, ketika kita membuang-buang waktu kita sejatinya kita telah menyia-nyiakan umur kita sendiri.

Seringkali kita berpikir bahwa kita punya banyak waktu dalam kehidupan, sehingga detik dan menitnya kita sia-siakan tanpa rasa bersalah. "The biggest mistake in life, is you think you have time." Kamu bisa memilikinya, kamu bisa memakainya, tapi kamu tidak bisa menahannya apabila ia sudah berlalu.

Sebagian Ulama mengatakan  *_Al waqtu huwa al hayaah*_. Bahwa yang namanya waktu itu adalah kehidupan itu sendiri.  Bagaimana cara kita menghabiskannya adalah potret paling jelas tentang bagaimana kita memandang nilainya.

Diriwayatkan oleh Muhammad ibn al-Musayyab ibn Ishaq. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda, “Usia umatku berkisar antara 60 hingga 70 tahun. Sedikit sekali di antara mereka yang melebihi usia tersebut.” Ibnu Arafah (salah seorang perawi hadist ini) mengomentari, “Aku termasuk salah seorang dari yang sedikit itu.” (Shahih Ibni Hibban. Muhammad meriwayatkannya dari Ibnu ‘Arafah, dari al-Muharibi, dari Muhammad ibn `Amr, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah).

Apa yang disampaikan oleh Baginda Rasul SAW adalah sebuah kenyataan.  Sehebat apapun upaya kita melawan kematian, segitulah batas jatah hidup kita di dunia ini.  Sangat singkat dan sebentar saja.

Sementara itu setelahnya ada kehidupan yang sangat lama.  Bahkan saking lamanya tidak bisa dihitung berapa durasinya.  Matematika kita tak mampu menjangkaunya.

Orang yang berakal tentu tak mau gagal dalam hidup yang singkat ini.  Dunia yang kita lalui hari ini adalah penentu keberhasilan atau kegagalan kita nantinya.

Ada banyak pilihan di depan mata kita dalam mengisi waktu-waktu yang masih tersedia.  Akan tetapi orang yang cerdas tentu berfikir sebelum beramal.

Karena begitu terbatasnya usia kita, maka kita harus mampu memilih amal terbaik yang akan mampu menyelamatkan kita kelak.

Inilah konsep Ahsanu 'Amala yang dimaksudkan oleh Allah di dalam kalam-Nya. Mereka yang mampu meraihnya maka sungguh telah meraih permatanya dunia dan surga-Nya.

وَهُوَ الَّذِي خَلَق السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ وَكَانَ عَرْشُهُ عَلَى الْمَاء لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً

“Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan adalah singgasana-Nya (sebelum itu) di atas air, agar Dia menguji siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya.” (QS: Hud [11]: 7).

Pertanyaannya apakah ahsanu 'amala tersebut? tentu jawabannya harus merujuk pada penjelasan para Ulama kita agar kita tak tersesat arahnya.

Fudail bin ‘Iyadl rahimahullahu ta'ala mengatakan bahwa ahsanu ‘amala adalah amalan yang paling ikhlas dan paling benar. (benar di sini maksudnya adalah sesuai dengan tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam).

 Lalu beliau menjelaskan kondisi – kondisi amalan yang dilakukan :

1.     Apabila sebuah amalan itu dilakukan dengan ikhlas akan tetapi tidak benar (berlandaskan ilmu/tidak sesuai tuntunan) maka amalan itu tidak akan diterima.

2.     Apabila amalan itu dilakukan berlandaskan ilmu dan sesuai tuntunan akan tetapi tidak ikhlas maka amalan itu juga tidak diterima.

Kemudian beliau menutup penjelasannya dengan membacakan akhir surat al-Kahfi :

فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا [الكهف : 110]

“.................. barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya".

Pada intinya ahsanu 'amala adalah bagaimana amal perbuatan kita itu bernilai ibadah seluruhnya.

Lantas bagaimana caranya agar seluruh sisi kehidupan ini bernilai ibadah? jawabannya sederhana saja, berpatokanlah pada keridhoan Allah saja.  Dimana keridhoaan Allah itu adanya? tentu di dalam ketaatan kepada-Nya.

Maka bagaimana caranya agar kita bisa senantiasa berada dalam ketaatan itulah amal-amal terbaik sesungguhnya. 

Dalam sistem hidup sekarang untuk melakukan ketaatan secara sempurna bukanlah hal yang mudah.  Karena terlalu banyak celah yang bisa menjerumuskan kita pada kedurhakaan atau kemaksiatan.  Mengapa bisa demikian?karena bukan aturan Tuhan yang sedang diterapkan.

Maka agar kita melakukan ketaatan yang sempurna diperlukan sebuah sistem kehidupan yang mampu mengakomodirnya.  Itulah syariat Islam yang kita idam-idamkan.

Berjuang untuk tegaknya syariat Allah di muka bumi ini merupakan ahsanu 'amala yang sesungguhnya.  Karena itu terlibat di dalamnya adalah keharusan. Menyibukkan dan menghabiskan waktu untuknya adalah sebuah kemuliaan.

Maka jangan sampai kau tertinggal kawan.  Dalam gerbong keselamatan untuk meraih sebaik-baik amalan.

Yuk mari kita bergandengan tangan untuk saling menguatkan dalam jalan perjuangan. Semoga kita terhindar dari segala kerugian besar yang berujung penyesalan.

Terakhir, cukuplah firman Allah Jalla wa 'Ala mengetuk hati-hati kita.  Ketahuilah setiap firman Nya adalah ungkapan kecintaan terhadap hamba-hamba Nya.

Al Qur'an surah Al Ashr ayat 1 - 3 :

وَالْعَصْرِ (1) إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (2) إِلَّا الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ

_“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran_.” (QS. Al ‘Ashr: 1-3).

*Barakallahu fiikum*

Kamis, 16 Januari 2020

WAHAI PARA GURU, SADARI KEMULIAANMU*

*

_Oleh : Abu Afra_

Kita sangat familiar dengan hadits yang berbunyi خير الناس أنفعهم للناس (khoirunnas anfa'uhum linnas). Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain.

Hadits shahih tentang sebaik-baik manusia ini diriwayatkan dari Jabir.


عن جابر قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : « المؤمن يألف ويؤلف ، ولا خير فيمن لا يألف ، ولا يؤلف، وخير الناس أنفعهم للناس »


Dari Jabir, ia berkata,”Rasulullah Saw bersabda,’Orang beriman itu bersikap ramah dan tidak ada kebaikan bagi seorang yang tidak bersikap ramah. Dan sebaik-baik manusia adalah orang yang paling bermanfaat bagi manusia.” (HR. Thabrani dan Daruquthni).

Status kemuliaan kita sebagai manusia sangat ditentukan oleh sisi manfaat kita terhadap yang lainnya.  Dan untuk bisa memberi manfaat yang sebanyak-banyaknya kepada orang lain tentu diperlukan pengetahuan yang cukup tentang apa dan bagaimana seharusnya ukuran kemanfaatan itu sendiri di dalam Islam.

Seringkali orang berfikir asal mampu mendatangkan hal-hal yang disenangi oleh manusia maka dia sudah mendatangkan manfaat bagi orang lain.  Atau terkadang juga, asal bisa memberikan manfaat dari sisi materi saja maka dianggaplah telah mampu mendatangkan manfaat.

Sejatinya pandangan tersebut tidak sepenuhnya benar, namun tidak pula seluruhnya salah.

Asas manfaat di dalam syariat kita tentu tidaklah lama dengan asas manfaat yang dimaksud dalam sistem kapitalis sekuler warisan peradaban barat.

Di dalam sistem hidup Islam manfaat itu diukur melalui kaca mata syariat.  Maksudnya, apakah suatu perkara diridhoi oleh Allah atau justru dimurkainya. Atau apakah hal tersebut diperintahkan -Nya atau justru dilarang.

Sehingga ukuran manfaat itu bukan dilihat dari perbuatan atau benda itu sendiri, melainkan oleh sesuatu yang lain. Maksudnya disini adalah bagaimana syara memandangnya.

Sementara dalam sistem sekuler kapitalis seperti sekarang ini.  Asas manfaat itu diukur dari seberapa banyak keuntungan secara materil yang didapat manusia.  Atau seberapa banyak orang menyenangi hal tersebut.

Inilah kenapa seringkali seseorang yang mengukur manfaat dengan kaca mata Islam akan berbeda dengan orang lain yang mengukur asas manfaat itu dari sudut pandang yang lain.

Maka dalam menafsirkan hadits di atas juga akan berbeda outputnya.  Misal, berdasarkan hadits tersebut orang yang paling baik adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain.  Secara sederhana jika dilihat dari terminologi orang kapitalis tentu yang dimaksud disini adalah orang yang paling kaya secara materi.

Sehingga profesi terbaik dalam kaca mata ini adalah profesi-profesi yang mampu mendatangkan banyak uang atau kekayaan.

Kenapa demikian? Karena orang kaya logikanya paling besar potensinya untuk mendatangkan kemanfaatan kepada yang lainnya secara keuntungan materi maupun kecintaan manusia terhadapnya.

Akan tetapi jika diukur dengan kaca mata syariat.  Manusia terbaik itu tidak mesti harus kaya raya.  Yang penting dia mampu mendatangkan kemanfaatan yang besar dari sudut pandang syariat. Baik lewat hartanya atau lewat yang lainnya. Intinya bertaqwa sajalah.

Sebagaimana Allah sampaikan di dalam Al Quran :
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ

Yang mana dengan ketaqwaan itulah akan banyak orang yang terpapar manfaat darinya.  Dan tentu menjadi bertaqwa tidak harus kaya, namun boleh jadi juga seorang yang kaya.

Kuncinya tentu saja yang paling penting adalah ilmu. Karena ketaqwaan tidak akan mampu diraih kecuali dengan pengetahuan yang benar terhadap segala seruan Rab-Nya.

Dalam kaca mata syariat mereka yang paling mengetahui kebenaran dan paling kuat komitmennya terhadap kebenaran Islam yang merupakan manifestasi dari seruan Rab Semesta Raya  ini adalah para Ulama atau para Guru.

Mereka adalah para guru-guru mulia yang mengajarkan manusia banyak hal tentang apa yang mampu menyelamatkan  dalam menjalani kehidupan di dunia dan di akhirat.

Al Imam Ghazali pernah membagi manusia menjadi empat (4) golongan.  Salah satu diantara yang disebutkan beliau sebagai golongan terbaik  yaitu Rojulun Yadri wa Yadri Annahu Yadri (Seseorang yang Tahu (berilmu), dan dia Tahu kalau dirinya Tahu).

Orang ini bisa disebut para  ‘alim = mengetahui.  Siapa mereka? Siapa lagi kalau bukan para guru.  Merekalah sebenarnya wasilah kemanfaatan bagi banyak orang.

 Bahkan Nabi SAW menyebut kalangan mereka ini sebagai waratsatul anbiya (pewaris para nabi). Luar Biasa!

Al Imam Al Ghazali juga mengatakan,
“Ini adalah jenis manusia yang paling baik. Jenis manusia yang memiliki kemapanan ilmu, dan dia tahu kalau dirinya itu berilmu, maka ia menggunakan ilmunya. Ia berusaha semaksimal mungkin agar ilmunya benar-benar bermanfaat bagi dirinya, orang sekitarnya, dan bahkan bagi seluruh umat manusia. Manusia jenis ini adalah manusia unggul. Manusia yang sukses dunia dan akhirat,”

Hanya saja menjadi guru memanglah tidak menjanjikan harta dunia yang berlimpah.  Tapi sadarilah, bahwa menjadi seorang guru itu hidupnya berlimpah berkah.

Maka sadarilah olehmu wahai para guru akan kemuliaan profesimu.  Syukuri dengan cara terus memantaskan diri agar menjadi guru yang terbaik.  Karena dari kalianlah lahir generasi terbaik umat ini sebagaimana yang telag dijanjikan.

Cukup lah rasanya bisyarah Rasulullah tentang kemulian para guru menjadi penguat dalam menjalani tugas berat sebagai pembina.

Sebagai penutup dari tulisan kecil ini saya kutipkan sebuah hadits tentang betapa agungnya hadiah untuk para guru.

Dari Abu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda;
مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ
“Siapa yang menunjukkan seseorang kepada kebaikan , maka ia memperoleh pahala seperti pahala orang yang melakukannya” (HR. Muslim)._

_Wallahu Musta'an_

MERESTART ULANG KEHIDUPAN

* Oleh  : Abu Afra t.me/AbuAfraOfficial Terkadang ada orang yang ketika awal hijrahnya begitu bersemangat.  Dimana-mana selalu ngomong...