Oleh : Muhammad Fitrianto, S.Pd.Gr, Lc, M.A, M.Pd. C.ISP, C.LQ
Di zaman ketika kebenaran bisa dibungkam dengan uang, dan keadilan
bisa dibeli oleh kuasa, kisah seorang pemuda suci dari Bani Israil terasa
menampar kesadaran kita. Namanya Yahya bin Zakaria, seorang nabi yang hidup
ribuan tahun lalu, tapi nilai perjuangannya masih hidup—bahkan relevan—hingga
kini.
Lahir dari Doa
yang Mustahil
Nabi Yahya bukan sekadar lahir, ia adalah jawaban dari doa yang
dianggap mustahil. Ayahnya, Nabi Zakaria, telah renta. Rambutnya memutih,
tulangnya rapuh, namun hatinya tak pernah berhenti berharap:
وَقَالَ رَبِّ إِنِّي وَهَنَ
الْعَظْمُ مِنِّي وَاشْتَعَلَ الرَّأْسُ شَيْبًا وَلَمْ أَكُن بِدُعَائِكَ رَبِّ
شَقِيًّا
“Ya Rabb,
tulangku telah rapuh, rambutku memutih, namun aku tak pernah kecewa dengan doa
kepada-Mu.” (Q.S. Maryam:4)
Allah
mengabulkannya dengan sebuah mukjizat. Malaikat berkata:
يَا زَكَرِيَّا إِنَّا نُبَشِّرُكَ
بِغُلَامٍ اسْمُهُ يَحْيَى لَمْ نَجْعَل لَّهُ مِن قَبْلُ سَمِيًّا
“Wahai Zakaria,
sesungguhnya Kami memberi kabar gembira kepadamu dengan kelahiran seorang anak
bernama Yahya, yang sebelumnya belum pernah Kami berikan nama itu kepada
seorang pun.” (Q.S. Maryam:7)
Dari awal hidupnya, Nabi Yahya sudah menjadi simbol: bahwa harapan
tak boleh mati, bahkan ketika logika manusia mengatakan “tidak mungkin.”
Pemuda yang Tak
Mau Diam
Ketika dewasa, Nabi Yahya menjadi suara kebenaran di tengah
masyarakat yang larut dalam dosa. Hidupnya sederhana, pakaiannya kasar, tapi
suaranya tajam. Allah menggambarkannya:
يَا يَحْيَىٰ خُذِ الْكِتَابَ
بِقُوَّةٍ وَآتَيْنَاهُ الْحُكْمَ صَبِيًّا • وَحَنَانًا مِّن لَّدُنَّا وَزَكَاةً
وَكَانَ تَقِيًّا • وَبَرًّا بِوَالِدَيْهِ وَلَمْ يَكُن جَبَّارًا عَصِيًّا
“Wahai Yahya,
ambillah Kitab (Taurat) itu dengan sungguh-sungguh. Kami berikan kepadanya
hikmah sejak kecil, kasih sayang dari sisi Kami, kesucian, dan ia seorang yang
bertakwa. Dan ia berbakti kepada kedua orang tuanya, bukan orang sombong lagi
durhaka.” (Q.S. Maryam:12-14)
Ketika Raja Herodes hendak menikahi anak tirinya—pernikahan yang
jelas dilarang agama—semua memilih diam. Nabi Yahya berdiri sendirian, berani
berkata: “Itu haram di sisi Allah!” Kalimat itu menggetarkan istana. Dan seperti
biasa, kekuasaan yang terusik akan melawan. Nabi Yahya dipenjara, difitnah,
hingga akhirnya dipenggal kepalanya atas permintaan seorang perempuan yang haus
nafsu dan seorang penguasa yang takut kehilangan wibawa.
Pesan untuk
Kita Hari Ini
Apa yang bisa kita ambil dari kisah Nabi Yahya? Banyak. Tapi
izinkan saya fokus pada satu: integritas. Di negeri ini, kita kerap
menyaksikan orang yang tadinya lantang melawan korupsi, tapi diam begitu berada
di lingkar kekuasaan. Kita melihat pemimpin yang lebih takut kehilangan jabatan
daripada kehilangan kepercayaan rakyat.
Yahya mengajarkan, menjadi benar itu sering sendirian. Dan tak ada
jaminan bahwa kebenaran akan menang secara duniawi. Tapi keberanian untuk tetap
tegak itulah yang membuat manusia hidup mulia.
Allah
mengabadikan kisahnya dengan salam abadi:
وَسَلَامٌ عَلَيْهِ يَوْمَ وُلِدَ
وَيَوْمَ يَمُوتُ وَيَوْمَ يُبْعَثُ حَيًّا
“Keselamatan
atas dirinya pada hari ia dilahirkan, pada hari ia wafat, dan pada hari ia
dibangkitkan kembali.” (Q.S.
Maryam:15)
Salam itu bukan hanya untuk Nabi Yahya, tapi juga untuk siapa pun
yang memilih jalan lurus, meski berisiko.
Menjadi “Yahya” di Zaman Ini
Mungkin kita tak akan berhadapan dengan raja zalim. Tapi kita akan
selalu berhadapan dengan pilihan: ikut arus atau melawan arus demi nilai. Sosok Nabi Yahya mengingatkan kita bahwa
keberanian bukanlah berteriak lantang saat ramai mendukung, tetapi tetap
berkata “tidak” saat semua orang memilih diam. Dan itu, dalam banyak hal,
adalah bentuk kemuliaan tertinggi.
“Jadilah
cahaya, meski sendirian dalam gelap.”

Tidak ada komentar:
Posting Komentar