Oleh: Muhammad Fitrianto, S.Pd.Gr, Lc, M.A, M.Pd., C.ISP, C.LQ
Kairo di awal abad ke-14 Masehi (abad ke-8 Hijriah) bukan sekadar
kota. Ia adalah panggung besar spiritualitas Islam: makam para wali,
arak-arakan maulid, dan gema zikir yang menjadi denyut kehidupan masyarakat. Di
tengah suasana itulah Thariqah Rifa’iyah, pewaris ajaran Syekh Ahmad al-Rifa’i
(w. 578 H), berkembang menjadi salah satu pusat kekuatan rohani Mesir.
Namun pada tahun 1312 M (712 H), suasana itu diguncang. Seorang
ulama besar dari Damaskus, Ibn Taimiyah, datang ke Kairo. Dengan lantang, ia
mengecam tradisi yang dianggap menyimpang: pembangunan di atas makam, tawassul
kepada para wali, hingga perayaan maulid Nabi. Dalam Iqtidā’ al-Shirāth
al-Mustaqīm (jilid 2, hlm. 701, 749), ia menilai tawassul sebagai bentuk
syirik. Dalam Majmū‘ al-Fatāwā (jilid 23, hlm. 162), ia menyebut maulid sebagai
bid‘ah yang tak dikenal para salaf.
Serangan itu segera memicu reaksi keras. Kaum Rifa’iyah merasa
bukan sekadar tradisi mereka yang diserang, melainkan jantung spiritual
masyarakat Mesir. Syekh Ali Abu al-Wafa al-Rifa’i maju ke gelanggang debat,
mengutip perkataan Imam Syafi‘i:
"أحبُّ الصالحين ولستُ منهم *** لعلي أن أنال بهم شفاعة"
Aku mencintai orang-orang saleh meski aku bukan termasuk mereka,
mudah-mudahan dengan mereka aku mendapat syafaat (lihat Ibn Daqiq al-‘Id, Majmū‘ al-Fatāwā, manuskrip al-Azhar
no. 241 Ushul, lembar 112).
Bagi kaum sufi,
inilah bukti bahwa tawassul adalah jalan cinta, bukan khurafat.
Gelombang dukungan pun mengalir. Para ulama berdiri di sisi
tarekat. Masyarakat bergerak dengan pawai zikir dan doa bersama. Abdul Halim
Mahmud menggambarkan peristiwa ini sebagai “sebuah kebangkitan hati kaum sufi
melawan pemikiran kaku yang tak mengenal rasa cinta” (Ibn Taimiyah wa
al-Shufiyyah, hlm. 118).
Tekanan itu sampai ke istana. Para syekh mengajukan pengaduan resmi
kepada Sultan al-Nasir Muhammad bin Qalawun, seorang penguasa yang dikenal
gemar berziarah ke makam Sayyidina Husain dan Sayyidah Nafisah. Tak heran, hati
sang sultan lebih condong ke kaum zikir daripada ke fatwa Ibn Taimiyah (Farid
Abdul Rahman, al-Thuruq al-Shufiyyah fi Misr, hlm. 67).
Akhirnya keputusan turun: Ibn Taimiyah dipenjara selama 16 bulan di
benteng Qal‘at al-Jabal. Ali ibn Ahmad al-Rifa’i mencatat peristiwa ini dalam
Bahjat al-Asrār (Dar al-Kutub al-Misriyyah, no. 453 Tasawwuf, lembar 89):
"انكسرت السيوف عند حلق الذكر، وظهر سرّ القوم على من عاداهم"
Pedang patah di hadapan lingkaran zikir, dan rahasia kaum sufi
tampak pada mereka yang memusuhinya.
Setelah bebas, Ibn Taimiyah meninggalkan Kairo menuju Damaskus pada
tahun 1314 M (714 H). Sejarah pun
mencatat: Kairo tetap menjadi kota cinta, kota maulid, kota karamah para wali.
Resonansi ke
Nusantara: Hasyim Asy‘ari dan Tradisi Aswaja
Pelajaran dari Kairo ini sangat beresonansi dengan apa yang
kemudian ditegaskan oleh Hadratussyekh K.H. Hasyim Asy‘ari dalam Risalah Ahl
al-Sunnah wa al-Jama‘ah. Beliau menulis:
"ومن اعتقد أنّ التوسل بالصالحين بدعة أو شرك فقد ضلّ عن سواء
السبيل"
Barang siapa berkeyakinan bahwa tawassul dengan orang-orang saleh
adalah bid‘ah atau syirik, maka ia telah menyimpang dari jalan yang lurus.
Hadratus Syaikh K.H.Hasyim Asy‘ari menegaskan bahwa tawassul, tabarruk,
dan penghormatan kepada para wali adalah bagian dari ajaran Ahlussunnah wal
Jama‘ah yang bersambung sanadnya hingga kepada ulama salaf. Karena itu,
Nahdlatul Ulama sejak awal berdiri teguh menjaga tradisi ziarah kubur,
tawassul, tahlil, dan maulid sebagai wujud cinta kepada Rasulullah ﷺ dan para pewarisnya.
Penutup
Pertarungan antara Ibn Taimiyah dan Rifa’iyah bukanlah sekadar
debat fikih, melainkan perebutan identitas spiritual Mesir. Dan pada akhirnya,
hati Kairo—dengan segala zikir dan cintanya—berhasil mengalahkan fatwa. Dari Kairo hingga ke Nusantara, pesan itu
tetap relevan: bahwa cinta kepada Rasulullah ﷺ
dan para wali, yang diwujudkan dalam tawassul, maulid, dan zikir jama‘i, adalah
kekuatan yang tak pernah pudar meski diterjang badai fatwa.
📚 Referensi:
·
Ibn
Katsir, al-Bidāyah wa al-Nihāyah, jilid 14, hlm. 54.
·
Ibn
Taimiyah, Iqtidā’ al-Shirāth al-Mustaqīm, jilid 2, hlm. 701, 749.
·
Ibn
Taimiyah, Majmū‘ al-Fatāwā, jilid 23, hlm. 162.
·
Ibn
Daqiq al-‘Id, Majmū‘ al-Fatāwā, manuskrip al-Azhar, no. 241 Ushul, lembar 112.
·
Abdul
Halim Mahmud, Ibn Taimiyah wa al-Shufiyyah, hlm. 118.
·
Farid
Abdul Rahman, al-Thuruq al-Shufiyyah fi Misr, hlm. 67.
·
Ali
ibn Ahmad al-Rifa’i, Bahjat al-Asrār, Dar al-Kutub al-Misriyyah, no. 453
Tasawwuf, lembar 89.
·
Hasyim
Asy‘ari, Risalah Ahl al-Sunnah wa al-Jama‘ah, hlm. 7.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar