Senin, 13 Oktober 2025

Meniti Jalan Hidayah: Dari Adab Dasar Menuju Puncak Kemuliaan

 Oleh  :  Muhammad Fitrianto, S.Pd.Gr, Lc, M.A., M.Pd

Setiap Muslim mendambakan hidayah, cahaya petunjuk dari Allah SWT yang menerangi jalan kehidupan. Hidayah adalah anugerah termahal, yang sumbernya datang dari Al-Qur'an, teladan Nabi Muhammad SAW, serta jejak langkah para ulama dan orang-orang saleh. Karena itulah kita senantiasa memohon dalam salat, "ihdinasiratal mustaqim"—tunjukilah kami jalan yang lurus. Jalan mereka yang telah Engkau beri nikmat, bukan jalan mereka yang tersesat.

Namun, memahami hidayah seringkali keliru. Banyak yang ingin langsung mencapai puncak spiritualitas, padahal hidayah memiliki jenjang. Ia memiliki permulaan (bidayah) dan puncak (nihayah). Seseorang tidak akan sampai ke puncaknya tanpa melewati gerbang awalnya. Ibarat bayi, ia harus mengonsumsi bubur lembut, bukan sate atau gule yang menjadi santapan orang dewasa. Memberikan makanan orang dewasa kepada bayi justru akan membahayakannya. Demikian pula dalam meniti jalan ruhani.

Kita tidak bisa langsung menelan "ilmu tingkat tinggi" atau cerita-cerita karamah para wali tanpa mengukur kapasitas diri. Posisi kita, jika dibandingkan dengan para aulia Allah, adalah laksana bayi. Maka, yang terpenting bukanlah kisah puncak mereka, melainkan bagaimana mereka memulai perjalanannya.

Memulai dari Fondasi dengan "Bidayatul Hidayah"

Imam Al-Ghazali, dalam karyanya yang monumental, Bidayatul Hidayah, memberikan peta jalan yang jelas bagi para pemula. Kitab ini adalah fondasi yang harus dipelajari sebelum melangkah lebih jauh. Di dalamnya, Imam Al-Ghazali menguraikan tiga pilar utama:

Melaksanakan Ketaatan (Fi'lut Tha'at): Beliau merinci adab dan amalan seorang Muslim sepanjang hari. Mulai dari doa bangun tidur, adab di kamar mandi, cara berpakaian, hingga doa sebelum tidur kembali. Seluruh aktivitas kita dibingkai dalam bingkai ketaatan kepada Allah.

Meninggalkan Maksiat (Tarqul Ma'ashi): Setelah membangun kebiasaan taat, langkah selanjutnya adalah membentengi diri dari dosa. Imam Al-Ghazali menjelaskan cara menjaga mata, telinga, lisan, perut, dan hati dari perbuatan maksiat. Setiap anggota tubuh memiliki potensi dosa yang harus diwaspadai dan dijaga.

Berinteraksi dengan Adab: Pilar ketiga adalah adab dalam bergaul, baik kepada Allah, kepada sesama manusia, maupun kepada makhluk lainnya. Ilmu dan ibadah menjadi sia-sia jika tidak dihiasi dengan adab yang mulia.

Adab: Permata yang Hilang

Nilai sejati seorang hamba tidak terletak pada banyaknya ilmu, melainkan pada adabnya. Rasulullah SAW bersabda, "Ta'allamul 'ilma wa ta'allamu lil 'ilmi as-sakinata wal waqar" (Pelajarilah ilmu, dan pelajarilah untuk ilmu itu ketenangan dan kewibawaan). Ilmu harus melahirkan ketawadukan, bukan kesombongan. Inilah mengapa peran seorang guru (syekh) yang bersih jiwanya menjadi sangat penting. Kita tidak hanya mengambil ilmunya, tetapi meneladani akhlak dan jalan hidupnya (sirah). Bagaimana tawaduknya, zuhudnya, dan istiqamahnya. Tanpa meneladani adab mereka, seribu tahun belajar pun akan sia-sia.

Majelis ilmu seperti haul para ulama bukanlah ajang pamer kemuliaan leluhur, melainkan cermin untuk mengukur diri. Di mana akhlak kita dibanding akhlak mereka? Di mana ibadah kita dibanding ibadah mereka? Majelis ini seharusnya menjadi momen untuk membuka hati yang telah tertutup oleh syahwat, cinta dunia, dan ego.

Menjaga Dua Pintu Hati

Hati memiliki dua pintu utama: mata dan telinga. Apa yang kita lihat dan dengar akan langsung masuk dan memengaruhi hati. Jika mata terbiasa memandang orang-orang saleh dan telinga terbiasa mendengar lantunan Al-Qur'an serta kisah para Nabi, maka hati akan dipenuhi cinta pada kebaikan. Sebaliknya, jika mata dan telinga dibiarkan liar menikmati hal-hal yang membangkitkan syahwat, maka hati akan dipenuhi noda dan rencana maksiat. Mari kita tutup rapat kedua pintu ini dari bisikan setan dan hawa nafsu.

Puncak Adab Ada pada Para Sahabat

Contoh adab tertinggi dapat kita lihat pada para sahabat di hadapan Rasulullah SAW. Ketika mereka duduk di majelis Nabi, mereka begitu tenang dan khusyuk, seolah-olah di atas kepala mereka ada burung yang akan terbang jika mereka bergerak sedikit saja.

 Pandangan mereka lebih banyak menunduk karena rasa hormat, dan suara mereka tidak pernah melebihi suara Nabi. Dengan adab yang luar biasa itulah mereka meraih kedudukan tertinggi (maqam as-suhbah), sebuah derajat yang bahkan mengungguli wali paling mulia sekalipun.

Pada akhirnya, keberuntungan terbesar dalam sebuah majelis ilmu bukanlah siapa yang duduk paling depan atau yang paling dekat dengan guru. Keberuntungan terbesar adalah milik mereka yang paling beradab dan paling tulus hatinya. Sebab, berkah dan rahmat Allah ibarat air yang mengalir ke tempat yang lebih rendah. Hati yang tawaduk dan merasa rendah di hadapan Allah-lah yang akan dipenuhi oleh cahaya hidayah-Nya.  Wallahu’alamu bis showab



 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Meniti Jalan Hidayah: Dari Adab Dasar Menuju Puncak Kemuliaan

  Oleh  :  Muhammad Fitrianto, S.Pd.Gr, Lc, M.A., M.Pd Setiap Muslim mendambakan hidayah, cahaya petunjuk dari Allah SWT yang menerangi ja...