Oleh : Muhammad Fitrianto, S.Pd.Gr, Lc, M.A., M.Pd
Setiap Muslim mendambakan hidayah, cahaya petunjuk dari Allah SWT
yang menerangi jalan kehidupan. Hidayah adalah anugerah termahal, yang
sumbernya datang dari Al-Qur'an, teladan Nabi Muhammad SAW, serta jejak langkah
para ulama dan orang-orang saleh. Karena itulah kita senantiasa memohon dalam
salat, "ihdinasiratal mustaqim"—tunjukilah kami jalan yang lurus. Jalan mereka yang telah
Engkau beri nikmat, bukan jalan mereka yang tersesat.
Namun, memahami hidayah seringkali keliru. Banyak yang ingin
langsung mencapai puncak spiritualitas, padahal hidayah memiliki jenjang. Ia
memiliki permulaan (bidayah) dan puncak (nihayah). Seseorang tidak akan sampai ke puncaknya tanpa melewati gerbang
awalnya. Ibarat bayi, ia harus mengonsumsi bubur lembut, bukan sate atau gule
yang menjadi santapan orang dewasa. Memberikan makanan orang dewasa kepada bayi
justru akan membahayakannya. Demikian pula dalam meniti jalan ruhani.
Kita tidak bisa langsung menelan "ilmu tingkat tinggi"
atau cerita-cerita karamah para wali tanpa mengukur kapasitas diri. Posisi
kita, jika dibandingkan dengan para aulia Allah, adalah laksana bayi. Maka,
yang terpenting bukanlah kisah puncak mereka, melainkan bagaimana mereka
memulai perjalanannya.
Memulai dari Fondasi dengan "Bidayatul Hidayah"
Imam Al-Ghazali, dalam karyanya yang monumental, Bidayatul Hidayah,
memberikan peta jalan yang jelas bagi para pemula. Kitab ini adalah fondasi
yang harus dipelajari sebelum melangkah lebih jauh. Di dalamnya, Imam
Al-Ghazali menguraikan tiga pilar utama:
Melaksanakan Ketaatan (Fi'lut Tha'at): Beliau merinci adab dan amalan seorang Muslim sepanjang hari.
Mulai dari doa bangun tidur, adab di kamar mandi, cara berpakaian, hingga doa
sebelum tidur kembali. Seluruh aktivitas kita dibingkai dalam bingkai ketaatan
kepada Allah.
Meninggalkan Maksiat (Tarqul Ma'ashi): Setelah membangun kebiasaan taat, langkah selanjutnya adalah
membentengi diri dari dosa. Imam Al-Ghazali menjelaskan cara menjaga mata,
telinga, lisan, perut, dan hati dari perbuatan maksiat. Setiap anggota tubuh
memiliki potensi dosa yang harus diwaspadai dan dijaga.
Berinteraksi dengan Adab: Pilar ketiga adalah adab dalam bergaul,
baik kepada Allah, kepada sesama manusia, maupun kepada makhluk lainnya. Ilmu
dan ibadah menjadi sia-sia jika tidak dihiasi dengan adab yang mulia.
Adab: Permata yang Hilang
Nilai sejati seorang hamba tidak terletak pada banyaknya ilmu,
melainkan pada adabnya. Rasulullah SAW bersabda, "Ta'allamul 'ilma wa
ta'allamu lil 'ilmi as-sakinata wal waqar" (Pelajarilah ilmu, dan
pelajarilah untuk ilmu itu ketenangan dan kewibawaan). Ilmu harus
melahirkan ketawadukan, bukan kesombongan. Inilah mengapa peran seorang guru (syekh) yang bersih jiwanya menjadi sangat penting. Kita tidak hanya
mengambil ilmunya, tetapi meneladani akhlak dan jalan hidupnya (sirah). Bagaimana tawaduknya, zuhudnya, dan istiqamahnya. Tanpa
meneladani adab mereka, seribu tahun belajar pun akan sia-sia.
Majelis ilmu seperti haul para ulama bukanlah ajang pamer kemuliaan
leluhur, melainkan cermin untuk mengukur diri. Di mana akhlak kita dibanding
akhlak mereka? Di mana ibadah kita dibanding ibadah mereka? Majelis ini
seharusnya menjadi momen untuk membuka hati yang telah tertutup oleh syahwat,
cinta dunia, dan ego.
Menjaga Dua Pintu Hati
Hati memiliki dua pintu utama: mata dan telinga. Apa yang kita
lihat dan dengar akan langsung masuk dan memengaruhi hati. Jika mata terbiasa
memandang orang-orang saleh dan telinga terbiasa mendengar lantunan Al-Qur'an
serta kisah para Nabi, maka hati akan dipenuhi cinta pada kebaikan. Sebaliknya,
jika mata dan telinga dibiarkan liar menikmati hal-hal yang membangkitkan
syahwat, maka hati akan dipenuhi noda dan rencana maksiat. Mari kita tutup
rapat kedua pintu ini dari bisikan setan dan hawa nafsu.
Puncak Adab Ada pada Para Sahabat
Contoh adab tertinggi dapat kita lihat pada para sahabat di hadapan
Rasulullah SAW. Ketika mereka duduk di majelis Nabi, mereka begitu tenang dan
khusyuk, seolah-olah di atas kepala mereka ada burung yang akan terbang jika
mereka bergerak sedikit saja.
Pandangan mereka lebih banyak menunduk karena rasa hormat, dan suara mereka tidak pernah melebihi suara Nabi. Dengan adab yang luar biasa itulah mereka meraih kedudukan tertinggi (maqam as-suhbah), sebuah derajat yang bahkan mengungguli wali paling mulia sekalipun.
Pada akhirnya, keberuntungan terbesar dalam sebuah majelis ilmu
bukanlah siapa yang duduk paling depan atau yang paling dekat dengan guru.
Keberuntungan terbesar adalah milik mereka yang paling beradab dan paling tulus
hatinya. Sebab, berkah dan rahmat Allah ibarat air yang mengalir ke tempat yang
lebih rendah. Hati yang tawaduk dan merasa rendah di hadapan Allah-lah yang akan
dipenuhi oleh cahaya hidayah-Nya. Wallahu’alamu
bis showab

Tidak ada komentar:
Posting Komentar