Minggu, 31 Agustus 2025

Mendidik Anak, Bukan Sekadar Menyekolahkan

        Di tengah riuhnya kehidupan modern, banyak orang tua terjebak dalam paradigma yang menyempitkan makna pendidikan. Kita sering menganggap tugas utama telah selesai begitu anak berhasil duduk di bangku sekolah, pesantren, atau kampus. Padahal, kewajiban sejati orang tua melampaui itu semua. Pendidikan sejati, yang berfokus pada penanaman adab dan akhlak mulia, sejatinya dimulai dan berpusat di rumah, bukan di institusi formal. Inilah esensi mendalam yang sering kita lupakan, padahal menjadi fondasi utama dalam Islam.

Rumah: Lembaga Pendidikan Terbaik Sepanjang Masa

           Mari kita berkaca pada zaman Rasulullah SAW. Di masa itu, tidak ada sekolah modern, pesantren, apalagi universitas. Namun, justru dari zaman itulah lahir generasi terbaik: khairunnas qarni — para sahabat, tabi'in, dan tabi'ut tabi'in, yang kita kenal sebagai Salafus Shalih. Mereka adalah bukti nyata bahwa pendidikan terbaik tidak bergantung pada megahnya gedung sekolah, melainkan pada proses pembentukan karakter dan keimanan yang dimulai dari lingkup terkecil: keluarga.

        Rasulullah SAW, sebagai guru terbaik, menjadikan rumahnya sendiri sebagai pusat pendidikan yang melahirkan generasi cemerlang. Bukankah ini menggugah kita untuk kembali menjadikan rumah sebagai "sekolah" pertama dan utama bagi anak-anak?

            Al-Qur'an dan Sunnah adalah warisan abadi Rasulullah SAW. Selain itu, beliau juga mewariskan para ulama sebagai penerus risalah kenabian. Sebagaimana sabda beliau:

"إِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ، وَإِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا، وَإِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ، فَمَنْ أَخَذَ بِهِ فَقَدْ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ."

“Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi. Sungguh para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham. Sungguh mereka hanya mewariskan ilmu, maka barangsiapa mengambilnya, sungguh ia telah mengambil bagian yang banyak.”

(HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)

        Dalam konteks ini, pendidikan di rumah harus berpijak kuat pada nilai-nilai Al-Qur'an dan Sunnah. Adab yang diajarkan harus mencerminkan ketaatan kepada Allah, Rasul, ulama, dan orang tua. Rumah yang penuh dengan adab akan menjadi benteng kokoh yang melindungi anak dari pemikiran-pemikiran menyimpang yang kini mudah merasuki mereka di era digital.

Adab: Fondasi Pendidikan Sejati

        Ali bin Abi Thalib pernah berujar, cara terbaik menjaga diri dan keluarga dari api neraka adalah dengan addaba — menanamkan adab dan akhlak mulia. Adab dalam Islam begitu luas, mencakup kesopanan kepada Allah (tauhid), Rasulullah, ulama, orang tua, dan bahkan kepada diri sendiri.

        Anak yang beradab kepada Allah tidak akan menyekutukan-Nya, apalagi terjerumus pada riya yang disebut sebagai syirik kecil. Anak yang beradab kepada Rasulullah akan menjadikan beliau sebagai teladan utama, uswatun hasanah. Sementara itu, adab kepada ulama dan orang tua adalah wujud penghormatan kita kepada pewaris ilmu dan kasih sayang yang tak terhingga.

Pentingnya adab ini tertuang jelas dalam Al-Qur'an, sebagaimana nasihat Luqman kepada anaknya:

"وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ."

"Dan (ingatlah) ketika Lukman berkata kepada anaknya, ketika dia memberi pelajaran kepadanya, 'Wahai anakku! Janganlah engkau mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.'" (QS. Luqman: 13)

        Nasihat Luqman ini, yang tercantum dalam ayat 12-19, adalah panduan lengkap tentang adab kepada Allah, orang tua, dan sesama.

        Sayangnya, di tengah derasnya arus informasi, adab sering kali tergerus. Banyak anak yang lebih akrab dengan nama-nama pesepak bola atau penyanyi terkenal, namun tak mengenal figur mulia seperti Buya Hamka, Muhammad Natsir, atau Wali Songo. Ini menjadi tantangan besar bagi orang tua untuk mengenalkan anak pada teladan-teladan dalam sejarah Islam, khususnya di Nusantara.

Mendidik, Bukan Hanya Menyekolahkan

        Banyak orang tua merasa tugasnya selesai begitu anak lulus sarjana dan mendapatkan pekerjaan. Padahal, Al-Qur’an dalam Surah At-Tahrim ayat 6 dengan tegas memerintahkan:

"يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ..."

"Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu..."

        Ayat ini tidak memerintahkan kita untuk "menyekolahkan" anak, tetapi "melindungi" mereka. Dalam tafsir Ibnu Katsir, ayat ini dijelaskan sebagai perintah untuk mendidik diri dan keluarga agar taat kepada Allah dan menjauhi larangan-Nya, sehingga terhindar dari murka-Nya.

        Pendidikan formal tanpa adab ibarat bangunan tanpa fondasi. Ada kisah pilu tentang seorang doktor yang berhasil menyekolahkan ketiga anaknya hingga ke luar negeri, namun tak satu pun dari mereka hadir saat sang ibu sakit parah hingga wafat. Ini adalah pengingat pahit bahwa gelar setinggi apa pun tidak bisa menggantikan adab dan bakti kepada orang tua.

        Sekolah modern, yang lahir dari era revolusi industri, sering kali lebih berfokus pada pencetakan pekerja, bukan pada pembentukan manusia berakhlak mulia. Tak heran, banyak anak muda kini mengalami krisis identitas hingga depresi. Data mencengangkan yang menunjukkan 20% mahasiswa di Bandung pernah mempertimbangkan bunuh diri, adalah alarm keras bagi kita semua. Rumah harus menjadi benteng pertama yang melindungi jiwa anak, bukan sekadar menyerahkannya pada sistem pendidikan yang sering kali kering dari nilai-nilai spiritual.

Lima Langkah Praktis Mendidik Anak di Rumah

Lalu, bagaimana kita bisa menjadikan rumah sebagai pusat pendidikan terbaik? Berikut adalah lima langkah praktis yang bisa diterapkan:

  1. Mendoakan: Doa orang tua, terutama ibu, adalah senjata yang tak pernah gagal. Doakan anak-anak agar menjadi pribadi yang shalih dan beradab.

  2. Memberi Teladan: Orang tua adalah cermin bagi anak. Tunjukkan akhlak mulia dalam setiap ucapan dan perbuatan sehari-hari.

  3. Membiasakan: Ajak anak untuk membiasakan diri dalam kebaikan, seperti shalat, membaca Al-Qur’an, dan berkata jujur.

  4. Memotivasi: Berikan motivasi melalui kisah inspiratif, hadiah kecil, atau dorongan agar mereka istiqomah dalam kebaikan.

  5. Menegakkan Aturan: Berikan penghargaan untuk perbuatan baik dan teguran bijak untuk kesalahan, tanpa memanjakan. Teguran adalah bentuk kasih sayang, bukan hukuman.

        Di era yang penuh tantangan ini, orang tua juga harus melek teknologi. Anak-anak kini hidup di dua dunia: nyata dan maya. Tanpa pengawasan, mereka rentan terpapar pemikiran menyimpang. Di sinilah peran orang tua untuk menjadi "pemandu" yang mengarahkan mereka pada kebenaran.

Penutup: Adab Sebelum Ilmu

        Umar bin Khattab pernah berpesan, "Beradablah sebelum berilmu." Ilmu tanpa adab ibarat pisau tanpa pegangan—bisa melukai diri sendiri dan orang lain. Rumah adalah tempat pertama dan utama untuk menanamkan adab, yang akan menjadi fondasi kokoh bagi anak dalam menghadapi dunia.

        Jadi, para orang tua, mari jadikan rumah kita sebagai lembaga pendidikan terbaik. Bukan sekadar menyekolahkan, tetapi mendidik anak untuk menjadi generasi yang beradab, berilmu, dan senantiasa mendekatkan diri kepada Allah. Karena pada akhirnya, yang akan ditanya di akhirat bukanlah seberapa tinggi gelar anak kita, melainkan seberapa baik kita telah mendidik mereka.



Minggu, 24 Agustus 2025

Dari Meja Izin ke Meja Hijau: Mengapa Korupsi Tak Pernah Usai?

 Oleh  : Muhammad Fitrianto, S.Pd.Gr, Lc, M.A., M.Pd, C.ISP, C.LQ

21 Agustus 2025. Media kembali heboh. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap Immanuel Ebenezer, Wakil Menteri Ketenagakerjaan, karena dugaan suap dalam perizinan sertifikasi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3). Publik pun terhenyak. Namun, ini bukanlah kabar baru. Kasus korupsi selalu muncul dengan pola serupa: hanya nama, jabatan, dan modus yang berubah.

Immanuel Ebenezer Gerungan atau Bang Noel, mantan Wakil Menteri Ketenagakerjaan, resmi ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK dalam kasus pemerasan sertifikasi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) setelah operasi tangkap tangan pada Agustus 2025. Dalam kasus ini, tarif resmi sebesar Rp 275 ribu dipungut hingga Rp 6 juta, dengan total dugaan aliran dana mencapai Rp 81 miliar. Dari jumlah tersebut, sekitar Rp 3 miliar diduga masuk ke Noel hanya dua bulan setelah ia dilantik, disertai gratifikasi berupa motor mewah Ducati. OTT tersebut juga menghasilkan penyitaan uang tunai, valuta asing, serta puluhan kendaraan mewah. Ironisnya, Noel yang sebelumnya vokal mendorong hukuman mati bagi koruptor justru kini terjerat kasus serupa.

Data Laporan Tahunan KPK 2023 menunjukkan lebih dari 70% kasus korupsi di Indonesia terkait perizinan dan pengadaan barang/jasa. Dari izin tambang, hutan, migas, hingga usaha kecil—semuanya dapat diperjualbelikan. Sistem birokrasi yang berlapis dan sarat kepentingan politik telah menjadi lahan subur praktik rente.

Akar Masalah: Sekularisme yang Merusak

Mengapa korupsi sulit diberantas? Karena akarnya ada pada sistem sekuler yang kita anut. Dalam sistem demokrasi sekuler, kekuasaan dianggap sebagai sarana meraih keuntungan. Biaya politik yang tinggi mendorong pejabat untuk “mengembalikan modal” dengan memperjualbelikan kebijakan.

Kitab Ajhizah Dawlat al-Khilafah menggambarkan fenomena ini:

"وَإِنَّ الدِّيمُوقْرَاطِيَّةَ نَفْسَهَا تُنْتِجُ الْفَسَادَ، لِأَنَّهَا جَعَلَتِ السُّلْطَانَ وَالْمَنَاصِبَ وَسِيلَةً لِجَنْيِ الْمَنَافِعِ، فَتَحَوَّلَتِ الدَّوْلَةُ إِلَى مَصْدَرِ رِيعٍ لِلْمُتَسَلِّطِينَ."

“Sesungguhnya demokrasi itu sendiri melahirkan korupsi, karena ia menjadikan kekuasaan dan jabatan sebagai sarana meraih keuntungan, sehingga negara berubah menjadi sumber rente bagi para penguasa.”
(Ajhizah Dawlat al-Khilafah, Bab "Niẓām al-Ḥukm al-Islāmī", hlm. 21, Hizb ut-Tahrir, 2005).

 Allah SWT pun telah memperingatkan:

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ ٱللَّهُ فَأُو۟لَـٰٓئِكَ هُمُ ٱلْفَـٰسِقُونَ

“Barangsiapa tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang fasik.” (QS. Al-Māidah [5]:47).

Pandangan Islam: Korupsi adalah Dosa Besar

Islam tidak hanya memandang korupsi sebagai pelanggaran hukum, tetapi juga dosa besar yang berlapis:

1.      Ghulul (penggelapan harta negara):

وَمَن يَغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Barangsiapa berkhianat (menggelapkan harta rampasan), maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu.” (QS. Āli ‘Imrān [3]:161).

2.      Risywah (suap):

«لَعْنَةُ اللهِ عَلَى الرَّاشِي وَالْمُرْتَشِي»

“Laknat Allah atas penyuap dan penerima suap.” (HR. Abū Dāwud no. 3580, at-Tirmiżī no. 1337).

3.      Khiyānah (pengkhianatan amanah):

Rasulullah bersabda:

«إِذَا ضُيِّعَتِ الْأَمَانَةُ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ»

“Jika amanah disia-siakan, tunggulah kehancuran.” (HR. al-Bukhārī no. 6496).

Ibn Khaldun menegaskan dalam Muqaddimah:

"إِذَا فَسَدَ الْمَالُ فِي الدَّوْلَةِ فَسَدَتْ أَخْلَاقُ أَهْلِهَا، وَزَالَتْ دَوْلَتُهُمْ."

“Jika harta negara rusak, maka rusaklah akhlak rakyatnya, dan hancurlah negara itu.”
(Muqaddimah, Bab IV, hlm. 285, Dār al-Fikr, 2004).

Solusi Islam: Mencegah dari Hulu, Menindak Tegas di Hilir

Islam menghadirkan solusi komprehensif yang tidak hanya mengobati gejala, tetapi juga menutup jalan terjadinya korupsi.

1. Baitul Mal: Transparansi Keuangan Negara

"كُلُّ مَالٍ وَجَبَ عَلَى الْمُسْلِمِينَ أَوْ لِبَيْتِ مَالِ الْمُسْلِمِينَ فَإِنَّهُ يُوضَعُ فِي بَيْتِ الْمَالِ، وَيُصْرَفُ مِنْهُ عَلَى مَا أَوْجَبَهُ الشَّرْعُ."

“Setiap harta yang menjadi kewajiban atas kaum Muslimin atau milik Baitul Mal kaum Muslimin, maka harta itu harus ditempatkan di Baitul Mal, dan dibelanjakan sesuai dengan yang diwajibkan syara’.”
(Al-Amwāl fī Dawlat al-Khilāfah, Bab "Baitul Māl", hlm. 37-39, Dār al-Ummah, 2004).

2. Hisbah: Pengawasan Tanpa Kompromi

"وَيَنْبَغِي أَنْ يَكُونَ الْوَالِي أَمِينًا فِي أَمْوَالِ الْمُسْلِمِينَ، قَائِمًا عَلَيْهَا بِالْعَدْلِ."

“Seorang penguasa harus amanah terhadap harta kaum Muslimin dan menegakkannya dengan keadilan.”
(Al-Aḥkām as-Sulṭāniyyah, Bab "Ḥisbah", hlm. 233, Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah).

3. Sanksi Tegas dan Efektif

Hudud diterapkan untuk pencurian (QS. Al-Māidah [5]:38), dan ta‘zīr keras untuk pengkhianatan jabatan, bahkan hukuman mati jika membahayakan umat. Ibn Taymiyyah berkata:

"إِنَّ اللهَ يُقِيمُ الدَّوْلَةَ الْعَادِلَةَ وَإِنْ كَانَتْ كَافِرَةً، وَلاَ يُقِيمُ الظَّالِمَةَ وَإِنْ كَانَتْ مُسْلِمَةً."

“Sesungguhnya Allah menegakkan negara yang adil meskipun kafir, dan tidak menegakkan negara yang zalim sekalipun mengaku Muslim.”
(Al-Siyāsah as-Syar‘iyyah, Bab "al-‘Uqūbāt", hlm. 50, Dār al-‘Arabī).

Sejarah Bicara: Umar bin Khattab Ra.

Pada masa Khalifah Umar bin Khattab, seorang gubernur bernama Sa‘īd bin ‘Āmir dilaporkan memiliki harta berlebih. Umar segera memeriksanya, menyita harta yang tidak wajar, dan mengembalikannya ke Baitul Mal tanpa sidang panjang dan tanpa kompromi politik

Kesimpulan

Korupsi di negeri ini tak akan berhenti hanya dengan OTT sesaat. Selama sistem sekuler yang mahal dan transaksional dipertahankan, korupsi akan terus hidup dengan wajah baru. Islam menawarkan solusi menyeluruh: Baitul Mal yang transparan, Hisbah yang tegas, hukuman yang efektif, dan kepemimpinan yang amanah.

وَإِنْ حَكَمْتَ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِالْقِسْطِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

 “Apabila kamu memutuskan perkara di antara mereka, maka putuskanlah dengan adil. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang adil.” (QS. Al-Māidah [5]:42).

Kini, pilihan ada pada kita: terus menjadi penonton drama korupsi, atau memperjuangkan tegaknya solusi hakiki—Islam kaffah.  Wallahu Musta’an.




DAFTAR PUSTAKA

1.      KPK, Laporan Tahunan 2023.

2.      Detik NewsNoel Jadi Tersangka, Legislator Yakin Presiden Serius Berantas Korupsi

3.      Taqiyuddin an-Nabhani, Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam, Dār al-Ummah, 1953.

4.      Hizb ut-Tahrir, Ajhizah Dawlat al-Khilafah, Bab Niẓām al-Ḥukm al-Islāmī, hlm. 21, 2005.

5.      Al-Amwāl fī Dawlat al-Khilāfah, Bab Baitul Māl, hlm. 37-39, Dār al-Ummah, 2004.

6.      Imam Asy-Syafi’i, Al-Umm, Juz IV, hlm. 142, Dār al-Ma’rifah.

7.      Al-Mawardi, Al-Aḥkām as-Sulṭāniyyah, Bab Ḥisbah, hlm. 233, Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

8.      Ibn Taymiyyah, Al-Siyāsah as-Syar‘iyyah, Bab al-‘Uqūbāt, hlm. 50, Dār al-‘Arabī.

9.      Ibn Sa‘d, Ṭabaqāt al-Kubrā, Juz III, hlm. 280, Dār Ṣādir.

10.  Ibn Khaldun, Muqaddimah, Bab IV, hlm. 285, Dār al-Fikr, 2004.

Sabtu, 23 Agustus 2025

Guru, Brain Rot, dan Pendidikan yang Kehilangan Arah

 Oleh  :  Muhammad Fitrianto, S.Pd.Gr, Lc, M.A, M.Pd, C.ISP, C.LQ

Apakah kita siap menghadapi masa depan yang sudah mengetuk pintu? Pertanyaan itu dilontarkan Rektor UIN Antasari, Prof. Dr. H. Mujiburrahman, dalam Yudisium PPG Batch 2 Tahun 2024, 24 Juli lalu. Pertanyaan sederhana, tapi dampaknya mengguncang.

Era digital telah mengubah cara kita hidup, belajar, bahkan berpikir. Oxford Dictionary menobatkan “brain rot” sebagai Word of the Year 2024—kerusakan daya pikir akibat candu konten singkat. Survei Baylor University mengungkap 75% mahasiswa membuka ponsel sebagai aktivitas pertama setelah bangun. Kita hidup dalam banjir informasi, tapi tenggelam dalam dangkalnya pemahaman.

Di tengah situasi ini, peran guru menjadi krusial. Namun, apakah guru kita siap?

Pendidikan yang Tak Mengajarkan Berpikir

Sistem pendidikan kita masih terjebak pada hafalan dan angka. Nilai ujian dianggap segalanya, sementara kemampuan analitis—kemampuan berpikir kritis, logis, dan berbasis bukti—sering diabaikan. Bagaimana mungkin siswa bisa berpikir kritis jika guru jarang mengajarkan why, hanya what?

Rektor mengingatkan, guru harus menjadi jangkar di tengah arus deras informasi. Mereka harus mengajarkan murid mengendalikan teknologi, bukan dikendalikan olehnya. Ponsel, betapapun canggih, bisa menjadi berhala modern jika kita tunduk padanya—sebagaimana pesan Al-Qur’an (Asy-Syura:52).

Ketabahan yang Mulai Terkikis

Rektor juga menyinggung soal resilience—ketabahan. Peserta PPG telah membuktikan keteguhan hati menghadapi sinyal buruk, jarak tempuh jauh, dan beban tugas berat. Namun, ketabahan ini harus berlanjut di kelas.

Sayangnya, masih banyak guru yang lebih berperan sebagai pegawai daripada pendidik. Elizabeth Pisani pernah menyebut, sebagian guru di Indonesia hanya fokus pada gaji, lupa pengabdian. Fakta di lapangan membenarkannya: ada guru yang jarang hadir di kelas, ada yang sekadar menyerahkan LKS tanpa bimbingan.

Bagaimana kita bisa menumbuhkan generasi tangguh jika guru sendiri mudah menyerah?

Ranking yang Merusak Karakter

Budaya ranking juga tak luput dari kritik. Kita terbiasa menilai anak-anak hanya dari angka, seolah manusia bisa disederhanakan menjadi “peringkat 1” atau “peringkat 10”.

Rektor memberi contoh sekolah anaknya di Belanda yang tak mengenal ranking. Di sana, rapor berisi laporan perkembangan individu yang didiskusikan bersama orang tua. Pendekatan ini membentuk kolaborasi, bukan kompetisi yang saling menjatuhkan.

Bukankah sudah saatnya kita meninggalkan praktik yang melukai harga diri anak dan menggantinya dengan pendidikan yang menghargai proses?

Guru Agama dan Martabat yang Sering Terlupa

Pesan terakhir rektor tertuju pada guru agama: jadilah spiritual teacher, bukan sekadar penyampai materi. Tugas guru agama bukan hanya mengajarkan ayat, tapi menanamkan akhlak, menjadi teladan.

Ia pun menutup dengan peringatan keras: “Hiduplah bermartabat. Jangan terjebak gaya hidup yang lebih besar pasak daripada tiang. Guru yang pikirannya sibuk menutup utang akan sulit mengajar dengan hati.”

Pendidikan Indonesia berada di persimpangan. Kita bisa terus melahirkan generasi yang cerdas di layar tapi kosong di jiwa, atau berani berbenah dengan menjadikan guru sebagai ujung tombak perubahan.

Pertanyaannya: sudahkah kita, terutama para guru, siap menghadapi masa depan yang sedang mengetuk?



 

Kamis, 21 Agustus 2025

Yahya: "Bukan Sekadar Nabi, Tapi Simbol Perlawanan Terhadap Kezholiman”

 Oleh  : Muhammad Fitrianto, S.Pd.Gr, Lc, M.A, M.Pd. C.ISP, C.LQ

Di zaman ketika kebenaran bisa dibungkam dengan uang, dan keadilan bisa dibeli oleh kuasa, kisah seorang pemuda suci dari Bani Israil terasa menampar kesadaran kita. Namanya Yahya bin Zakaria, seorang nabi yang hidup ribuan tahun lalu, tapi nilai perjuangannya masih hidup—bahkan relevan—hingga kini.

Lahir dari Doa yang Mustahil

Nabi Yahya bukan sekadar lahir, ia adalah jawaban dari doa yang dianggap mustahil. Ayahnya, Nabi Zakaria, telah renta. Rambutnya memutih, tulangnya rapuh, namun hatinya tak pernah berhenti berharap:

 وَقَالَ رَبِّ إِنِّي وَهَنَ الْعَظْمُ مِنِّي وَاشْتَعَلَ الرَّأْسُ شَيْبًا وَلَمْ أَكُن بِدُعَائِكَ رَبِّ شَقِيًّا

“Ya Rabb, tulangku telah rapuh, rambutku memutih, namun aku tak pernah kecewa dengan doa kepada-Mu.” (Q.S. Maryam:4)

Allah mengabulkannya dengan sebuah mukjizat. Malaikat berkata:

 يَا زَكَرِيَّا إِنَّا نُبَشِّرُكَ بِغُلَامٍ اسْمُهُ يَحْيَى لَمْ نَجْعَل لَّهُ مِن قَبْلُ سَمِيًّا

“Wahai Zakaria, sesungguhnya Kami memberi kabar gembira kepadamu dengan kelahiran seorang anak bernama Yahya, yang sebelumnya belum pernah Kami berikan nama itu kepada seorang pun.” (Q.S. Maryam:7)

Dari awal hidupnya, Nabi Yahya sudah menjadi simbol: bahwa harapan tak boleh mati, bahkan ketika logika manusia mengatakan “tidak mungkin.”

Pemuda yang Tak Mau Diam

Ketika dewasa, Nabi Yahya menjadi suara kebenaran di tengah masyarakat yang larut dalam dosa. Hidupnya sederhana, pakaiannya kasar, tapi suaranya tajam. Allah menggambarkannya:

 يَا يَحْيَىٰ خُذِ الْكِتَابَ بِقُوَّةٍ وَآتَيْنَاهُ الْحُكْمَ صَبِيًّا • وَحَنَانًا مِّن لَّدُنَّا وَزَكَاةً وَكَانَ تَقِيًّا • وَبَرًّا بِوَالِدَيْهِ وَلَمْ يَكُن جَبَّارًا عَصِيًّا

“Wahai Yahya, ambillah Kitab (Taurat) itu dengan sungguh-sungguh. Kami berikan kepadanya hikmah sejak kecil, kasih sayang dari sisi Kami, kesucian, dan ia seorang yang bertakwa. Dan ia berbakti kepada kedua orang tuanya, bukan orang sombong lagi durhaka.” (Q.S. Maryam:12-14)

Ketika Raja Herodes hendak menikahi anak tirinya—pernikahan yang jelas dilarang agama—semua memilih diam. Nabi Yahya berdiri sendirian, berani berkata: “Itu haram di sisi Allah!” Kalimat itu menggetarkan istana. Dan seperti biasa, kekuasaan yang terusik akan melawan. Nabi Yahya dipenjara, difitnah, hingga akhirnya dipenggal kepalanya atas permintaan seorang perempuan yang haus nafsu dan seorang penguasa yang takut kehilangan wibawa.

Pesan untuk Kita Hari Ini

Apa yang bisa kita ambil dari kisah Nabi Yahya? Banyak. Tapi izinkan saya fokus pada satu: integritas. Di negeri ini, kita kerap menyaksikan orang yang tadinya lantang melawan korupsi, tapi diam begitu berada di lingkar kekuasaan. Kita melihat pemimpin yang lebih takut kehilangan jabatan daripada kehilangan kepercayaan rakyat.

Yahya mengajarkan, menjadi benar itu sering sendirian. Dan tak ada jaminan bahwa kebenaran akan menang secara duniawi. Tapi keberanian untuk tetap tegak itulah yang membuat manusia hidup mulia.

Allah mengabadikan kisahnya dengan salam abadi:

 وَسَلَامٌ عَلَيْهِ يَوْمَ وُلِدَ وَيَوْمَ يَمُوتُ وَيَوْمَ يُبْعَثُ حَيًّا

“Keselamatan atas dirinya pada hari ia dilahirkan, pada hari ia wafat, dan pada hari ia dibangkitkan kembali.” (Q.S. Maryam:15)

Salam itu bukan hanya untuk Nabi Yahya, tapi juga untuk siapa pun yang memilih jalan lurus, meski berisiko.

 Menjadi “Yahya” di Zaman Ini

Mungkin kita tak akan berhadapan dengan raja zalim. Tapi kita akan selalu berhadapan dengan pilihan: ikut arus atau melawan arus demi nilai.  Sosok Nabi Yahya mengingatkan kita bahwa keberanian bukanlah berteriak lantang saat ramai mendukung, tetapi tetap berkata “tidak” saat semua orang memilih diam. Dan itu, dalam banyak hal, adalah bentuk kemuliaan tertinggi.

 “Jadilah cahaya, meski sendirian dalam gelap.”



 

 

Makna Pendidikan yang Sebenarnya

Oleh  : Muhammad Fitrianto, S.Pd.Gr, Lc, M.A., M.Pd. C.ISP, C.LQ

Pendidikan bukanlah sekadar transfer ilmu di ruang kelas. Pendidikan adalah semua proses yang membentuk individu menjadi pribadi yang berakhlak mulia. Dengan kata lain, sekolah hanyalah salah satu tempat yang bisa menjadi wadah pendidikan, tetapi bukan satu-satunya. Bahkan, tak jarang, sekolah justru gagal menjalankan fungsi ini.

Saat ini, kita sering terjebak dalam dikotomi pendidikan agama dan pendidikan umum. Seolah-olah keduanya berjalan di jalur yang terpisah. Padahal, seharusnya ini diakhiri. Pendidikan yang ideal adalah pendidikan yang berlandaskan nilai-nilai agama, sehingga setiap ilmu yang dipelajari menjadi sarana untuk mengenal dan mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Esa, Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Ilmu Itu Tidak Netral

Ilmu pengetahuan sering dianggap netral, bebas nilai, dan hanya berlandaskan fakta. Namun, cara pandang ini keliru. Ilmu tidak pernah netral karena cara kita memahami sebuah fakta sangat dipengaruhi oleh pandangan hidup kita.

Ambil contoh sederhana, kita mengamati virus. Sains empiris bisa menjelaskan bagaimana virus menyebar dan menyebabkan penyakit. Namun, ia tidak bisa menjawab pertanyaan, "Mengapa virus itu datang?" atau "Apakah virus itu punya kehendak sendiri?"

Hanya ilmu yang berlandaskan wahyu yang bisa menjawabnya. Dalam pandangan Islam, virus, gempa bumi, atau bencana alam lainnya tidak datang begitu saja. Itu semua adalah kehendak Allah. Tujuannya bukan untuk merusak, melainkan untuk menegur, menguji, atau mengingatkan manusia agar kembali ke jalan yang benar. Dengan demikian, penanggulangan penyakit tidak hanya soal menemukan obat, tetapi juga tentang meningkatkan ketakwaan dan introspeksi diri. Ini membuktikan bahwa ilmu, apa pun jenisnya, tidak akan pernah netral.

Landasan Pendidikan dalam Konstitusi

Pemerintah sesungguhnya telah memiliki landasan kuat untuk membangun pendidikan yang ideal. Undang-Undang Dasar 1945 secara jelas menyebutkan bahwa negara kita didasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa. Pasal 31 Ayat 3 bahkan lebih spesifik lagi:

"Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa."

Ini adalah panduan yang sangat jelas. Pendidikan nasional kita harus berorientasi pada pembentukan karakter, bukan sekadar mengejar nilai akademis. Konsep ini sejalan dengan enam Profil Pelajar Pancasila: beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia, bernalar kritis, kreatif, mandiri, dan bergotong royong. 

Dalam konsep pembelajaran mendalam yang diinisiasi oleh Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah era sekarang disebut dengan 8 profil lulusan. Delapan dimensi tersebut adalah: keimanan dan ketakwaan, kewargaan, penalaran kritis, kreativitas, kolaborasi, kemandirian, kesehatan, dan komunikasi.

Namun, pertanyaan besarnya adalah, di mana contoh nyata dari sekolah pemerintah yang benar-benar menerapkan ini? Bukankah sudah saatnya pemerintah menciptakan satu sekolah model yang bisa menjadi percontohan?

Belajar dari Sejarah

Kita punya sejarah panjang dalam dunia pendidikan yang patut dibanggakan. Saat Indonesia masih dalam masa penjajahan, para ulama dan kiai mendirikan pondok pesantren dan madrasah tanpa bantuan pemerintah kolonial. Mereka gigih mendidik generasi yang tak hanya cerdas, tetapi juga berakhlak mulia dan menjadi pejuang tangguh.

Lihatlah Al-Irsyad, yang pada tahun 1913 sudah membangun sekolah dengan standar internasional, mendatangkan guru dari Mesir, Turki, dan Sudan. Sekolah ini melahirkan tokoh-tokoh besar seperti Mohammad Natsir. Mereka berhasil menjaga akidah dan semangat perjuangan masyarakat, meskipun berada di bawah tekanan penjajah.

Jika di masa lalu, dengan segala keterbatasan dan tantangan, para pendahulu kita bisa melahirkan generasi hebat, maka seharusnya saat ini, di mana pemerintah sudah sangat mendukung, kita bisa berbuat lebih baik. Bantuan, dana, dan fasilitas yang ada seharusnya menjadi modal untuk menciptakan sistem pendidikan yang benar-benar unggul, yang mampu melahirkan generasi yang tidak hanya pintar, tetapi juga adil, jujur, dan berakhlak mulia.

Tanggung jawab ini bukan hanya ada di pundak pemerintah, melainkan juga ada di setiap individu dan komunitas. Jika pemerintah belum bisa menyediakan model pendidikan ideal, maka kita sebagai masyarakatlah yang harus mengambil peran. Sebab, mendidik anak adalah kewajiban yang tak bisa ditawar, dan hasilnya akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah subhanahu wata’ala.

 



 

Generasi Muda Muslim di Pusaran Dunia Digital

Teknologi digital kini menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan generasi muda muslim. Riset We Are Social dan Data Reportal 2025 menunj...