Jumat, 17 April 2020

MERESTART ULANG KEHIDUPAN

*
Oleh  : Abu Afra
t.me/AbuAfraOfficial

Terkadang ada orang yang ketika awal hijrahnya begitu bersemangat.  Dimana-mana selalu ngomongin Islam, ngomongin dakwah.  Orang-orang disekitarnya pun merasakan pancaran semangatnya.

Namun berlalu waktu, semakin menghilang dari orbit dakwah.  Lalu sengaja menjauh dan mencari-cari alasan untuk tidak terlibat dalam perjuangan.

Dakwah tidak lagi menjadi prioritas.  Orientasinya telah berubah pada sesuatu yang lain.  Entah itu bisnisnya, hobinya atau pencapaian duniawiyah lainnya.  Entah sejak kapan dan mulai dimana awalnya.  Yang pasti tema pembicaraannya kini adalah dunia, dunia dan dunia saja.

Perlahan tapi pasti kecenderungan kepada jalan dakwah ini semakin menghilang.  Yang ada justru rasa kering dan hampa.  Amanah-amanah dakwah mulai dilalaikan.

Inilah musibah yang sebenarnya bagi seorang pengemban dakwah.  Ketika dia kehilangan maksud dan tujuan hidupnya.  Terlalaikan oleh dunia dan larut di dalamnya.

Perlahan tapi pasti seluruh kehidupannya juga berubah.  Keluarganya berubah, kesibukannya berubah, dan bahkan pergaulannya pun berubah. Semua mengerucut pada satu hal, yaitu menjauh dari orbit dakwah.

Teringat sebuah taujih dari seorang ulama kharismatik banua, Abah Guru Zuhdi.  Kata beliau, "mau sampai kapan kamu mengejar dunia?" sampai batas mana? biar saya tungguin sekalian".
"Apakah sampai seperti Qarun dan Hamman? Atau seperti Nabi Sulaiman? Atau seperti siapa yang kamu anggap paling sukses di dunia ini? Sampai batas mana? Supaya jelas harus ada batasnya.  Nanti kalo batasnya sudah terlampaui hayo kita belajar agama. Hayo berkomitmen untuk agama.  Tapi sampai kapan?  Sementara ajal semakin dekat dan dunia semakin rusak.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,

ذَرْهُمْ يَأْكُلُوا وَيَتَمَتَّعُوا وَيُلْهِهِمُ الْأَمَلُ ۖ فَسَوْفَ يَعْلَمُونَ

Artinya, “Biarkanlah mereka (di dunia ini) makan dan bersenang-senang dan dilalaikan oleh angan-angan (kosong), maka kelak mereka akan mengetahui (akibat perbuatan mereka).” (QS. Al-Hijr [15] ayat 3).

عَنْ عَبْدِاللَّهِ رَضِي اللَّه عَنْه قَالَ : خَطَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَطًّا مُرَبَّعًا وَخَطَّ خَطًّا فِي الْوَسَطِ خَارِجًا مِنْهُ وَخَطَّ خُطَطًا صِغَارًا إِلَى هَذَا الَّذِي فِي الْوَسَطِ مِنْ جَانِبِهِ الَّذِي فِي الْوَسَطِ وَقَالَ هَذَا الْإِنْسَانُ وَهَذَا أَجَلُهُ مُحِيطٌ بِهِ أَوْ قَدْ أَحَاطَ بِهِ وَهَذَا الَّذِي هُوَ خَارِجٌ أَمَلُهُ وَهَذِهِ الْخُطَطُ الصِّغَارُ الْأَعْرَاضُ فَإِنْ أَخْطَأَهُ هَذَا نَهَشَهُ هَذَا وَإِنْ أَخْطَأَهُ هَذَا نَهَشَهُ هَذَا (رواه البخاري)

Dari Abdullah (bin Mas’ud) radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam membuat gambar persegi empat, lalu menggambar garis panjang di tengah persegi empat tadi dan keluar melewati batas persegi itu. Kemudian beliau juga membuat garis-garis kecil di dalam persegi tadi, di sampingnya (persegi yang digambar Nabi). Dan beliau bersabda, “Ini adalah manusia, dan (persegi empat) ini adalah ajal yang mengelilinginya, dan garis (panjang) yang keluar ini, adalah angan-angannya. Dan garis-garis kecil ini adalah penghalang-penghalangnya. Jika tidak (terjebak) dengan (garis) yang ini, maka kena (garis) yang ini. Jika tidak kena (garis) yang itu, maka kena (garis) yang setelahnya. Jika tidak mengenai semua (penghalang) tadi, maka dia pasti tertimpa ketuarentaan.” (HR. Bukhari).

Ibnu Hajar menggambar beberapa gambar berbeda dalam menafsirkan gambar yang dibuat oleh Rasulullah SAW.

Dalam menilai gambar yang dibuat oleh Rasulullah tersebut ada perbedaan di kalangan ulama.

Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam mensyarahi hadits di atas, membuat beberapa gambar yang masing-masing berbeda.

Angan-angan manusia itu ada dua macam. Pertama, angan-angan yang bisa tercapai, yaitu yang ditunjuki oleh garis-garis yang berada di luar lingkaran yang sekaligus sebagai pembatas. Kedua, angan-angan yang tidak mungkin tercapai, yaitu yang ditunjuki oleh garis yang berada di luar lingkaran (kotak).

Dari keterangan di atas, maka dapat diambil pengertian bahwa manusia itu hidup didalam keterbatasan. Semua indera dan fungsi tubuhnya yang diberikan oleh Allah serba terbatas kemampuannya.

Namun, cita-cita dan angan-angan manusia itu jauh lebih panjang dari pada ajalnya. Sesuatu yang diangan-angankan itu biasanya tidak akan jauh dari yang namanya harta dan umur panjang. Sudah menjadi fitrahnya bahwa masing-masing manusia memiliki keinginan dan harapan yang selalu didamba-dambakan.

Dengan memiliki harta yang cukup, maka ia akan memikirkan untuk mempergunakannya, walaupun fisik dan mentalnya sudah lemah atau berkurang.

Hadits riwayat Ibnu Majah menyebutkan,

حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ مُعَاذٍ الضَّرِيرُ حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَهْرَمُ ابْنُ آدَمَ وَيَشِبُّ مِنْهُ اثْنَتَانِ الْحِرْصُ عَلَى الْمَالِ وَالْحِرْصُ عَلَى الْعُمُرِ

Telah menceritakan kepada kami Bisyr bin Mu’adz Ad Dlarir, telah menceritakan kepada kami Abu Awanah, dari Qatadah, dari Anas, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Anak Adam akan menua, namun ia masih tetap berjiwa muda dalam dua hal, yaitu rakus terhadap harta kekayaan dan umur yang panjang.”

Walaupun keinginan dan cita-cita seseorang itu telah tercapai, tapi tabiat manusia tidak akan merasa cukup dengan apa yang telah dimilikinya. Maka ia akan mencari dan mencari lagi harapan yang lain.

Pada umumnya, cita-cita dan kegemarannya terhadap harta dan umur panjang ini sampai melampaui batas hingga menjadi lupa dengan adanya kematian yang pasti tapi tidak bisa diduga kapan datangnya.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala memperingatkan manusia di dalam firman-Nya,

أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ

حَتَّىٰ زُرْتُمُ الْمَقَابِرَ

Artinya, “Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai (kamu) masuk ke dalam kubur.” (QS. At-Takatsur [102] ayat 1-2).

Dalam hadits riwayat Muslim dijelaskan,

و حَدَّثَنِي حَرْمَلَةُ بْنُ يَحْيَى أَخْبَرَنَا ابْنُ وَهْبٍ أَخْبَرَنِي يُونُسُ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ لَوْ كَانَ لِابْنِ آدَمَ وَادٍ مِنْ ذَهَبٍ أَحَبَّ أَنَّ لَهُ وَادِيًا آخَرَ وَلَنْ يَمْلَأَ فَاهُ إِلَّا التُّرَابُ وَاللَّهُ يَتُوبُ عَلَى مَنْ تَابَ

Telah menceritakan kepadaku Harmalah bin Yahya, telah mengabarkan kepada kami Ibnu Wahb, telah mengabarkan kepadaku Yunus, dari Ibnu Syihab, dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, beliau bersabda, “Andai kata anak Adam itu memiliki emas satu lembah, niscaya ingin memiliki satu lembah lagi. Tidak ada yang dapat mengisi mulut (hawa nafsu)-nya melainkan tanah (maut). Dan Allah menerima taubat siapa saja yang bertaubat kepada-Nya.”

Oleh karenanya, betapa pun tingginya angan-angan manusia terhadap harta dan kesenangan dunia, namun jangan sekali-kali melupakan satu hal yang pasti, yakni mati.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,

كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ ۗ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ۖ فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ ۗ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ

Artinya, “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barang siapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” (QS. Ali Imran [3] ayat 185).

Maka penting bagi kita untuk senantiasa mengingat-ingat kembali tentang uqdatul kubra.  Dari mana kita berasal, untuk apa kita hidup? dan kemana kita setelah kehidupan ini berakhir?

Tidak kah kita sadar, bahwa kematian itu begitu dekat sementara angan-angan kosong kita tentang dunia ini terus saja melalaikan kita?

_Renungkanlah!_

Sabtu, 28 Maret 2020

MUHASABAH DI TENGAH WABAH


*Oleh : Abu Afra*
_t.me/AbuAfraOfficial_

Hari ini banyak wajah tertunduk lesu.  Perasaan sedih menggelayuti setiap qalbu orang yang beriman.  Tidak pernah terbayangkan sebelumnya, aktifitas ibadah berjamaah terhenti dan ditiadakan.

Semua bermuara pada satu sebab saja.  Persebaran virus berbahaya yang begitu masifnya.  Corona alias covid-19 telah mampu menjadi momok yang begitu ditakuti manusia sedunia.

 Allah berfirman di dalam Al Qur'an surat Ar Rum ayat 41 :

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, agar mereka merasakan sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).

Makhluk kecil yang tidak kasat mata ini lahir dari kerakusan sebagian manusia. Kini ia mampu merontokkan banyak perekonomian negara-negara adidaya.

Inilah ketika Allah telah berkehendak.  Fasad akan menimpa siapa saja diantara kita.  Ketika tindakan menyalahi aturan Tuhan tidak lagi dihiraukan.

Kita ingat pertama kali wabah ini muncul di Wuhan.  Sebuah kota maju di negeri para Taipan.  Bermula dari kebiasaan aneh penduduk Wuhan yang hobi mengkonsumsi sajian yang tidak lazim bagi kebanyakan orang.

Namun kemudian menyebar ke seluruh penjuru alam.  Bahkan ke negeri-negeri Islam.  Tempat-tempat ibadah kian menjadi sepi dan tak bertuan.  Fatwa Ulama se dunia pun menjadi sandaran.

Dari sini kita mulai sadar bahwa keburukan itu jika dibiarkan, maka ia akan menyebar dan menimpa siapa saja diantara kita tanpa sadar.

Adakah kita lupa? saat semua ini begitu mudahnya kita lakukan.  Kita begitu lalainya dan menyepelekan.  Diajak shalat berjamaah begitu malasnya.  Ikut kajian senantiasa mangkir dengan berbagai alasan.

Kini di saat semua pintu-pintu kebaikan bersama orang banyak itu tertutup.  Kita hadir dengan suara nyinyir bak pahlawan.  Seolah lebih alim dari para cendekiawan.  Oh ironisnya kawan.

Tidak kah kita malu saat kita menentang fatwa Ulama.  Menuding mereka dengan tuduhan hubbuddunya.  Seolah kita merasa lebih alim dan lebih sholeh dari mereka.

Sementara di hari-hari normal kita seakan tidak pernah peduli dengan yang namanya amal.  Kita lebih suka pergi ke Mall-Mall dibandingkan mengunjungi Mesjid dan Rumah Allah yang pintunya tak pernah di portal.

Ah sudahlah, nikmat itu akan begitu terasa saat ia sudah tiada.  Semoga nikmat berjama'ah, bersilah ukhuwah tidak dicabut selamanya dari kita.

Bagaimanapun Allah masih memberi kehidupan kepada kita.  Walaupun mungkin kehidupan sosial dan rasa aman telah tercerabut dari kita.  Tetaplah kita harus mensyukurinya.

Ingatkah kita saat saudara-saudara kita di Uighur mengalami hal yang sama.  Kita seolah tuli dan buta.  Menganggap itu hal biasa karena jauhnya jarak terpaut antara kita dengan mereka

Kini apa yang mereka alami sebagiannya sudah mulai kita rasakan.  Mesjid dan musholah mulai sulit kita akses.  Tempat-tempat keramaian walaupun bentuknya kebaikan mulai susah kita temukan.  Banyak majelis ilmu yang harus tutup.

Tidak kah ini mampu membuka mata hati kita.  Bahwa dulu sedikit sekali rasa syukur kita.  Saat kita diberi kemudahan untuk saling berkunjung.  Waktu kita malah habis di dalam ruang sempit dengan gadget kesayangan.

Kini saat semuanya harus _stay at home_.  Kita seakan berontak dan tidak terima.  Menyerang fatwa Ulama, menganggap remeh peran saudara-saudari kita tenaga medis yang tengah berjuang di garda terdepan.  Sungguh aneh bukan?

Saya teringat dengan sebuah pepatah Arab yang berbunyi,

*مَا يَبْلُغُ الْاَعْدَاءُ مِنْ جَاهِلِ, مَا يَبْلُغُ الْجَاهِلُ مِنْ نَفْسِهِ*

```"Musuh tidak dapat membinasakan orang bodoh, seperti orang bodoh membinasakan dirinya sendiri".```

Anjuran berdiam diri di rumah, _sosial distancing_ dan sebagainya dianggap angin lalu.  Seolah mereka paling paham tentang keselamatan dan kesehatan dibandingkan para ahli.

Demi alasan _egoisme_ diri seakan fatwa tak berarti.  Demi _euforia surgawi_ yang sifatnya pribadi, segala himbauan dianggap ajakan takut mati.

Inilah dunia saat ini, semua serba kebolak-balik.  Yang benar disalahkan dan yang salah dibenarkan.  Menjadi orang benar hari ini harus banyak bersabar.

Kadang bisa saja dianggap dungu oleh kalangan awam.  Bisa juga dianggap jelek oleh orang kebanyakan.  Karena pola pikir itu bergantung pada tingkat pengetahuan.  Jadi wajar beda sikap selama beda isi kepala.

Di tengah kondisi seperti ini sudah saatnya kita kembali.  Bertafakur menghisab diri.  Seberapa besar dosa dan kesalahan yang telah dilakukan.  Akankah amal kita telah cukup jika harus menghadap Sang Pencipta?

Kita tidak pernah tahu kapankah nikmat hidup ini tetap bersama kita.  Yang pasti dengan kondisi saat ini, setiap diri bisa saja saling mendahului menuju ajal diri.

Tetap waspada dan hati-hati.  Jangan _overpede_ apalagi _sok kebangetan_ tidak takut mati.  Karena ini bukan karakter orang beriman yang imannya bener. 

Ikhtiar jaga diri dan keluarga dengan mengikuti arahan para Ahli.  Tawakal tetap terpatri di dalam hati.  Insya Allah kita semuanya di selamatkan dari segala bala dan wabah ini.  Jangan kasih kendor dalam ketaatan.  Pastikan apapun kondisinya kita tetap dalam rel ketaatan.

_Tetap istiqomah berjuang demi tegaknya Islam._

_Allahumma Amiin_

Jumat, 13 Maret 2020

MENIKAH ITU IBADAH, MAKA JALANI SESUAI SUNNAH


*Oleh : Abu Afra*
_t.me/AbuAfraOfficial_

Beberapa waktu yang lalu saya berdiskusi dengan seorang teman terkait masalah pernikahan.  Kebetulan waktu itu kami bertemu dalam satu forum dadakan.

Awalnya sekedar candaan ringan, namun kemudian berlanjut pada tahapan lebih serius dan menegangkan.  Pasalnya mulai mengungkap alasan kegagalan proses pernikahan sang kawan.

Rupanya beliau sudah tiga kali gagal dalam masa yang berdekatan.  Kegagalan pertama karena sang wali berat hati jika putrinya di bawa jauh ke luar pulau untuk ikut calon suami.

Kemudian kegagalan yang kedua, karena sang wali tersinggung setelah terungkap si kawan tadi pernah ta'aruf dengan akhwat lainnya.

Lanjut yang ketiga gagal lagi disebabkan keluarganya punya prinsip yang kokoh agar si kawan ini satu manhaj dengan mereka.

Secara garis besar dan sekilias mata memandang, batu sandungannya ada di keluarga mempelai akhwat.  Tapi setelah ditelisik lagi rupanya kesimpulan itu kurang tepat juga adanya.

Atas pengakuan yang bersangkutan, rupanya masih ada syubhat terkait motivasi dan obsesi dalam pernikahan.  Terutama sekali dalam hal kriteria calon pasangan.

Bagi doi agama itu nomor sekian setelah kecantikan.  Dengan alasan kalau kecantikan tidak sesuai harapan bagaimana bisa tentram?

Disinilah rupanya kekeliruan pertama dalam proses menuju biduk berumah tangga.  Selanjutnya ditambah lagi dengan kurang optimalnya peran perantara alias makcomblang pernikahan ketika menemui hambatan-hambatan.

Kecantikan itu memang menjadi salah satu pertimbangan yang disyariatkan dalam memilih pasangan.  Namun ia bukanlah ukuran paling pokok dan utama dalam menentukan pilihan.

Karena kecantikan itu relatif sifatnya.  Bagi mereka yang sudah menikah tentu sangat memahami mengenai hal ini.  Bagi yang belum memang kadang ada kebimbangan besar terkait masalah kecantikan fisik.

Seandainya mereka yang masih mengutamakan kecantikan sebagai standar utama pernikahan mau berpikir.  Maka dia akan menemukan secara pasti bahwa kecantikan fisik itu bukanlah tujuan dan penjamin kebahagiaan.

Lihat saja contoh fakta yang paling nyata.  Para artis papan atas, para selebritis itu kurang cantik apa lagi.  Mereka bak para bidadari surga.  Paras menawan, penampilan menarik perhatian semua orang.

Tapi apakah kemudian bisa menjamin rumah tangganya bahagia? Tidak sama sekali.  Bahkan angka perceraian sangat tinggi terjadi pada kalangan artis atau publik figur.

Mengapa hal itu bisa terjadi? karena sejatinya mendapatkan pasangan yang cantik secara fisik itu bukanlah tujuan.  Maka apabila ini dijadikan tujuan, kekecewaan demi kekecewaan akan datang pasca pernikahan.

Pernikahan bukanlah ikatan sementara sebagaimana pacaran.  Dimana yang terlihat hanya sisi baik dan menariknya saja dari masing-masing pasangan.  Ketika pernikahan terjadi semua akan terungkap secara terang benderang.

Karakter asli masing-masing akan dikenali secara pasti.  Karena ikatan ini meniscayakan pertemuan dalam segala kondisi.  Segala aib dan kecacatan akan terlihat.  Kekurangan diri juga akan tampak tanpa bisa ditutupi lagi.

Kita akan bertemu dengan pasangan kita bukan hanya pada saat dia berdandan saja.  Tetapi juga ketika dia baru terbangun dari tidurnya.  Saat kondisinya masih kusut tanpa polesan bedak atau make up yang kadang menipu mata.

Jika kecantikan yang menjadi alasan kita membangun sebuah pernikahan.  Maka bersiaplah untuk terus menerus dalam kekecewaan dan ketidakpuasan.

Untuk itulah seorang pemuda yang ingin menikah harus menyadari apa sebenarnya yang seharusnya dia cari dalam pernikahan.

Pernikahan bukanlah jalan pintas untuk menyalurkan syahwat kelaki-lakian.  Bukan pula ajang untuk gengsi-gengsian.  Berbangga-bangga di depan manusia atas kelebihan pasangan.

Pernikahan adalah ikatan yang suci sebagai penanda ketaatan kepada seruan Ilahi.  Bukti kongkrit atas klaim kecintaan kepada sunnah Nabi.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

النِّكَاحُ من سُنَّتِي فمَنْ لمْ يَعْمَلْ بِسُنَّتِي فَليسَ مِنِّي ، و تَزَوَّجُوا ؛ فإني مُكَاثِرٌ بِكُمُ الأُمَمَ

“Menikah adalah sunnahku, barangsiapa yang tidak mengamalkan sunnahku, bukan bagian dariku. Maka menikahlah kalian, karena aku bangga dengan banyaknya umatku (di hari kiamat) (HR. Ibnu Majah no. 1846, dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah no. 2383).

Menikah adalah satu bentuk ibadah yang memiliki durasi waktu terlama.  Maka karena ini ibadah, mestinya yang menjadi standar dalam menjalaninya adalah syariat agama.

Sebagaimana yang sudah kita pahami bersama bahwa syarat diterimanya ibadah itu setidaknya ada dua.  Niat yang benar dan cara yang bersesuaian dengan syariat.

Maka dalam hal pernikahan, seharusnya niat, obsesi, keinginan, standar dalam memutuskan atau cara memilih pasangan semuanya harus disandarkan pada hukum syara.  Bukan kepada hawa nafsu belaka.

Kita diperintahkan untuk menundukkan hawa nafsu kita demi mengikuti ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dalam hadits dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يَكُوْنَ هَوَاهُ تَبَعًا لِمَا جِئْتُ بِهِ

“Tidaklah beriman salah seorang di antara kalian sampai ia menundukkan hawa nafsunya untuk tunduk pada ajaran yang aku bawa.” (Diriwayatkan dalam kitab Al-Hujjah dengan sanad yang shahih menurut Imam Nawawi)

Hawa nafsu kita secara umum pastilah menghendaki kecantikan fisik yang sempurna.  Bahkan kadang di atas rata-rata. Tapi ketahuilah standar kecantikan yang berlebihan kadang menjadikan sebagian orang terlambat dalam mendapatkan jodohnya.

Al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لأَرْبَعٍ: لِمَـالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَالِهَا وَلِدِيْنِهَا، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ.

“Wanita dinikahi karena empat perkara; karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan agamanya; maka pilihlah wanita yang taat beragama, niscaya engkau beruntung.”

Kecantikan bukan berarti tidak penting.  Hanya saja perkara ini bukanlah sesuatu yang prinsip dalam hal memilih pasangan.

Bahkan beberapa salaf ada yang justru tidak menyenangi menikahi wanita yang terlalu cantik. Sebagai contoh diantaranya, Imam al-Munāwi berkata, “Salaf membenci wanita yang terlalu cantik karena hal itu (dapat) menimbulkan sikap kesewenangan pada diri wanita, yang akhirnya mengantarkannya kepada sikap perendahan sang pria.”[Faidhu'l Qadīr vol. III, hal. 271.]

Ada hadits yang menunjukan larangan menikahi wanita karena motivasi selain agama. Dari Abdu’Llah Ibn `Amr, Nabi ` bersabda

لاَ تُنكِحوا النساءَ لِحُسْنِهن فَلَعَلَّهُ يُرْدِيْهِنَّ، ولا لِمَالِهِنَّ فَلَعَلَّهُ يُطْغِيْهِنَّ وانكحوهن للدين. وَلَأَمَةٌ سوداء خَرْمَاءُ ذاتُ دِينٍ أَفْضَلُ

“Janganlah kalian menikahi para wanita karena kecantikan. Sebab bisa jadi kecantikan menjerumuskan mereka dalam kebinasaan. Dan janganlah kalian menikahi para wanita karena harta, karena bisa jadi harta menjadikan mereka berbuat hal-hal yang melampaui batas. Namun nikahilah para wanita karena agama mereka. Sesungguhnya seorang budak wanita yang hitam dan terpotong sebagian hidungnya dan dengan telinga yang berlubang namun agamanya baik itu lebih baik (untuk dinikahi).” [Riwayat Ibn Mājah, al-Bazzār dan al-Baihaqi.]

Menikahlah demi ibadah.  Berharap keberkahan dari proses menujunya maupun saat menjalaninya.  Syariat sebagai panduan agar selamat sampai tujuan.  Bukan hawa nafsu yang didahulukan.

Kecantikan bukan ukuran, dia bisa memudar dimakan masa dan penuaan.  Sementara ikatan pernikahan adalah jalan panjang menuju ridha Tuhan.  Perlu ikhlas dan kesabaran terhadap kekurangan pasangan.

Cantik menurut kita saat ini boleh jadi tidak cantik lagi di masa yang lain.  Cantik menurut kita, tapi boleh jadi biasa saja atau tidak cantik menurut orang lain.  Maka cukuplah ukuran kecantikan itu ketika kita merasa tentram dengan melihatnya.

Selanjutnya biarlah akhlak dan kesholehan sebagai pemutus paling utama dalam memilih pasangan sehidup sesurga.  Karena inilah jalan para pecinta yang diwariskan Al Mushtofa Sayyidina wa Maulana Muhammad SAW.

Semoga kita termasuk ummat baginda Nabi yang diakuinya berkat kesungguhan kita mengikuti sunnah-sunnahnya.

Terakhir sebagai bisyarah bagi para pemuda.  Kami nukilkan sebuah hadits yang mulia,

ثَلاَثَةٌ حَقٌّ عَلَى اللهِ عَوْنُهُمْ الْمُجَاهِدُ فِي سَبِيلِ اللهِ وَالمُكَاتَبُ الَّذِي يُرِيدُ الأَدَاءَ وَالنَّاكِحُ الَّذِي يُرِيدُ العَفَافَ

“Ada tiga orang yang Allah wajibkan atas diri-Nya untuk menolong mereka, Orang yang berjihad di jalan Allah, Budak yang memiliki perjanjian yang berniat memenuhi perjanjiannya, dan orang yang menikah dengan niat menjaga kesucian diri dari perzinahan.” [HR. At-Tirmidzi dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Shahihul Jami’: 3050]

Yakin saja, jika motivasi menikahnya sudah benar sesuai sunnah.  Insya Allah pasti dipermudah.  Nikah karena ibadah pasti berkah berlimpah.

*Barakallahufiikum*

Rabu, 11 Maret 2020

BENTUK-BENTUK KEYAKINAN PENYEBAB KEMURTADAN


*Oleh : Abu Afra*
_t.me/AbuAfraOfficial_

Di dalam kitab *_Sulamut Taufik ila mahabbatillahi 'alat tahqiq_* yang dikarang oleh *Asy Syaikh Al Habib Abdullah bin Husein bin Thohir* disebutkan bahwa, setiap orang Islam itu wajib memelihara dan menjaga keislamannya.

Jangan sampai ada sesuatu yang dapat merusak atau membatalkan keislamannya. Karena jika itu terjadi maka menjadi murtad lah ia. 

Pada zaman ini banyak orang yang sembrono dalam berkata-kata.  Sehingga apa yang diucapkan terkadang tanpa sadar telah mengeluarkannya dari Islam.

Sementara yang bersangkutan kadang merasa tidak bersalah sama sekali.  Hal ini terjadi karena kebodohannya sendiri atau karena keteledoran dalam menjaga lisannya.

Dalam kitab tersebut dikatakan bahwa perbuatan murtad itu setidaknya terbagi menjadi tiga bagian.

1. Berupa keyakinan-keyakinan ( di hati).
2. Beruapa perbuatan anggota badan.
3. Berupa ucapan-ucapan.

Sementara itu masing-masing bagian tersebut memiliki cabang yang banyak pula perinciannya.

Diantara bentuk keyakinan yang bisa menyebabkan seseorang jatuh kepada kemurtadan adalah bimbang atau ragu kepada Allah, Rasulullah, Hari Kiamat, Surga, Neraka, pahala dan siksa.  Atau terhadap perkara ijma.

Beranggapan bahwa Allah memiliki sifat yang sebenarnya sifat itu mustahil dimiliki oleh Allah SWT secara ijma.  Misalnya berkeyakinan Allah itu berbentuk fisik seperti makhluk.

Menghalalkan yang haram atau sebaliknya. Mewajibkan yang tidak wajib.  Atau meniadakan ibadah yang sudah disyariatkan oleh agama Islam yang mulia.

Merencanakan kekufuran, mengingkari kerasulan salah satu diantara para rasul. Mengingkari satu huruf dari Al Qur'an atau menambahnya.

Mendustakan atau meremehkan para rasul.  Merendahkannya atau menganggap akan ada lagi Nabi setelah Nabi Muhammad SAW.

Demikianlah beberapa bentuk keyakinan yang bisa menjatuhkan seseorang pada kemurtadan.

_Semoga Allah melindungi kita dari segala bentuk keyakinan yang menyebabkan jatuhnya kita pada kemurtadan. Aamiin._

Selasa, 10 Maret 2020

KEMATIAN ITU KARENA AJAL BUKAN KARENA YANG LAIN


*Oleh : Abu Afra*
_t.me/AbuAfraOfficial_

Allah SWT berfirman :

*وَلِكُلِّ اُمَّةٍ اَجَلٌۚ فَاِذَا جَاۤءَ اَجَلُهُمْ لَا يَسْتَأْخِرُوْنَ سَاعَةً وَّلَا يَسْتَقْدِمُوْنَ*

_Dan setiap umat mempunyai ajal (batas waktu). Apabila ajalnya tiba, mereka tidak dapat meminta penundaan atau percepatan sesaat pun_. *(QS. Al A'raf : 34)*

*وَعَنْ أََنَس رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : خَطَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خُطُوطاً فَقَالَ :*

*هَذَا الإِنْسَانُ وَهَذَا أَجَلُهُ . فَبَيْنَمَا هُوَ كَذَلِكَ إِِذْ جَاءَ الخَطُّ الأَقْرَبُ*

*رَوَاهُ البُخَارِيّ.*

```Dari Anas ra. berkata: Nabi saw. menggariskan beberapa garis, lalu beliau bersabda:
Ini adalah angan-angan manusia sedang ini adalah ajalnya. Ketika ia sedang berusaha untuk mendapatkan angan-angannya, tiba-tiba datanglah garis yang lebih dekat, yaitu ajalnya.```
*(HR al-Bukhari)*

Saat ini banyak orang yang lupa dengan perkara ini.  Apalagi dengan adanya wabah virus corona.

Seolah-olah hal itu adalah penyebab kematian yang paling ditakuti.  Padahal menurut para peneliti  jika antara lima dan 40 kasus virus corona dalam setiap 1.000 kasusnya akan berakhir pada kematian, dengan perkiraan terbaik menyebut sembilan dari 1.000 atau sekitar 1% kasus saja.

Sementara kematian karena ajal itu telah ittifaq para Ahli ilmu menempati urutan nomor wahid dengan persentase kemungkinan 100%.

Jadi kesimpulannya, dimanapun kita berada kematian akan mendatangi kita.  Tidak ada yang perlu ditakuti.

Yang justru seharusnya kita takuti itu adalah terkait perbekalan setelah kematian.  Apakah telah memadai atau belum sama sekali.

Maka beramal dengan serius dan sungguh-sungguh adalah cara cerdas untuk menyiapkan masa kematian menjelang.

Ketika kita sholat misalkan.  Maka laksanakanlah sholat seperti tidak akan ada lagi sholat setelahnya.


*صلوا صلاة مودع*

_Sholatlah kalian seperti sholat yang terakhir kalinya._

Demikian pula dengan amal yang lainnya.  Selama untuk amal ibadah ingatlah bahwa boleh jadi itu adalah amal yang terakhir kalinya.

_Dengan demikian diharapkan amal kita berkualitas semuanya._

*Wallahu musta'an*

Senin, 09 Maret 2020

TANDA-TANDA DOSA MANUSIA


Malam ini al faqir kembali mengisi kajian hadits di kelas XI Ma'had Ar Rahman Banjarbaru.  Adapun materi yang kami sampaikan adalah sesuai dengan urutan kurikulum yang telah direncanakan. 

Masuklah al faqir kepada pembahasan hadits ke-27 di kitab Al Arba'un An Nawawiyyah.  Al faqir merujuk pada kitab Al Wafi yang ditulis oleh Syekh Dr. Musthafa Dieb Al Bugha Muhyidin Mistu.

*الحَدِيْثُ السَّابِعُ وَالعِشْرُوْنَ*

*عَنِ النَّواسِ بنِ سَمعانِ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – ، عَنِ النَّبيِّ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ، قَالَ : (( البِرُّ حُسْنُ الخُلُقِ ، والإثْمُ : ما حَاكَ في نَفْسِكَ ، وكَرِهْتَ أنْ يَطَّلِعَ عليهِ النَّاسُ )) . رواهُ مسلمٌ*

*وَعَنْ وَابِصَةَ بْنِ مَعْبَدٍ قَالَ : أَتَيْتُ رَسُولَ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ، فَقَالَ : (( جِئْتَ تَسْأَلُ عَنِ البِرِّ وَالإِثْمِ ؟ )) قُلْتُ : نعَمْ ، قَالَ : (( اِسْتَفْتِ قَلْبَكَ ، الِبرُّ مَا اطْمَأَنَّتْ إِلَيْهِ النَّفْسُ ، وَاطْمَأَنَّ إِلَيْهِ القَلْبُ ، وَالإِثْمُ مَا حَاكَ فِي النَّفْسِ ، وَتَردَّدَ فِي الصَّدْرِ ، وَإِنْ أَفْتَاكَ النَّاسُ وَأَفْتَوْكَ ))حَدِيْثٌ حَسَنٌ رَوَيْنَاهُ فِي ” مُسْنَدَي ” الإِمَامَيْنِ أَحْمَدَ وَالدَّارميِّ بِإسْنَادٍ حَسَنٍ*

*Hadits Kedua Puluh Tujuh*

```Dari An-Nawwas bin Sam’an radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Al-birr adalah husnul khuluq (akhlak yang baik). Sedangkan al-itsm adalah apa yang menggelisahkan dalam dirimu. Engkau tidak suka jika hal itu nampak di hadapan orang lain.”``` *(HR. Muslim) [HR. Muslim, no. 2553]*

```Dari Wabishah bin Ma’bad radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau bersabda, ‘Apakah engkau datang untuk bertanya tentang kebajikan dan dosa?’ Aku menjawab, ‘Ya.’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Mintalah fatwa kepada hatimu. Kebajikan itu adalah apa saja yang jiwa merasa tenang dengannya dan hati merasa tentram kepadanya, sedangkan dosa itu adalah apa saja yang mengganjal dalam hatimu dan membuatmu ragu, meskipun manusia memberi fatwa kepadamu.’” (Hadits hasan. Kami meriwayatkannya dalam dua kitab Musnad dua orang imam: Ahmad bin Hambal dan Ad-Darimi dengan sanad Hasan.```

Dari hadits tersebut kita mendapatkan pengetahuan yang sangat berharga.  Karena ternyata dosa dan kebaikan itu memiliki tanda-tanda yang dapat di indera.

Setidakmya ada dua tanda yang disebutkan mengenai sebuah dosa.  Yang pertama tanda yang sifatnya di dalam yaitu rasa tidak tenang atau kegelisahan.

Sementara tanda yang kedua adalah perasaan tidak senang apabila dilihat atau diketahui oleh orang lain.

Adapun tanda kebaikan itu adalah ketenangan hati dan ketentraman jiwa bagi yang mengerjakannya.

Namun yang harus diingat ini bukan satu-satunya tanda, melainkan salah satunya saja.  Disamping ini tentu masih ada lagi tanda lainnya.

Hanya saja dengan mengetahui tanda sederhana ini, diharapkan kita akan lebih mudah mendeteksi secara dini dosa-dosa yang kita lakukan.  Sebelum akhirnya membesar dan menjadi kebiasaan yang susah dihilangkan.

_Semoga Allah Menunjuki kita selalu kepada ketaatan dan menjauhkan kita dari segala dosa dan kemaksiatan. Aamiin._

Sabtu, 07 Maret 2020

BIJAKLAH BERSOSIAL MEDIA


*Oleh : Abu Afra*
_t.me/AbuAfraOfficial_

Ada yang bilang jangan kebanyakan bergelut di dunia maya.  Dunia maya itu kebanyakan hoax saja isinya.  Kalau pun benar biasanya adalah framing media saja atas realitas yang ada.

Jadi, sulit sekali mencari informasi yang valid dan berimbang dalam dunia maya.  Orang yang terlalu banyak menghabiskan waktu di dunia maya cenderung sesat pikir katanya.

Mungkin anggapan itu ada benarnya.  Tapi memang tidak bisa dipungkiri mayoritas orang saat ini lebih banyak menghabiskan waktu mereka di dunia maya.  Ini fakta yang tidak bisa dipungkiri.

Fakta ini didukung banyak riset dan survey yang dilakukan oleh berbagai lembaga riset dan survey yang ada.  Oleh sebab itu menutup diri sama sekali dari dunia maya tentu bukanlah tindakan bijak.

Kenyataan bahwa mayoritas waktu orang zaman now dihabiskan di internet adalah fakta yang harus disikapi secara benar.  Dalam kacamata dakwah ini adalah potensi yang amat besar.

Secara sederhana dakwah bisa dilakukan kapan saja melalui media maya.  Kita bisa berdayakan akun-akun sosmed yang ada demi kepentingan edukasi dakwah.  Dan ini sudah mulai dilirik serta diambil oleh sebagian kaum muslimin yang menyadarinya.

Dakwah secara langsung melalui lisan adalah pilihan terbaik.  Namun dakwah melalui sosial media juga tidak kalah menarik.

Berapa banyak mereka yang tertunjuki kepada Islam gara-gara membaca sebuah tulisan di sosial media.  Atau ketika menonton sebuah video pendek di Instagram, youtube atau media lainnya.

Hidayah bisa datang kapan saja dan dimana saja.  Maka siapapun berpeluang untuk ngalap berkah sebagai wasilah hidayah.

Mungkin tulisan kecil kita yang mengajak kepada Islam membuka pikiran orang untuk berbuat satu kebaikan.  Atau setidaknya mencegah mereka dari berbuat keburukan.  Bukankah hal ini sebuah keberuntungan?

Boleh jadi melalui video kreatif yang kita buat, ada beberapa orang yang tergerak menjadi lebih taat.  Ini pun sebuah amal yang dahsyat jika dilakukan dengan ikhlas tanpa cacat.

Kita seringkali berhitung dalam beramal.  Seolah kita paling tahu ini amal yang besar dan yang itu amal yang kecil.  Padahal Rasul SAW telah mewanti-wanti jangan pernah remehkan amal apapun sekalipun kelihatan kecil.

عن أَبي ذرٍّ  قَالَ: قَالَ لي رسولُ الله ﷺ: لا تَحقِرَنَّ مِنَ المَعْرُوف شَيْئًا، وَلَو أنْ تَلقَى أخَاكَ بوجهٍ طليقٍ
( رواه مسلم)

Janganlah   engkau   meremehkan perbuatan baik sedikitpun meski engkau menemui saudaramu dengan wajah yang ceria.” (H.R. MUSLIM).

Seorang arif pernah menyampaikan, hati-hati dengan surga yang di dahulukan.  Maksudnya gimana?

Misalnya kita ini sangat getol berjuang untuk dakwah, sangat semangat ngaji ilmunya, sangat kuat ibadahnya.  Lalu berkat itu semua kita dimuliakan manusia.

Hati-hati inilah surga yang di dahulukan.  Jika kurang peka dan hati-hati dengan perasaan di hati.  Dampaknya bisa berbahaya.

Kita lalu merasa besar kepala.  Lupa bahwa segala yang kita terima itu adalah berkat rahmat Allah semata.  Bukan karena kehebatan amal kita.  Bukan pula karena ilmu dan ibadah kita.

Jika ini terjadi maka sia-sialah segala pencapaian kita.  Di dunia kita dimuliakan namun di alam akhirat tidak mendapatkan apa-apa kecuali siksa api neraka.

Allah Ta’ala berfirman,

مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لَا يُبْخَسُونَ (15) أُولَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الْآَخِرَةِ إِلَّا النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ (16)

“Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Hud [11] : 15-16)

Yang dimaksud dengan “Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia” yaitu barangsiapa yang menginginkan kenikmatan dunia dengan melakukan amalan akhirat.

Yang dimaksud “perhiasan dunia” adalah harta dan anak.

Mereka yang beramal seperti ini: “niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan”.

Maksudnya adalah mereka akan diberikan dunia yang mereka inginkan. Ini semua diberikan bukan karena mereka telah berbuat baik, namun semata-mata akan membuat terlena dan terjerumus dalam kebinasaan karena rusaknya amalan mereka.

Dan juga mereka tidak akan pernah yubkhosuun, yaitu dunia yang diberikan kepada mereka tidak akan dikurangi. Ini berarti mereka akan diberikan dunia yang mereka cari seutuhnya (sempurna).

*Semoga Allah jaga hati kita dari ketergelinciran niat dan tujuan akhirat.*

Kamis, 05 Maret 2020

PERISTIWA ISRA MI'RAJ DAN MISI PENERAPAN SYARIAT UNTUK SELURUH UMMAT


*Oleh : Abu Afra*
_t.me/AbuAfraOfficial_

Di dalam kitab _Al Anwarul Bahiyyah min Isra'i wa Mi'raji Khairil Bariyyah_, yang ditulis oleh *Abuya Sayyid Alawi Al Maliki Al Hasani* diceritakan,  bahwa  ketika Rasulullah  صلّى الله عليه وسلم diperjalankan oleh Allah dalam peristiwa agung yakni Isra dan mi'raj. 

Beliau sempat diajak untuk mampir di beberapa tempat persinggahan.  Diantara tempat yang disebutkan dalam riwayat itu setidaknya ada empat lokasi yang kelak menjadi wilayah yang penting dalam perluasan Daulah Islamiyah.

Tempat pertama yang disinggahi oleh beliau atas arahan malaikat Jibril adalah kota Madinah.  Beliau diperintahkan untuk melaksanakan shalat disini.  Kelak kota inilah yang menjadi tempat muqim beliau.  Kota Thaybah atau Madinah menjadi pusat kekuasaan Islam di masa Rasulullah SAW.

Selanjutnya adalah *Kota Madyan* yang merupakan tempat bersejarah pada masa kenabian *Musa a.s.* Kota ini terletak di Gurun Al-Ula antara *Madinah al-Munawwaroh* dan Tabuk di Arab Saudi.

Tempat  singgah berikutnya adalah bukit Turshina. Hampir semua ahli tafsir sepakat, Bukit Thursina adalah bukit saat Musa menerima wahyu dari Allah. Mereka pun meyakini bahwa *Bukit Thursina* sebagaimana disebutkan dalam surah at-Tin ayat 1-3 ber ada di wilayah Mesir yang lokasinya berada di Gunung Munajah, di sisi Gunung Musa.

Lokasi ini dikaitkan dengan keberadaan Semenanjung Sinai. Pendapat ini didukung oleh *Sayyid Quthb* dalam tafsirnya _Fi Zhilal al-Qur’an_. Menurut Quthb, Thursina atau Sinai itu adalah gunung tempat Musa dipanggil berdialog dengan Allah SWT. 

Dalam catatan sejarah ternyata wilayah ini pun ditaklukan oleh Khilafah Islam pada masa *Khalifah Umar bin Khattab ra.*  Tepatnya pada tahun 641 M Iskandariyah, ibu kota Mesir berhasil ditaklukan kaum muslimin.

Tempat berikutnya yang disinggahi Nabi ketika Isra Mi'raj adalah Bethlehem. Tempat kelahiran *Nabi Isa as.* Bethlehem adalah kota penting tiga agama: Yahudi, Kristen, Islam. Nabi-nabi tiga agama tersebut punya sejarah kuat dengan kota tersebut.

Banyak cuplikan kejadian luar biasa dalam peristiwa Isra dan mi'raj yang dialami Nabi Muhammad SAW.  Setiap peristiwa memberikan pesan tersirat mengenai bukti-bukti kemukjizatan beliau sebagai seorang Nabi Akhir zaman.

Kita perlu mengkaji lagi fragmen sejarah luar biasa dari peristiwa isra dan mi'raj ini dalam konteks kekinian.  Agar nilai-nilai Islam yang mulia itu bisa diterapkan dalam kehidupan.  Bukan sekedar cerita pengantar tidur apalagi dianggap dongeng rekaan belaka.

Peristiwa ini telah masyhur sebagai salah satu kemukjizatan Rasul SAW.  Bahkan diabadikan dalam satu surat khusus di dalam Al Qur'an.  Ini menunjukkan betapa pentingnya persoalan tersebut.

Bahkan para Ulama tarikh telah meriwayatkannya secara runut sebagaimana para ulama hadits menuturkan hadits rasul.  Ada banyak pesan penting yang tersimpan di dalamnya.

Pesan yang paling pokok adalah terkait masalah aqidah.  Bahwa benar Nabi Muhammad SAW adalah seorang nabi dan rasul.  Karena peristiwa Isra dan Mi'raj ini sesuatu yang menyalahi adat.  Tidak ada yang diberi karunia pengalaman spiritual semacam itu kecuali para nabi dan Rasul.  Ini jelas sebuah mukjizat.

Kemudian lagi pelajaran berharga dari peristiwa isra dan mi'raj ini adalah sebuah isyarat bahwa Nabi Muhammad SAW. adalah Nabi terakhir untuk seluruh alam.

Artinya syariat yang beliau bawa juga berlaku untuk seluruh manusia di dunia.  Bukan untuk kaum muslimin saja, apalagi jika dikatakan untuk bangsa arab saja.  Jelas tidak mungkin.

Keyakinan kita akan bertambah ketika kita memperhatikan peristiwa besar ini.  Terutama terkait fungsi syariat yang bersifat universal untuk seluruh alam.  Bukan seperti yang dikatakan sebagian orang, bahwa Islam itu tidak ada bedanya dengan agama lainnya.

Salah satu peristiwa yang mengindikasikan hal ini adalah ketika Nabi SAW diminta oleh Jibril as mengimami para Nabi sebelum beliau di Masjidil Aqsha.  Ini menjadi isyarat yang sangat terang bahwa beliau pemimpin semua umat di akhir zaman.

Hanya Islam yang layak memimpin dunia.  Karena Islam memiliki perangkat yang lengkap dalam menyelesaikan seluruh problematika manusia.

*Masihkah kita ragu untuk mengambilnya?*

Selasa, 03 Maret 2020

POTRET KESOMBONGAN YANG TERPENDAM


*Oleh : Abu Afra*
_t.me/AbuAfraOfficial_

Seringkali kita lihat diantara kita apabila menjumpai suatu problem lalu saling melempar kesalahan kepada pihak lainnya.

Pokoknya yang salah itu orang lain bukan saya.  Inilah mungkin dalam peribahasa kita sering diistilahkan dengan mencari kambing hitam.

Seolah-olah tidak ada yang benar kecuali dirinya saja.  Tanpa sadar penyakit hati semacam ini merasuki setiap kita.  Berawal dari merasa lebih dari yang lainnya.

Dalam sejarahnya penyakit ini adalah penyakit hati tertua.  Diawali oleh Iblis Sang Durjana.  Ketika Nabiyullah Adam as. diciptakan, Allah perintahkan seluruh penduduk surga untuk sujud kepadanya.

Namun kemudian iblis menolak dan membantah titah Allah Jalla wa ala.  Dengan alasan beda kelas dan level dengan Adam as.

"Adam tercipta dari tanah sementara aku tercipta dari api.  Aku jelas lebih baik darinya." demikian bantahan iblis laknatullah 'alaih.  Gara-gara sikap ujubnya itu terusirlah dia dari komunitas penduduk surga yang mulia.

Fargmen sejarah ini tertuang secara terang di dalam Al Qur'an.  Lihatlah misalnya di dalam surat Quran Surat Al-A’raf Ayat 12

قَالَ مَا مَنَعَكَ أَلَّا تَسْجُدَ إِذْ أَمَرْتُكَ ۖ قَالَ أَنَا خَيْرٌ مِّنْهُ خَلَقْتَنِي مِن نَّارٍ وَخَلَقْتَهُ مِن طِينٍ

_Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?" Menjawab iblis "Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah"._

Kesombongan telah mengeluarkan iblis dari surga.  Berawal dari perasaan ujub, merasa diri lebih baik.  Berlanjut pada sikap meremehkan orang lain yang dianggap baru.  Inilah yang disebut takabbur.

عن عبد الله بن مسعود رضي الله عنه، عن النَّبي صلى الله عليه وسلم، قال: ((لا يدخل الجنَّة من كان في قلبه مثقال ذرَّة من كبر! فقال رجل: إنَّ الرَّجل يحبُّ أن يكون ثوبه حسنًا، ونعله حسنة؟ قال: إنَّ اللَه جميل يحبُّ الجمال، الكبر: بطر الحقِّ وغمط النَّاس))
قال النووي في شرح الحديث: (قد اختلف في تأويله. فذكر الخطابي فيه وجهين:
أحدهما: أن المراد التكبر عن الإيمان، فصاحبه لا يدخل الجنة أصلًا إذا مات عليه.
والثاني: أنَّه لا يكون في قلبه كبر، حال دخوله الجنَّة،

_Dari ibnu mas’ud-semoga Allah meridhoinya- berkata : Rasulullah-shalawat dan salam untuknya- bersabda : "Tidak akan masuk kedalam surga orang yang dihatinya ada kesombongan meskipun seberat biji sawi. Lalu ada yang bertanya : sesungguhnya seseorang itu sangat senang kepada baju dan sandal yang bagus ? maka beliau berkata : sesungguhnya Allah Maha Indah dan mencintai keindahan. Sombong itu adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia"._ *(HR Muslim.)*

Telah berkata Imam An Nawawiy di dalam penjelasan hadits ini.  Terdapat perbedaan pendapat  dalam menafsirkan hadits ini.  Imam Al Khattabiy menyebutkan setidaknya ada 2 pendapat :
Pendapat pertama, apabila kesombongan yang dimaksud terhadap perkara iman maka orang yang memiliki sifat tersebut tidak akan bisa masuk surga apabila dia tetap dalam kondisinya sampai kematian datang kepadanya.  Yang kedua, maknanya apabila ada sifat sombong di hatinya maka tidak akan bisa memasuki surga. Wallahu'alam.

Sombong terhadap kebenaran artinya menolak dan tidak mau menerimanya. Setiap orang yang menolak kebenaran maka sesungguhnya dia adalah orang yang sombong sesuai dengan kebenaran yang ditolaknya.

Karena sudah seharusnya seorang hamba tunduk kepada kebenaran yang dengannya Allah mengutus para Rasul-Nya dan menurunkan Kitab-Nya.

Maka orang-orang yang sombong yang tidak mau patuh kepada para Rasul secara keseluruhan adalah orang kafir yang kekal di neraka.

Karena sesungguhnya telah sampai kepada mereka kebenaran yang dibawa para Rasul yang diperkuat oleh mukjizat dan bukti-bukti nyata, namun hati-hati mereka yang sombong menjadi penghalang sehingga menolaknya.

Allah تعالى berfirman :

{إِنَّ الَّذِينَ يُجَادِلُونَ فِي آيَاتِ اللَّهِ بِغَيْرِ سُلْطَانٍ أَتَاهُمْ إِن فِي صُدُورِهِمْ إِلا كِبْرٌ مَّا هُم بِبَالِغِيهِ} [غافر:56],

_"Sesungguhnya orang-orang yang memperdebatkan ayat-ayat Allah tanpa alasan yang sampai kepada mereka tidak ada dalam dada mereka melainkan hanyalah (keinginan akan) kebesaran yang mereka sekali-kali tiada akan mencapainya"._ *(QS Ghafir : 56).*


Adapun orang-orang yang sombong yang tidak mau tunduk kepada sebagian kebenaran yang menyelisihi pemikiran atau hawa nafsu mereka-meskipun mereka tidak kafir- sesungguhnya pada mereka ada hal-hal yang menyebabkan didatangkannya hukuman sesuai dengan kesombongan mereka dan penolakan mereka terhadap kebenaran yang telah sampai kepada mereka  setelah datangnya syariat ini.

Kemudian  dalam pengertian yang lain lagi.  Kesombongan terhadap sesama manusia yaitu meremehkan dan merendahkan orang.

Sikap seperti ini muncul karena adanya ujub(bangga diri) pada seseorang dan merasa lebih hebat dan mulia dari orang lain.

Jadi sifat ujub akan membawa seseorang untuk merasa besar(sombong) terhadap orang lain, meremehkan dan mengolok-olok mereka serta merendahkan mereka dengan ucapan dan perbuatannya.

Padahal *Rasulullah* صلّى الله عليه وسلم telah mengingatkan:

"بحسب امرئ من الشرّ أن يحقر أخاه المسلم.

```“Cukuplah seseorang dikatakan berbuat kejelekan dengan merendahkan saudaranya sesama muslim.”```
*(H.R muslim)*

Semoga Allah senantiasa memberikan kita hidayah dan petunjuknya.  Agar kita cepat menyadari perasaan hati yang tidak benar.  Merasa lebih dari yang lainnya.

Sehingga ketika muncul suatu masalah lalu tidak mau menerima kritikan.  Karena beranggapan bahwa kesalahan tidak layak ditujukan pada dirinya.  Yang salah adalah pihak lain bukan dirinya.

Seorang pemimpin yang anti kritik cenderung tertutup dengan masukan-masukan.  Seorang bawahan yang ada sifat ujub dalam dirinya akan cenderung sulit bekerja dalam sebuah tim.

Maka mengikis habis perasaan hati ini wajib hukumnya.  Sebelum dia menguasai perilaku dan kebiasaan kita.  Karena perkaranya bukan ringan jika neraka sebagai ancamannya.


اللهم اهدني لأحسن الأعمال والأخلاق, لا يهدي لأحسنها إلاّ أنت, واصرف عنّ ي سيّئ الأعمال والأخلاق, لا يصرف عنّي سيّئها إلاّ أنت".

```“ Ya Allah bimbinglah aku kepada akhlak yang baik. (Karena) tidak ada yang akan memberi petunjuk kepada akhlak yang baik kecuali Engkau. Dan palingkanlah aku dari akhlak yang buruk. (karena) tidak ada yang dapat memalingkan aku dari akhlak yang buruk selain Engkau.```
*(HR Muslim).*

*والله أعلم*

Senin, 02 Maret 2020

REFLEKSI 96 TAHUN RUNTUHNYA KEKHILAFAHAN ISLAM


_Oleh : Abu Afra_
_t.me/AbuAfraOfficial_

Hari ini adalah hari bersejarah.  Banyak luka dan kesedihan bermula dari hari ini.  96 tahun yang lalu di tanggal yang sama.  Tepatnya pada tanggal 3 Maret 1924 M.  Perisai ummat yang dibanggakan itu runtuh tergulung oleh musuh.

Kekhilafahan Islam di Turki akhirnya dihapus oleh seorang antek Yahudi bernama Mustafa Kemal At Tarturk.  Melalui tangannya sekularisme secara legal berlaku di dunia islam.

Segala sesuatu yang berbau Islam dan arab di hapuskan.  Lalu semuanya diganti dengan bahasa Turki. Sebuah kemunduran yang luar biasa.

Perundang-undangan yang berbasiskan syariat diganti dengan perundang-undangan buatan Barat.  Mesjid Aya Shopia dialihfungsikan menjadi museum.  Semua dilakukan demi alasan kemajuan zaman.  Padahal pemutilasian Islam dengan sekularisme secara radikal.

Pada ketika itu Khalifah terakhir terusir dari singgasananya tanpa ada perlawanan.  Kaum muslimin sudah lama kalah secara mental sebelumnya.  Secara psikologis ikatan kebangsaan telah mencerai beraikan persatuan atas dasar akidah Islam.

Negeri-negeri Islam yang telah berhasil menguasai dua pertiga dunia kemudian dikerat-kerat seperti pizza hut.  Sungguh mengenaskan.

Kini ada puluhan negara dengan ikatan kebangsaan saling berdiri dalam kerapuhan.  Semua tidak saling peduli karena sibuk ngurusin perutnya sendiri-sendiri.

Inilah realita kita hari ini.  Islam tidak lagi memiliki perisai dalam wujud kekuasaan.  Musuh-musuh Islam begitu mudahnya menistakan agama.  Ketakutan telah dicabut dari dada-dada mereka.  Sementara kebanyakan kita telah terserang penyakit kronis bernama wahn.

Sebagaimana di wanti-wanti oleh Nabi dahulu. Jumlah kaum muslimin yang besar tidak lagi berarti.  Karena satu sama lain tidak lagi saling mengasihi.  Semua berpecah belah dan kehilangan arah.

Ukhuwah Islamiyah telah pecah berganti dengan ukhuwah wathoniyyah.  Bahkan kadang berubah menjadi ukhuwah qaumiyah wa a'iliyyah.  Ikatan rendah yang justru tidak sejalan dengan fitrah akidah.

Ashobiyyah akut merasuk dalam jiwa-jiwa yang semakin kalut.  Dunia begitu mempesona mereka.  Hingga rela menjual agama demi sekerat permata dunia yang tidak ada nilainya.

Rasul mengibaratkan seluruh kenikmatan dunia ini seperti bangkai kambing yang kurus kering.  Dalam riwayat lain seperti air yang tersisa di jari setelah dicelup ke lautan samudra.  Betapa tidak sebandingnya dengan kenikmatan surga.

Tapi begitulah manusia.  Mereka lebih suka apa yang tampak oleh pandangan mata saja.  Inilah hasil dari didikan ideologi kapitalis sekuler.  Agama dipisahkan dengan dunia.  Seolah Allah hanya mencipta dan tidak pernah menyiapkan aturannya.

Sistem Islam yang diwariskan dianggap ancaman.  Sementara ideologi buatan manusia di elu-elukan.  Dilabeli sebagai sistem terbaik menggantikan sistem yang Allah turunkan.

Akibatnya negeri-negeri banyak yang carut marut akibat pengelolaan yang gagal akut.  Bencana dimana-mana mewabah secara akut.  Tidak kah kita takut? Ini pertanda Allah murka kepada kita yang berpaling dari syariat-Nya.

Kapan lagi kita mau tersadar.  Apakah menunggu semuanya bubar?  Saat kiamat datang dan memaksa kita untuk mempertanggungjawabkan segala kelalaian dan sikap abai kita terhadap Dzat Yang Maha Besar?

Sudahlah mari kita perjuangkan saja sistem warisan Nabi yang mulia.  Solusi atas segala bencana yang menimpa kita.  Sebuah sistem yang telah terbukti oleh zaman.  Mampu mensejahterakan manusia secara sangat mengesankan.

Ketiadaan seorang Khalifah yang memimpin dunia Islam lebih dahsyat dari bencana alam.  Para ulama mengatakan dia adalah ummul jaraim atau induk segala kerusakan.

Para sahabat yang mulia telah mencontohkan.  Ketika sanga Nabi wafat mereka tidak langsung mengurusi jenazah yang mulia.  Tetapi justru sibuk bermusyawarah mencari pengganti beliau dalam urusan kenegaraan.  Selama kurang lebih tiga hari jenazah Sang Nabi didiamkan.  Sampai kemudian terpilihlah Abu Bakar As Siddiq sebagai Khalifaturrasul.

Pasca itulah baru jenazah Sang Rasul dimakamkan.  Ini menunjukkan ijma para sahabat bahwa urusan kepemimpinan merupakan tajul furudh (mahkota kewajiban). Bahkan ada yang menyebutkan sebagai kewajiban yang paling agung.  Kewajiban di atas kewajiban.

Relakah kita terus hidup tanpa baiat seorang Khalifah di pundak kita? Mari perjuangkan sampai tiba kemenangan atau kita syahid dalam perjuangan.

*Wallahu musta'an*

Minggu, 01 Maret 2020

DAKWAH ITU MERANGKUL BUKAN MEMUKUL


*Oleh : Abu Afra
_t.me/AbuAfraOfficial_

Dalam dunia dakwah seringkali kita temui beberapa aktifis begitu mudahnya melabeli seseorang dengan label negatif.  Kadang kurang teliti dalam mempelajari fakta yang sebenarnya.

Hanya karena track record di masa sebelumnya lalu si fulan dihukumi sama saja katanya.  Apakah benar demikian? Mari kita urai satu persatu.

Memberi label terhadap seseorang dengan label yang kurang makruf bukanlah perkara yang masyru.

Allah Ta’ala berfirman,

وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ

“Dan janganlah kamu saling memanggil dengan gelar (yang buruk)” (QS. Al-Hujuraat [49]: 11).

Pada asalnya, “laqab” (gelar atau julukan) itu bisa mengandung pujian dan bisa juga mengandung celaan.

Jika julukan tersebut mengandung pujian, inilah yang dianjurkan. Seperti, memanggil orang lain dengan “yang mulia”, “yang ‘alim (berilmu)”, “yang terhormat” dan sebagainya.

Namun jika julukan tersebut mengandung celaan, maka inilah maksud ayat di atas, yaitu hukumnya terlarang. Misalnya, memanggil orang lain dengan “orang pelit”, “orang hina”, “orang bodoh”, "orang munafiq" dan sejenisnya.

Meskipun itu adalah benar karena ada kekurangan (cacat) dalam fisiknya, tetap dilarang. Misalnya dengan memanggil orang lain dengan “si pincang”, “si mata juling”, “si buta”, dan sejenisnya.

Labeling ini marak dilakukan oleh orang sekarang.  Tujuannya untuk memframing lawan politik agar muncul image negatif dan ujung-ujungnya agar dikucilkan dalam pergaulan.

Harapannya tentu agar apapun pesan atau opini yang disampaikan oleh kelompok sebelah akan dapat dikalahkan.  Jahat sekali bukan?

Memvonis dengan label tertentu pada lawan politik tentu berbeda dengan menganalisa.  Dalam menganalisis kita tidak perlu menghakimi dan memvonis dengan sadis.  Yang kita lakukan hanyalah melihat kejadian-kejadian yang berakaitan.

Melihat dan mengamati apa yang ada di balik sesuatu lalu menyimpulkan secara matang.  Kritik yang dilakukan seorang analisis harus objektif dan fokus pada ide atau sistem yang rusak saja bukan pada orangnya.

Tujuannya jelas untuk memberikan edukasi kepada ummat.  Agar mereka semakin terbuka dan yakin terhadap kebenaran Islam.  Selanjutnya  meninggalkan kebathilan yang selama ini dikira sebagai kebenaran.

Jangan sampai seorang analis terjebak pada vonis sadis.  Lalu dampaknya bukan mencerdaskan malah semakin memperburuk citra Islam.  Lalu dikatakan orang-orang aktifis pergerakan Islam itu penyebar hoax dan fitnah murahan.

Ini harus kita hindari demi kemaslahatan dakwah di masa depan.  Rasul SAW saja tidak berani memvonis seseorang jika tidak ada perintah dari wahyu, walaupun beliau tahu siapa saja orang munafik di kota Madinah ketika itu.

Apalah lagi kita yang memiliki keterbatasan pandangan.  Terlalu gegabah jika sedikit-sedikit langsung mengatakan fulan itu ahli bid'ah, tukang fitnah dan segudang sebutan.

Alangkah bijaknya jika kita rasa ada yang salah dengan sikap dan pemikirannya maka yang kita koreksi pada bagian itu saja.  Jangan sampai niat baik beramar makruf nahi mungkar justru menjadi buyar gara-gara cara yang tidak benar.

Disinilah esensi dari pesan ilahi kita rasakan betapa pentingnya bagi para aktifis dakwah Islam khususnya,

Da’wah atau menyeru kepada Allah swt dan  merupakan sebuah kewajiban berdasarkan firman Allah swt :

ادْعُ إِلِى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُم بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ


_“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.”_

*(QS. An Nahl : 125)*

قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ

 _“Katakanlah: "Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata,”_

*(QS. Yusuf : 108)*

_“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.”_

*(QS. Al Imran : 104)*

Seorang da’i didalam melaksanakan kewajiban ini dituntut memiliki pengetahuan tentang keagamaan yang baik agar da’wahnya tidak jatuh kedalam kesalahan. Sebagaimana diketahui bahwa amal mengikuti ilmu dan ketika suatu amal tidak dibangun diatas landasan ilmu maka kerusakan yang ditimbulkannya akan lebih besar dari manfaat yang dihasilkannya.

Untuk itu seorang da’i diharuskan memahami pokok-pokok aqidah dan keislamannya lalu tsaqofah fikriyah sebagai bekal didalam da’wahnya.

Syeikh Mustafa Masyhur menyebutkan bahwa ada tiga tsaqofah fikriyah yang harus dimiliki seorang da’i :

1. Memahami islam secara betul dan menyeluruh yang memungkinkan dia dapat melaksanakan islam dengan pelaksanakan yang benar terhadap dirinya, dan dengan itu pula dia dapat menyampaikan islam dengan baik kepada orang lain. Dia mampu melaksanakan islam dan menyampaikan secara total, murni dan orisinil.

2. Para da’i mesti mengetahui kondisi dan situasi dunia islam dahulu dan sekarang, mengenal musuh-musuh islam dan mengetahui cara dan tindak-tanduknya.

Dia juga harus mengetahui peristiwa-peristiwa aktual yang mempengaruhi kondisi kaum muslimin dari dekat atau jauh. Mengetahui siapakah golongan yang bekerja di bidang da’wah islam, kecenderungan dan cara-cara mereka, bagamana bentuk kerja sama yang perlu dibuat bersama-sama dengan mereka, dan persoalan-persoalan lain yang patut diketahui oleh orang-orang yang aktif dalam gerakan islam.

3. Para da’i harus menyampaikan untuk memantapkan spesialisasi ilmu yang berkaitan dengan urusan hidup manusia seperti : ilmu kedokteran, teknik, pertanian, ekonomi, perusahaan dan lain-lainnya. Oleh akrena itu bagi seorang kader aqdah ia harus berusaha memperbaiki dan meningkatkan spesialisasi ilmu yang dimilikinya secara professional agar dia mendapat tempat dalam masyarakat dan dapat mengisi tempat-tempat kosong pada saat kita membangun dan menegakkan daulah islamiyah.

Patut di sini disebutkan bahwa sebagian besar ilmu pengetahuan modern sekarang ini telah dipelopori oleh para cendekiawan muslim zaman dahulu.

Karena agama islam mendorong umatnya untuk mencari ilmu dan belajar serta dapat menghubungkan ilmunya dengan Al Kholiq.

Tentunya mustahil bagi seseorang mencapai tingkat kesempurnaan didalam keilmuannya dikarenakan luasnya ilmu Allah swt.

Dengan begitu hendaklah setiap dai menyampaikan apa-apa yang telah diketahuinya secara baik kepada orang-orang yang belum mengetahuinya, dan inilah hakekat dari da’wah.

Dan dilarang bagi setiap da’i untuk menyampaikan sesuatu yang belum diketahui ilmunya secara baik khawatir terjatuh didalam kasalahan berdasarkan keumuman hadits Rasulullah saw, _”Sampaikanlah dariku walaupun hanya satu ayat.”_ (HR. Bukhori)

Satu ayat yang betul-betul diketahu
inya secara baik adalah amanah yang ada di pundaknya untuk disampaikan kepada orang-orang yang belum mengetahui satu ayat tersebut.

Jadi fokus saja pada wilayah yang kita kuasai yakni menyampaikan pesan-pesan dakwah seefektif mungkin agar diterima ummat.

Kita tidak disuruh menghakimi mereka yang tidak sejalan dengan kita.  Apalagi memberi label macam-macam yang malah membuat semakin jauh dan jaga jarak dengan dakwah.

Dakwah itu merangkul bukan memukul.  Maka lakukan dengan hikmah bukan dengan marah.  Ingat-ingat kita sedang melanjutkan tugas para nabi yang mulia.

Di depan kita ada titipan ummat yang harus diselamatkan, maka dakwahi dengan kasih sayang dan kelembutan.  Semoga dengan itu kelak mereka yang memusuhi justru berbalik menjadi pejuang kebenaran.

*Wallahu'alam*

Sabtu, 29 Februari 2020

HAUL KE-15 ABAH GURU SEKUMPUL DAN RAHASIA DI BALIK KEISTIQOMAHAN DAKWAH YANG MEMBUAT MANUSIA BERKUMPUL


*Oleh : Abu Afra*
_t.me/AbuAfraOfficial_

Sore menjelang maghrib kami berangkat dari rumah.  Dengan rasa mahabbah menuju haul ke-15 Abah Guru Sekumpul Martapura.  Rasanya ada yang membuncah di dalam dada.  Tergerak hadir demi memenuhi cinta pada Ulama kharismatik yang telah harum semerbak namanya.

Dalam perjalanan yang sejatinya tidak terlalu jauh ini sempat lah kami temui macet sebentar saja.  Tepatnya saat memasuki jalan Sungai Sipai arah Rumah Sakit Ratu Zaleha.

Tapi Alhamdulillah hanya sebentar saja.  Arahan para relawan sangat membantu kami memdapatkan rute yang nyaman dalam menuju tujuan.

Ini kali pertama saya menghadiri haulan bersama anak dan istri.  Ada kesan yang tidak biasa yang ingin saya ceritakan disini.  Harapannya semoga menambah keimanan dan inspirasi bagi saya yang menuliskannya atau anda yang sudi membacanya

Sampailah kami di tempat haulan kali ini.  Padatnya manusia memenuhi lokasi membuat kami tak henti ucapkan sholawat kepada Nabi.  Teringat taujih Al Habib Muhammad Al Aydarus, Pengasuh Majelis Taklim Nurun Nubuwwah terkait hal ini.

_"Lihatlah fenomena haulan Allahuyarham Abah Guru Sekumpul Martapura. Jutaan manusia hadir memadatinya.  Semua itu karena sikap takzhim dan mahabbah Beliau yang luar biasa kepada Rasulullah SAW dan Dzuriyyatnya serta ummatnya"._

Kami betul-betul menemukan kecintaan itu nyata dalam moment haulan ini.  Suasananya mirip seperti fenomena 212 yang pernah kami ikuti di Jakarta.  Ada ketulusan berbagi dan mengorbankan diri demi saudara.  Ini sungguh luar biasa.

Yang dekat menjadi relawan bagi saudaranya yang jauh.  Sementara yang jauh telah berkorban dana dan tenaga demi menghadirinya.  Apa sebenarnya motivasi mereka? CINTA!

Allah hadirkan kecintaan itu di dalam hati dan pikiran para muhibbinnya.  Semua terjadi begitu saja pada sosok mulia Abah Guru Tercinta.  Mungkin karena keikhlasan beliau dan kesungguhan serta keistiqomahan beliau dalam berkorban membimbing ummat.

Guru Muda Kulur juga pernah menyampaikan dalam salah satu majelisnya.  Bagaimana istiqomahnya Sang Guru dalam mengisi pengajiannya.  Walaupun dalam kondisi sakit yang luar biasa.  Setiap pekan harus cuci darah karena sakit gagal ginjal yang dideritanya.  Namun rasa sakit itu tidak menghalangi beliau untuk tetap bisa hadir dalam dakwahnya.

Lantas bagaimanakah dengan kita? kadang hanya karena sakit sedikit.  Atau ujian kecil bak batu kerikil sudah mencari-cari alasan untuk tidak hadir dalam kajian.

Seolah-olah kita ini begitu yakin akan selamat dari cecaran pertanyaan.  Sementara Allah dan para malaikatnya tahu betul tentang alasan sebenarnya yang kita sembunyikan.

Kadang hujan kecil sudah cukup dijadikan alasan untuk absen dalam kegiatan.  Jauhnya jarak yang tidak seberapa pun dipergunakan sebagai alasan.  Seolah itu udzur syar'i yang dijadikan pembenaran.

Lantas bagaimana mungkin keselamatan dan kemuliaan itu akan kita dapatkan.  Sementara untuk berkorban saja kita ogah-ogahan.  Kadang untuk dunia kita, badai petir pun tidak menghalangi langkah.

Derasnya hujan tetap ditembus demi mencari nafkah.  Alasannya ini kewajiban seorang ayah.  Sakit pun kadang dibela-belain masuk kerja asal masih bisa berkendara.  Benarkah lillahi ta'ala?

Dunia ini kadang menipu kita.  Untuk urusannya yang sementara kita rela mengorbankan apa saja yang kita bisa.  Tapi demi urusan dakwah, kenapa kita mudah sekali lemah?

Lihatlah ibrah dari guru mulia Abah Guru Sekumpul Martapura.  Kecintaan beliau pada Ummat Nabi Muhammad menjadikannya terus bersemangat membina dan membimbingnya dalam segala kondisinya.

Beliau sangat memahami betul bahwa murid itu adalah titipan Rasulullah kepadanya. Sebagaimana disampaikan  dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Turmudzi dan Ibnu Majah.

*عن ابي هارون العبدي قال : كنا ناءتي ابا سعيد الخدري رضي الله عنه فيقول : مرحبا بوصيۃ رسول الله صلی الله عليه وسلم, ان رسول الله صلی الله عليه وسلم قال لنا: ان الناس لكم تبع, وان رجالا ياءتونكم من اقطار الارض يتفقهون في الدين, فاذا اتوكم فا ستوصوا بهم خيرا.*

_"Dari Abu Harun Al Abdi radhiyallahu 'anhu berkata: Kami sering datang menemui Abu Sa'id Al Khudri radhuyallahu 'anhu, lalu beliau berkata: "Selamat datang dengan wasiat atau titipan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, karena sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda bagi kami, " Sesungguhnya anak manusia akan datang mengikuti kamu.  Dan sesungguhnya orang banyak akan datang menemui kamu dari seluruh penjuru dunia.  Mereka datang untuk belajar ilmu agama daripada kamu.  Oleh karena itu, apabila mereka datang maka wasiatku pada kamu hendaklah kamu melayani mereka dengan baik"._

Syekh Ahmad Fahmi Zamzam Al Banjari ketika menjelaskan hadits ini mengatakan bahwa, para pelajar ilmu agama (santri, daris, siswa, mahasiswa, dsb) itu merupakan titipan atau amanah Rasulullah SAW di sisi seorang guru.

Mereka datang dari seluruh pelosok daerah untuk berserah diri di hadapan sang guru. Mereka siap menerima apa yang disampaikan sang guru bagaikan kertas putih yang siap untuk ditulisi apa saja.

Maka tanggungjawab seorang guru adalah mengisi dada mereka dengan ilmu yang benar, ilmu yang bermanfaat, ilmu yang diwariskan oleh Rasulullah SAW.

Maka jangan sampai seorang guru itu mengajarkan ilmu yang bertentangan dengan syariat Islam.  Jangan sampai juga seorang guru mengajar anak muridnya hanya karena kepentingan dunia atau keperluan pribadinya.

Disinilah ujiannya seorang guru, dia harus senantiasa ingat bahwa para murid yang diamanahkan padanya itu adalah titipan Rasulullah SAW kepadanya.

Maka tentu dia harus bersungguh-sungguh dalam membinanya.  Tidak absen jika masih bisa diupayakan kehadirannya.  Semua itu demi terbentuknya kepribadian binaanya agar menjadi manusia-manusia yang berkepribadian Islam yang sempurna.

Demi terwujudnya syakhsiyah Islamiyah pada setiap individu binaan.  Sehingga semakin banyaklah pelanjut estafet dakwah pejuang peradaban.

Dengan demikian, Insya Allah pertolongan Allah terhadap dakwah berupa kemenangan akan semakin dekat.  *ALLAHU AKBAR!*

*اللهم افتح لنا قلوبنا في طلب العلم, وارزقنا الاخلاص فيه والعمل به والنشر به حتی ياء تينا اليقين*

_Ya Allah! Bukalah hati-hati kami untuk dapat menerima ilmu, dan karuniakan kepada kami keikhlasan dalam mencari ilmu dan mengamalkannya serta menyebarluaskannya hingga akhir hayat kami._

Jumat, 28 Februari 2020

BARISAN ULAMA PEJUANG SIAP MENGAWAL PERUBAHAN


*Oleh : Abu Afra*
_t.me/AbuAfraOfficial_

Ketika kami share berita mengenai dukungan Ulama Aswaja Banua terhadap perjuangan penegakkan Khilafah, tiba-tiba saja ada netizen yang shock dan tidak terima.

_"Siapa ulamanya yang mendukung perjuangan kalian itu?"_ tanyanya.  Rasanya tidak perlulah kami sampaikan kepada anda siapa saja orangnya.  Tapi ketahuilah dukungan itu ada dan nyata.  Jika anda merasa tidak terima karena Anda juga Ulama.  Baiklah mari bersama-sama dalam ikatan ukhuwah yang nyata.

Bukan isapan jempol belaka apalagi sekedar kamuflase seperti yang dikatakan kelompok Anda.  Ulama yang mukhlis dan bersih dari debu-debu dunia itu masih ada.  Mereka terkenal di langit walaupun mungkin bagi Anda dan kelompok Anda mereka itu tidak masuk kriteria.

Ketahuilah standar Ulama itu bukan menurut hawa nafsu Anda.  Apalagi harus dari kelompok anda dan sesuai dengan pemikiran Anda.  Ulama adalah titel langit pemberian Sang Pencipta Allah SWT.

Asal kata ulama adalah bentuk jama’ dari ‘alim yang artinya ahli ilmu atau ilmuwan.

Gelar ini layak diberikan kepada siapa saja yang telah memenuhi kriteria sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Allah Swt di dalam firmannya.

إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ ۗ

```Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.```

Definisi ulama menurut para Mufassir Salaf, diantarannya, pertama, menurut Imam Mujahid berpendapat bahwa ulama adalah orang yang hanya takut kepada Allah SWT.

Imam Malik bin Anas pun menegaskan bahwa orang yang tidak takut kepada Allah bukanlah ulama.

Kedua, pendapat Imam Hasan Al Basri rahimahullahu ta'ala, beliau menyatakan bahwa ulama ialah orang yang takut kepada Allah dikarenakan perkara ghaib, suka terhadap sesuatu yang disukai Allah, dan menolak segala sesuatu yang dimurkai Allah.

Ketiga, pendapat Syekh Ali Ash-Shabuni bahwa ulama adalah orang yang rasa takutnya kepada sangat mendalam dikarenakan ma’rifatnya.

Keempat, menurut Imam Ibnu Katsir rahimahullahu ta'ala.  Beliau menyebutkan ulama adalah yang benar-benar ma’rifatnya kepada Allah sehingga mereka takut kepadanya. Jika ma’rifatnya sudah mendalam, maka sempurnalah takut kepada Allah.

Kelima, Syekh Nawawi Al-Bantani yang berpendapat bahwa ulama adalah orang-orang yang menguasai hukum syara’ untuk menetapkan sah itikad maupun amal syari’at lainnya.

Syekh Wahbah Zuhaili berkata bahwa secara naluri ulama ialah orang-orang yang mampu menganalisa fenomena alam untuk mengubah hidup dunia dan akhirat serta takut ancaman Allah jika terjerumus ke dalam kenistaan.

Kelima definisi dari para Mufasir Salaf tersebut, bisa ditarik benang merah yakni ulama ialah orang yang takut kepada Allah SWT.

Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan dalam *QS Al-Fathir ayat 28* di atas tadi.  Maka siapapun orangnya jika mereka memenuhi kriteria tersebut layak dan pantas disebut Ulama.

Menjadi Ulama tidak harus terkenal apalagi harus viral.  Yang terpenting adalah rasa khasyiahnya bagaimana kepada Allah.  Apakah mampu membuatnya tunduk pada syariat Allah atau justru sebaliknya.

Tidak layak dikatakan Ulama apabila sekedar banyak memiliki ilmu dan tsaqofah namun kosong dari ketaqwaan.  Insya Allah mereka yang telah berkumpul daam perjuangan Islam adalah para Ulama.

Mereka memiliki akar keilmuan yang bersambung dari guru ke guru.  Mereka juga memiliki komitmen yang kuat dalam meraih ketaqwaan yang paripurna.  Hal ini terbukti dengan beraninya mereka melawan arus zaman dengan bergabung bersama barisan para pejuang peradaban.

Insya Allah diantara mereka terdapat sosok penerus Ulama pejuang di masa silam.  Darah Ulama beneran yang kalian klaim harus dari trah biru juga masih ada di barisan ini.

Maka jangan ragu dengan barisan ulama pejuang.  Karena melalui merekalah jalan perubahan ummat Islam semakin terang benderang.

*Wallahu 'alam.*

Kamis, 27 Februari 2020

KENAPA KITA HARUS MEMILIH ISLAM?


*Oleh : Abu Afra*

_t.me/AbuAfraOfficial_
_https://ustadzfitrianto.blogspot.com_

Dalam sebuah majelis mudzakarah yang dihadiri oleh mayoritas jamaah remaja, terlontarlah sebuah pertanyaan menarik, _" Ustadz kenapa sih kita harus memilih Islam sebagai agama kita? apakah karena orang tua kita Islam? Lantas bagaimana kalau orang tua kita non muslim? Maka tidak salah dong kalau kita memgikuti juga agama mereka?"._

Pertanyaan yang sangat mendasar yang memang harus dijawab oleh setiap kita yang ingin kokoh dalam beragama.  Jika jawabannya tidak memuaskan akal kita akibatnya maka akan berbahaya.

Seseorang yang tak memiliki alasan kuat dalam beriman, maka bisa dipastikan imannya akan mudah goyah.  Inilah kenapa sangat penting bagi kita untuk mencari sendiri bukti yang pasti dalam beriman dan berislam.

Baiklah mari kita coba jawab pertanyaan tersebut secara perlahan.  Kalau kita lihat di dunia ini ada banyak agama yang ditawarkan kepada kita.  Bahkan ada pula pilihan untuk tidak beragama sekalipun.

Kemudian kalau kita perhatikan di dunia ini, maka ada beberapa alasan yang melatarbelakangi orang dalam memeluk satu agama. 

Diantaranya ada orang yang beragama karena keturunan seperti yang disampaikan oleh penanya tadi. Berhubung orang tua kita muslim lalu secara otomatis kita pun menjadi muslim.  Lantas bagaimana jika kita terlahir dari rahim seorang non muslim?

Maka tentu ceritanya akan berbeda.  Inilah kenapa alasan keturunan tidak bisa diterima dalam beragama.  Jika ini diteruskan maka akan berbahaya bagi kita.  Iman kita akan mudah goyah jika orang tua mengajak berpindah agama.

Kita terlahir dari orang tua yang muslim adalah takdir bukan pilihan.  Maka terkait ini sikap kita adalah mensyukurinya. Hanya saja tidak cukup beragama bermodalkan itu saja.

Ada pula orang beragama karena faktor keajaiban.  Hal-hal yang menakjubkan yang ada pada suatu agama.  Ini yang paling umum terjadi pada manusia.  Motif ini biasanya muncul dari naluri beragama yang telah ada di dalam diri manusia.

Motif ini jika dibiarkan begitu saja akan menjadikan manusia tersesat dalam beragama.  Karena setiap agama atau kepercayaan yang diyakini walaupun mungkin salah akan menghasilkan keajaiban kadang-kadang.

Lihat saja misalkan keyakinan orang-orang Budha yang bisa bertapa tanpa makan dalam beberapa lama lalu hasilnya mereka memiliki energi yang tidak biasa.  Kepercayaan orang pedalaman kalimantan dengan kaharingannya menghasilkan kesaktian yang melawan kebiasaan.  Lantas apakah itu cukup sebagai bukti kebenaran?

Jika kita tetap konsisten menjadikan keajaiban sebagai motif beragama.  Maka resikonya adalah kita akan mudah berpindah-pindah agama.

Adapula orang beragama karena rasa tentram.  Ini biasanya dirasakan mereka yang taat dalam agamanya.  Rajin mendatangi tempat ibadah mereka.  Apapun agamanya bisa saja ketentraman akan didapatkan.  Tapi apakah ini bisa menjadi bukti agamanya benar? belum tentu!

Di dalam Islam ketentraman hati itu bukan satu-satunya standar kebenaran.  Dia hanya menjadi sebagaian komponen saja.  Ketentraman dalam beribadah itu fungsinya sebagai penambah daya iman bukan pembentuknya.

Rasa tentram ketika mengingat Tuhan adalah fitrah manusia ketika beribadah.  Jika ini didapat pada setiap agama berarti bukan ini ukuran kebenaran.

Maka apa sebenarnya ukuran kebenaran paling kuat dalam beriman? Jawabannya ada dua saja.  Yang pertama adalah ukuran yang berasal dari pemikiran atau akal manusia.  Yang kedua adalah wahyu dari Sang Pencipta.

Jika kita mau menggunakan akal kita dengan sebaik-baiknya, maka percayalah bukti kebenaran Islam pasti kita temukan.  Karena di dalam Islam memang demikianlah seharusnya orang beragama.

Hal pertama yang harus dilakukan manusia ketika dia ingin mencari kebenaran Islam adalah berfikir secara mendalam.

Apa yang harusnya dia pikirkan? Tentang Tuhan, apakah benar adanya atau hanya hayalan saja.  Maka buktikanlah sendiri bukan dengan sekedar ikut-ikutan saja.  Haram hukumnya ikut-ikutan dalam perkara aqidah.

Coba perhatikan, alam semesta ini! begitu teraturnya, mungkinkah dia ada dengan sendirinya? lihat diri anda yang begitu sempurna.  Tidak ada yang serupa dengan anda di dunia ini.  Apakah tidak ada yang mencipta?

Akal kita akan dengan sendirinya menjawab pasti ada penciptanya, dialah Allah SWT.  Dari mana kita tahunya? dari Al Qur'an.  Lantas kenapa kita harus mempercayainya?

Mari kita buktikan, Al Qur'an mengajarkan kepada kita bahwa Allah nama Tuhan kita.  Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakan.  Dan tidak ada satupun yang sebanding dengan-Nya.  Lihat QS. Al Ikhlas ayat 1- 4.

Ini jelas berbeda dengan konsep ketuhanan yang ada pada agama manapun.  Karena yang lain mengajarkan Tuhan itu lebih dari satu.

Padahal seharusnya yang namanya Tuhan itu harus berbeda dengan ciptaannya.  Tentu konsep Tuhan itu satu adalah lebih mudah diterima akal kita.  Apalagi jika dikaitkan dengan sifat Maha Kuasanya.

Tidak mungkin Tuhan itu lebih dari satu.  Karena jika begitu artinya Tuhan itu masih lemah dan bergantung pada yang lainnya.  Ini jelas tidak layak ada pada Tuhan.

Dari sini saja kita bisa melihat betapa konsep ketuhanan di dalam Islam itu sejalan dengan akal kita.  Kemudian lagi tidak bertentangan dengan fitrah manusia.  Dengan demikian akan lebih menentramkan hati kita.  Inilah kebenaran yang sesungguhnya.

Belum lagi jika kita mau mengkaji sisi lainnya.  Semisal kelengkapan syariat-Nya.  Niscaya kita akan temukan Islam itu sebuah ajaran yang begitu lengkapnya.

```Karena itulah Islam layak untuk kita pilih sebagai agama.  Karena di Islam lah kebenaran mutlak itu adanya.```

Allah Azza wa Jalla berfirman:

*إِنَّ الدِّينَ عِندَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ ۗ وَمَا اخْتَلَفَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ إِلَّا مِن بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ ۗ وَمَن يَكْفُرْ بِآيَاتِ اللَّهِ فَإِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ*

_“Sesungguhnya agama di sisi Allah ialah Islam. Tidaklah berselisih orang-orang yang telah diberi Al-Kitab, kecuali setelah mereka memperoleh ilmu, karena kedengkian di antara mereka. Barangsiapa yang ingkar terhadap ayat-ayat Allah, maka sesungguhnya Allah sangat cepat perhitungan-Nya.”_ *[Ali ‘Imran: 19*]

Allah Azza wa Jalla berfirman:

*أَفَغَيْرَ دِينِ اللَّهِ يَبْغُونَ وَلَهُ أَسْلَمَ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ طَوْعًا وَكَرْهًا وَإِلَيْهِ يُرْجَعُونَ*

_“Maka mengapa mereka mencari agama yang lain selain agama Allah, padahal apa yang ada dilangit dan di bumi berserah diri kepada-Nya, (baik) dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada-Nya-lah mereka dikembalikan ?”_ *[Ali ‘Imran: 83*]

Allah Azza wa Jalla juga berfirman:

*وَمَن يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَن يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ*

_“Dan barangsiapa mencari agama selain agama Islam, dia tidak akan diterima, dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi.”_ *[Ali ‘Imran: 85]*

Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

*َاْلإِسْلاَمُ يَعْلُوْ وَلاَ يُعْلَى.*

_“Islam itu tinggi dan tidak ada yang mengalahkan ketinggiannya.”_

*Wallahu 'alam bis showab*

Selasa, 25 Februari 2020

BENARKAH DAKWAH ISLAM KAFFAH ITU MEMECAH BELAH?




Oleh : Abu Afra*
                        _t.me/AbuAfraOfficial_

Baru-baru ini muncul lagi sebuah tulisan yang mencoba mengcounter opini dukungan abah guru Sekumpul terhadap penerapan syariat Islam secara kaffah.  Dimana statement beliau ini telah maklum dan beredar luas di masyarakat melalui media sosial yang ada.

Kebenaran tidaklah bisa disimpan.  Sesuatu yang berharga akan tetap dicari dan diikuti oleh manusia.  Sebaliknya sesuatu yang busuk pastilah lapuk dan jadi barang rongsok.  Ide tentang *sekularisme yang mencoba memisahkan agama dengan kehidupan* pasti akan hilang dan dilupakan.

Ada anggapan bahwa dakwah Islam kaffah yang menyeru manusia kepada penerapan syariat Islam secara totalitas itu sebuah tindakan propaganda menyesatkan.  Lalu diframing seolah-olah ini tidak sejalan dengan ulama yang dituakan.  Benarkah demikian?

Mari kita kaji secara mendalam dengan hati dan pikiran yang lapang. Jika memang benar perjuangan umat Islam untuk menerapkan syariat Islam di negeri ini tidak sejalan dengan manhaj para auliya, mengapa keluar statement beliau yang begitu jelas dan terangnya?

Katakanlah yang dimaksud beliau bukan seperti yang diinginkan oleh kita.  Lalu bedanya dimana? pada syariatnya atau pada uslubnya saja?  Saya meyakini tidak ada perbedaan syariat Islam yang dimaksud abah guru dengan apa yang kami pahami.

Jadi aneh jika anda menolak syariat Islam dengan alasan bisa memecah belah bangsa.  Padahal kata beliau yang senantiasa didengar dan ditaati nasehatnya, Dunia ini tidak akan sejahtera dan aman sentosa kecuali dengan Syariat-Nya Allah Ta'ala saja.

Okelah mungkin dari sisi metode penerapannya berbeda.  Namun apakah lantas perbedaan tersebut layak menjadi alasan untuk melakukan penjegalan dan framing menyesatkan.

Suka atau tidak, cepat atau lambat ummat ini akan tersadar juga.  Syariat Islam pasti akan tegak menjulang.  Terformalisasi dalam sistem pemerintahan sebagai janji Rasulullah dalam bisyarah beliau yang dirindukan setiap orang beriman.

Tidak layak bagi kita yang mengaku cinta terhadap Rasulullah SAW namun ada perasaan berat hati dengan seruan Islam secara keseluruhan.

*فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّىَ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُواْ فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجاً مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُواْ تَسْلِيماً*

_“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya"._
*(QS. An Nisaa’:65)*

Allah Ta’ala juga berfirman,

*وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ*

_“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya"._
*(QS. Al Hasyr :7)*

*وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْراً أَن يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَن يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالاً مُّبِيناً*

_“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah tersesat dengan kesesatan yang nyata”_
*(QS. Al Ahzab:36)*

*مَّنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللّهَ وَمَن تَوَلَّى فَمَا أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظاً*

_“Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka"._
 *(QS. An Nisaa’:80)*.

Mungkin saat ini berat bagi kita untuk melaksanakannya.  Namun kesulitan itu bukanlah alasan untuk melakukan penolakan.  Justru seharusnya kesulitan itu dijadikan tantangan untuk membangun sinergi dengan seluruh komponen ummat Islam agar setiap kewajiban syariat itu dapat terlaksana dengan sebaik-baiknya.

Aneh sungguh ketika mengaku pecinta Al Musthofa tapi menyelisihi hukum dan ketentuannya. Sudahlah jangan dengarkan mereka yang membisik-bisikan keraguan terhadap keagungan syariat Islam.  Walaupun dengan alasan persatuan dan kesatuan dan menghindari perpecahan.

Ingatlah dengan sabda baginda Nabi SAW dalam salah satu haditsnya yang mulia :

*إِنَّ الْحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا أُمُوْرٌ مُشْتَبِهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ، فَمَنِ اتَّقَى  الشُّبُهَاتِ فَقَدْ اسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ، وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ، كَالرَّاعِي يَرْعىَ حَوْلَ الْحِمَى يُوْشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيْهِ، أَلاَ وَإِنَّ  لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى أَلاَ وَإِنَّ حِمَى اللهِ مَحَارِمُهُ أَلاَ وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ   مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ  أَلاَ وَهِيَ الْقَلْبُ*

_Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Di antara keduanya terdapat perkara-perkara yang syubhat (samar-samar) yang tidak diketahui oleh orang banyak. Maka siapa yang takut terhadap syubhat berarti dia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya. Dan siapa yang terjerumus dalam perkara syubhat, maka akan terjerumus dalam perkara yang diharamkan. Sebagaimana penggembala yang menggembalakan hewan gembalaannya di sekitar (ladang) yang dilarang untuk memasukinya, maka lambat laun dia akan memasukinya. Ketahuilah bahwa setiap raja memiliki larangan dan larangan Allah adalah apa yang Dia haramkan. Ketahuilah bahwa dalam diri ini terdapat segumpal daging, jika dia baik maka baiklah seluruh tubuh ini dan jika dia buruk, maka buruklah seluruh tubuh; ketahuilah bahwa dia adalah hati"._
*(HR. Bukhari dan Muslim)*

*Wallahu musta'an*

KENALI DIRIMU, LEJITKAN POTENSIMU


*Oleh : Abu Afra*
_t.me/AbuAfraOfficial_

Tahun 2018 al faqir sempat diminta takmir Masjid Quba Banjarbaru untuk menjadi imam tetap di sana.  Terutama untuk tiga waktu shalat  di malam hari.  Maghrib, Isya dan Shubuh.

Ketika itu al faqir masih aktif ngisi beberapa kajian dan ngajar di sekolah para juara.  Sehingga kadang sekali waktu jika ada kegiatan sekolah yang mengharuskan lembur, maka tugas sebagai imam terpaksa harus di delegasikan.

Alhamdulillah ketika itu ada Ustadz Mahfuz Daha yang bertugas sebagai marboth tetap masjid Quba yang siap selalu menggantikan tugas sementara waktu.  Selain beliau ada lagi seorang sahabat yang juga bertugas sebagai imam badal.

Di mesjid Quba ketika itu setiap pekan ada dua kali kajian rutin.  Yang ngisi para assatidzah aswaja top di kota Banjarbaru.  Diantaranya ada KH.Nafi'ah Muhja, Ketua MUI Kota Banjarbaru,  Al Habib Hasan Ba'bud, Pengasuh Majelis Dzikir wa ta'lim Nurul Iman, K.H.Abdurrahman Husein, S.Q. Pengasuh Pondok Pesantren Sirajul Huda Pelaihari. Al Habib Iberahim Baraqbah,  dan beberapa assatidzah lainnya.

Terkadang secara berkala takmir masjid mengundang muballigh-muballigh kondang nasional.  Diantara yang pernah diundang adalah Al Habib Nabil Fuad Al Musawwa, Al Ustadz Yahya Waloni, Syekh Ahmad Jaber,  dan yang lainnya.

Ketika itu sempat terbetik di hati rasa minder ketika pas kebetulan ada habaib atau assatidz yang datang.  Kita secara usia dan keilmuan mungkin jauh di bawah, hanya karena amanah dan kepercayaan sehingga harus berada di depan.

Ketika rasa minder ini saya ungkapkan kepada beberapa teman.  Ada satu pesan yang amat sangat berharga yang terhunjam sampai sekarang.  Pesan ini disampaikan oleh teman yang biasanya menjadi Imam badal di Masjid Quba yang kemudian dikutip lagi oleh Al Ustadz Mahfuz Daha,  Sang Marbot teladan yang menjadi andalan.

Kata beliau, _"Ketika kita dipilih menjadi Imam shalat jamaah, maka ketahuilah sesungguhnya saat itu kita tengah melanjutkan tugas dan pekerjaannya Rasulullah SAW.  Maka niatkan aktifitas kita itu untuk membahagiakan Rasulullah SAW.  Maka tidak perlu malu dan minder menjadi imam, siapapun yang di belakang kita"._

Saya coba renungkan perkataan itu ada benarnya juga.  Kata-kata itu semakna dengan apa yang pernah disampaikan salah seorang guru kami dalam sebuah kegiatan pembekalan guru.

Kata beliau, _"seorang guru itu harus sadar posisi.  Dia harus memahami betul posisi dia sebagai guru.  Dengan begitu dia akan paham bagaimana memantaskan dirinya di depan murid-muridnya.  Kemudian dia juga harus ngerti apa tugas dan fungsi dia sebagai guru.  Bahwa dia membawa misi besar dalam siklus perubahan peradaban"._

Maka ketika saya mengingat-ingat pesan tersebut.  Muncullah rasa percaya diri yang tinggi terhadap tugas yang diamanahkan kepada saya.  Berusaha memaksimalkan setiap moment yang ada agar sampai pada level ideal.

Akan berbeda ceritanya ketika saya masih belum sadar posisi saya. Maka walaupun realitas menjadi imam, namun mentalitas saya adalah makmum. Dalam dunia kerja kenyataannya sebagai leader tapi sikap dan pembawaan sebagai follower.  Harusnya dia sebagai bos justru dalam kenyataan yang dia kerjakan adalah tugas bawahannya.

Jika ini yang terjadi maka fungsi kepemimpinan tidak berjalan dengan baik.  Lalu program-program yang dijalankan juga akan terhambat. Akhirnya jauh lah kita dari kesuksesan.

So, sadar diri dan tahu diri itu penting. Karena dengan begitu kita akan mampu memposisikan diri sesuai dengan kedudukan (مكانۃ) kita masing-masing.  Selain itu seseorang yang memiliki kesadaran yang benar terhadap dirinya akan mampu mengambil amanah sesuai dengan kapabilitas yang dimilikinya.  Tidak akan melebihi atau menguranginya.

Dalam ilmu tauhid seringkali diungkapkan..

من عرف نفسه فقد عرف ربه

_Barang siapa mengenal dirinya, maka sugguh dia telah mengenal Tuhannya_

Sebagaimana pernah dikatakan juga oleh Umar bin Abdul Aziz :

 رحم الله امرأ عرف قدر نفسه .

_Semoga Allah merahmati seseorang yang mengetahui kadar kemampuan dirinya._

*Semoga Allah berikan hidayah kepada kita semua untuk menyadari potensi kita masing-masing.*

MERESTART ULANG KEHIDUPAN

* Oleh  : Abu Afra t.me/AbuAfraOfficial Terkadang ada orang yang ketika awal hijrahnya begitu bersemangat.  Dimana-mana selalu ngomong...