Minggu, 01 Maret 2020

DAKWAH ITU MERANGKUL BUKAN MEMUKUL


*Oleh : Abu Afra
_t.me/AbuAfraOfficial_

Dalam dunia dakwah seringkali kita temui beberapa aktifis begitu mudahnya melabeli seseorang dengan label negatif.  Kadang kurang teliti dalam mempelajari fakta yang sebenarnya.

Hanya karena track record di masa sebelumnya lalu si fulan dihukumi sama saja katanya.  Apakah benar demikian? Mari kita urai satu persatu.

Memberi label terhadap seseorang dengan label yang kurang makruf bukanlah perkara yang masyru.

Allah Ta’ala berfirman,

وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ

“Dan janganlah kamu saling memanggil dengan gelar (yang buruk)” (QS. Al-Hujuraat [49]: 11).

Pada asalnya, “laqab” (gelar atau julukan) itu bisa mengandung pujian dan bisa juga mengandung celaan.

Jika julukan tersebut mengandung pujian, inilah yang dianjurkan. Seperti, memanggil orang lain dengan “yang mulia”, “yang ‘alim (berilmu)”, “yang terhormat” dan sebagainya.

Namun jika julukan tersebut mengandung celaan, maka inilah maksud ayat di atas, yaitu hukumnya terlarang. Misalnya, memanggil orang lain dengan “orang pelit”, “orang hina”, “orang bodoh”, "orang munafiq" dan sejenisnya.

Meskipun itu adalah benar karena ada kekurangan (cacat) dalam fisiknya, tetap dilarang. Misalnya dengan memanggil orang lain dengan “si pincang”, “si mata juling”, “si buta”, dan sejenisnya.

Labeling ini marak dilakukan oleh orang sekarang.  Tujuannya untuk memframing lawan politik agar muncul image negatif dan ujung-ujungnya agar dikucilkan dalam pergaulan.

Harapannya tentu agar apapun pesan atau opini yang disampaikan oleh kelompok sebelah akan dapat dikalahkan.  Jahat sekali bukan?

Memvonis dengan label tertentu pada lawan politik tentu berbeda dengan menganalisa.  Dalam menganalisis kita tidak perlu menghakimi dan memvonis dengan sadis.  Yang kita lakukan hanyalah melihat kejadian-kejadian yang berakaitan.

Melihat dan mengamati apa yang ada di balik sesuatu lalu menyimpulkan secara matang.  Kritik yang dilakukan seorang analisis harus objektif dan fokus pada ide atau sistem yang rusak saja bukan pada orangnya.

Tujuannya jelas untuk memberikan edukasi kepada ummat.  Agar mereka semakin terbuka dan yakin terhadap kebenaran Islam.  Selanjutnya  meninggalkan kebathilan yang selama ini dikira sebagai kebenaran.

Jangan sampai seorang analis terjebak pada vonis sadis.  Lalu dampaknya bukan mencerdaskan malah semakin memperburuk citra Islam.  Lalu dikatakan orang-orang aktifis pergerakan Islam itu penyebar hoax dan fitnah murahan.

Ini harus kita hindari demi kemaslahatan dakwah di masa depan.  Rasul SAW saja tidak berani memvonis seseorang jika tidak ada perintah dari wahyu, walaupun beliau tahu siapa saja orang munafik di kota Madinah ketika itu.

Apalah lagi kita yang memiliki keterbatasan pandangan.  Terlalu gegabah jika sedikit-sedikit langsung mengatakan fulan itu ahli bid'ah, tukang fitnah dan segudang sebutan.

Alangkah bijaknya jika kita rasa ada yang salah dengan sikap dan pemikirannya maka yang kita koreksi pada bagian itu saja.  Jangan sampai niat baik beramar makruf nahi mungkar justru menjadi buyar gara-gara cara yang tidak benar.

Disinilah esensi dari pesan ilahi kita rasakan betapa pentingnya bagi para aktifis dakwah Islam khususnya,

Da’wah atau menyeru kepada Allah swt dan  merupakan sebuah kewajiban berdasarkan firman Allah swt :

ادْعُ إِلِى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُم بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ


_“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.”_

*(QS. An Nahl : 125)*

قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ

 _“Katakanlah: "Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata,”_

*(QS. Yusuf : 108)*

_“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.”_

*(QS. Al Imran : 104)*

Seorang da’i didalam melaksanakan kewajiban ini dituntut memiliki pengetahuan tentang keagamaan yang baik agar da’wahnya tidak jatuh kedalam kesalahan. Sebagaimana diketahui bahwa amal mengikuti ilmu dan ketika suatu amal tidak dibangun diatas landasan ilmu maka kerusakan yang ditimbulkannya akan lebih besar dari manfaat yang dihasilkannya.

Untuk itu seorang da’i diharuskan memahami pokok-pokok aqidah dan keislamannya lalu tsaqofah fikriyah sebagai bekal didalam da’wahnya.

Syeikh Mustafa Masyhur menyebutkan bahwa ada tiga tsaqofah fikriyah yang harus dimiliki seorang da’i :

1. Memahami islam secara betul dan menyeluruh yang memungkinkan dia dapat melaksanakan islam dengan pelaksanakan yang benar terhadap dirinya, dan dengan itu pula dia dapat menyampaikan islam dengan baik kepada orang lain. Dia mampu melaksanakan islam dan menyampaikan secara total, murni dan orisinil.

2. Para da’i mesti mengetahui kondisi dan situasi dunia islam dahulu dan sekarang, mengenal musuh-musuh islam dan mengetahui cara dan tindak-tanduknya.

Dia juga harus mengetahui peristiwa-peristiwa aktual yang mempengaruhi kondisi kaum muslimin dari dekat atau jauh. Mengetahui siapakah golongan yang bekerja di bidang da’wah islam, kecenderungan dan cara-cara mereka, bagamana bentuk kerja sama yang perlu dibuat bersama-sama dengan mereka, dan persoalan-persoalan lain yang patut diketahui oleh orang-orang yang aktif dalam gerakan islam.

3. Para da’i harus menyampaikan untuk memantapkan spesialisasi ilmu yang berkaitan dengan urusan hidup manusia seperti : ilmu kedokteran, teknik, pertanian, ekonomi, perusahaan dan lain-lainnya. Oleh akrena itu bagi seorang kader aqdah ia harus berusaha memperbaiki dan meningkatkan spesialisasi ilmu yang dimilikinya secara professional agar dia mendapat tempat dalam masyarakat dan dapat mengisi tempat-tempat kosong pada saat kita membangun dan menegakkan daulah islamiyah.

Patut di sini disebutkan bahwa sebagian besar ilmu pengetahuan modern sekarang ini telah dipelopori oleh para cendekiawan muslim zaman dahulu.

Karena agama islam mendorong umatnya untuk mencari ilmu dan belajar serta dapat menghubungkan ilmunya dengan Al Kholiq.

Tentunya mustahil bagi seseorang mencapai tingkat kesempurnaan didalam keilmuannya dikarenakan luasnya ilmu Allah swt.

Dengan begitu hendaklah setiap dai menyampaikan apa-apa yang telah diketahuinya secara baik kepada orang-orang yang belum mengetahuinya, dan inilah hakekat dari da’wah.

Dan dilarang bagi setiap da’i untuk menyampaikan sesuatu yang belum diketahui ilmunya secara baik khawatir terjatuh didalam kasalahan berdasarkan keumuman hadits Rasulullah saw, _”Sampaikanlah dariku walaupun hanya satu ayat.”_ (HR. Bukhori)

Satu ayat yang betul-betul diketahu
inya secara baik adalah amanah yang ada di pundaknya untuk disampaikan kepada orang-orang yang belum mengetahui satu ayat tersebut.

Jadi fokus saja pada wilayah yang kita kuasai yakni menyampaikan pesan-pesan dakwah seefektif mungkin agar diterima ummat.

Kita tidak disuruh menghakimi mereka yang tidak sejalan dengan kita.  Apalagi memberi label macam-macam yang malah membuat semakin jauh dan jaga jarak dengan dakwah.

Dakwah itu merangkul bukan memukul.  Maka lakukan dengan hikmah bukan dengan marah.  Ingat-ingat kita sedang melanjutkan tugas para nabi yang mulia.

Di depan kita ada titipan ummat yang harus diselamatkan, maka dakwahi dengan kasih sayang dan kelembutan.  Semoga dengan itu kelak mereka yang memusuhi justru berbalik menjadi pejuang kebenaran.

*Wallahu'alam*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MERESTART ULANG KEHIDUPAN

* Oleh  : Abu Afra t.me/AbuAfraOfficial Terkadang ada orang yang ketika awal hijrahnya begitu bersemangat.  Dimana-mana selalu ngomong...