Sabtu, 28 Maret 2020

MUHASABAH DI TENGAH WABAH


*Oleh : Abu Afra*
_t.me/AbuAfraOfficial_

Hari ini banyak wajah tertunduk lesu.  Perasaan sedih menggelayuti setiap qalbu orang yang beriman.  Tidak pernah terbayangkan sebelumnya, aktifitas ibadah berjamaah terhenti dan ditiadakan.

Semua bermuara pada satu sebab saja.  Persebaran virus berbahaya yang begitu masifnya.  Corona alias covid-19 telah mampu menjadi momok yang begitu ditakuti manusia sedunia.

 Allah berfirman di dalam Al Qur'an surat Ar Rum ayat 41 :

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, agar mereka merasakan sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).

Makhluk kecil yang tidak kasat mata ini lahir dari kerakusan sebagian manusia. Kini ia mampu merontokkan banyak perekonomian negara-negara adidaya.

Inilah ketika Allah telah berkehendak.  Fasad akan menimpa siapa saja diantara kita.  Ketika tindakan menyalahi aturan Tuhan tidak lagi dihiraukan.

Kita ingat pertama kali wabah ini muncul di Wuhan.  Sebuah kota maju di negeri para Taipan.  Bermula dari kebiasaan aneh penduduk Wuhan yang hobi mengkonsumsi sajian yang tidak lazim bagi kebanyakan orang.

Namun kemudian menyebar ke seluruh penjuru alam.  Bahkan ke negeri-negeri Islam.  Tempat-tempat ibadah kian menjadi sepi dan tak bertuan.  Fatwa Ulama se dunia pun menjadi sandaran.

Dari sini kita mulai sadar bahwa keburukan itu jika dibiarkan, maka ia akan menyebar dan menimpa siapa saja diantara kita tanpa sadar.

Adakah kita lupa? saat semua ini begitu mudahnya kita lakukan.  Kita begitu lalainya dan menyepelekan.  Diajak shalat berjamaah begitu malasnya.  Ikut kajian senantiasa mangkir dengan berbagai alasan.

Kini di saat semua pintu-pintu kebaikan bersama orang banyak itu tertutup.  Kita hadir dengan suara nyinyir bak pahlawan.  Seolah lebih alim dari para cendekiawan.  Oh ironisnya kawan.

Tidak kah kita malu saat kita menentang fatwa Ulama.  Menuding mereka dengan tuduhan hubbuddunya.  Seolah kita merasa lebih alim dan lebih sholeh dari mereka.

Sementara di hari-hari normal kita seakan tidak pernah peduli dengan yang namanya amal.  Kita lebih suka pergi ke Mall-Mall dibandingkan mengunjungi Mesjid dan Rumah Allah yang pintunya tak pernah di portal.

Ah sudahlah, nikmat itu akan begitu terasa saat ia sudah tiada.  Semoga nikmat berjama'ah, bersilah ukhuwah tidak dicabut selamanya dari kita.

Bagaimanapun Allah masih memberi kehidupan kepada kita.  Walaupun mungkin kehidupan sosial dan rasa aman telah tercerabut dari kita.  Tetaplah kita harus mensyukurinya.

Ingatkah kita saat saudara-saudara kita di Uighur mengalami hal yang sama.  Kita seolah tuli dan buta.  Menganggap itu hal biasa karena jauhnya jarak terpaut antara kita dengan mereka

Kini apa yang mereka alami sebagiannya sudah mulai kita rasakan.  Mesjid dan musholah mulai sulit kita akses.  Tempat-tempat keramaian walaupun bentuknya kebaikan mulai susah kita temukan.  Banyak majelis ilmu yang harus tutup.

Tidak kah ini mampu membuka mata hati kita.  Bahwa dulu sedikit sekali rasa syukur kita.  Saat kita diberi kemudahan untuk saling berkunjung.  Waktu kita malah habis di dalam ruang sempit dengan gadget kesayangan.

Kini saat semuanya harus _stay at home_.  Kita seakan berontak dan tidak terima.  Menyerang fatwa Ulama, menganggap remeh peran saudara-saudari kita tenaga medis yang tengah berjuang di garda terdepan.  Sungguh aneh bukan?

Saya teringat dengan sebuah pepatah Arab yang berbunyi,

*مَا يَبْلُغُ الْاَعْدَاءُ مِنْ جَاهِلِ, مَا يَبْلُغُ الْجَاهِلُ مِنْ نَفْسِهِ*

```"Musuh tidak dapat membinasakan orang bodoh, seperti orang bodoh membinasakan dirinya sendiri".```

Anjuran berdiam diri di rumah, _sosial distancing_ dan sebagainya dianggap angin lalu.  Seolah mereka paling paham tentang keselamatan dan kesehatan dibandingkan para ahli.

Demi alasan _egoisme_ diri seakan fatwa tak berarti.  Demi _euforia surgawi_ yang sifatnya pribadi, segala himbauan dianggap ajakan takut mati.

Inilah dunia saat ini, semua serba kebolak-balik.  Yang benar disalahkan dan yang salah dibenarkan.  Menjadi orang benar hari ini harus banyak bersabar.

Kadang bisa saja dianggap dungu oleh kalangan awam.  Bisa juga dianggap jelek oleh orang kebanyakan.  Karena pola pikir itu bergantung pada tingkat pengetahuan.  Jadi wajar beda sikap selama beda isi kepala.

Di tengah kondisi seperti ini sudah saatnya kita kembali.  Bertafakur menghisab diri.  Seberapa besar dosa dan kesalahan yang telah dilakukan.  Akankah amal kita telah cukup jika harus menghadap Sang Pencipta?

Kita tidak pernah tahu kapankah nikmat hidup ini tetap bersama kita.  Yang pasti dengan kondisi saat ini, setiap diri bisa saja saling mendahului menuju ajal diri.

Tetap waspada dan hati-hati.  Jangan _overpede_ apalagi _sok kebangetan_ tidak takut mati.  Karena ini bukan karakter orang beriman yang imannya bener. 

Ikhtiar jaga diri dan keluarga dengan mengikuti arahan para Ahli.  Tawakal tetap terpatri di dalam hati.  Insya Allah kita semuanya di selamatkan dari segala bala dan wabah ini.  Jangan kasih kendor dalam ketaatan.  Pastikan apapun kondisinya kita tetap dalam rel ketaatan.

_Tetap istiqomah berjuang demi tegaknya Islam._

_Allahumma Amiin_

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MERESTART ULANG KEHIDUPAN

* Oleh  : Abu Afra t.me/AbuAfraOfficial Terkadang ada orang yang ketika awal hijrahnya begitu bersemangat.  Dimana-mana selalu ngomong...