Jumat, 13 Maret 2020

MENIKAH ITU IBADAH, MAKA JALANI SESUAI SUNNAH


*Oleh : Abu Afra*
_t.me/AbuAfraOfficial_

Beberapa waktu yang lalu saya berdiskusi dengan seorang teman terkait masalah pernikahan.  Kebetulan waktu itu kami bertemu dalam satu forum dadakan.

Awalnya sekedar candaan ringan, namun kemudian berlanjut pada tahapan lebih serius dan menegangkan.  Pasalnya mulai mengungkap alasan kegagalan proses pernikahan sang kawan.

Rupanya beliau sudah tiga kali gagal dalam masa yang berdekatan.  Kegagalan pertama karena sang wali berat hati jika putrinya di bawa jauh ke luar pulau untuk ikut calon suami.

Kemudian kegagalan yang kedua, karena sang wali tersinggung setelah terungkap si kawan tadi pernah ta'aruf dengan akhwat lainnya.

Lanjut yang ketiga gagal lagi disebabkan keluarganya punya prinsip yang kokoh agar si kawan ini satu manhaj dengan mereka.

Secara garis besar dan sekilias mata memandang, batu sandungannya ada di keluarga mempelai akhwat.  Tapi setelah ditelisik lagi rupanya kesimpulan itu kurang tepat juga adanya.

Atas pengakuan yang bersangkutan, rupanya masih ada syubhat terkait motivasi dan obsesi dalam pernikahan.  Terutama sekali dalam hal kriteria calon pasangan.

Bagi doi agama itu nomor sekian setelah kecantikan.  Dengan alasan kalau kecantikan tidak sesuai harapan bagaimana bisa tentram?

Disinilah rupanya kekeliruan pertama dalam proses menuju biduk berumah tangga.  Selanjutnya ditambah lagi dengan kurang optimalnya peran perantara alias makcomblang pernikahan ketika menemui hambatan-hambatan.

Kecantikan itu memang menjadi salah satu pertimbangan yang disyariatkan dalam memilih pasangan.  Namun ia bukanlah ukuran paling pokok dan utama dalam menentukan pilihan.

Karena kecantikan itu relatif sifatnya.  Bagi mereka yang sudah menikah tentu sangat memahami mengenai hal ini.  Bagi yang belum memang kadang ada kebimbangan besar terkait masalah kecantikan fisik.

Seandainya mereka yang masih mengutamakan kecantikan sebagai standar utama pernikahan mau berpikir.  Maka dia akan menemukan secara pasti bahwa kecantikan fisik itu bukanlah tujuan dan penjamin kebahagiaan.

Lihat saja contoh fakta yang paling nyata.  Para artis papan atas, para selebritis itu kurang cantik apa lagi.  Mereka bak para bidadari surga.  Paras menawan, penampilan menarik perhatian semua orang.

Tapi apakah kemudian bisa menjamin rumah tangganya bahagia? Tidak sama sekali.  Bahkan angka perceraian sangat tinggi terjadi pada kalangan artis atau publik figur.

Mengapa hal itu bisa terjadi? karena sejatinya mendapatkan pasangan yang cantik secara fisik itu bukanlah tujuan.  Maka apabila ini dijadikan tujuan, kekecewaan demi kekecewaan akan datang pasca pernikahan.

Pernikahan bukanlah ikatan sementara sebagaimana pacaran.  Dimana yang terlihat hanya sisi baik dan menariknya saja dari masing-masing pasangan.  Ketika pernikahan terjadi semua akan terungkap secara terang benderang.

Karakter asli masing-masing akan dikenali secara pasti.  Karena ikatan ini meniscayakan pertemuan dalam segala kondisi.  Segala aib dan kecacatan akan terlihat.  Kekurangan diri juga akan tampak tanpa bisa ditutupi lagi.

Kita akan bertemu dengan pasangan kita bukan hanya pada saat dia berdandan saja.  Tetapi juga ketika dia baru terbangun dari tidurnya.  Saat kondisinya masih kusut tanpa polesan bedak atau make up yang kadang menipu mata.

Jika kecantikan yang menjadi alasan kita membangun sebuah pernikahan.  Maka bersiaplah untuk terus menerus dalam kekecewaan dan ketidakpuasan.

Untuk itulah seorang pemuda yang ingin menikah harus menyadari apa sebenarnya yang seharusnya dia cari dalam pernikahan.

Pernikahan bukanlah jalan pintas untuk menyalurkan syahwat kelaki-lakian.  Bukan pula ajang untuk gengsi-gengsian.  Berbangga-bangga di depan manusia atas kelebihan pasangan.

Pernikahan adalah ikatan yang suci sebagai penanda ketaatan kepada seruan Ilahi.  Bukti kongkrit atas klaim kecintaan kepada sunnah Nabi.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

النِّكَاحُ من سُنَّتِي فمَنْ لمْ يَعْمَلْ بِسُنَّتِي فَليسَ مِنِّي ، و تَزَوَّجُوا ؛ فإني مُكَاثِرٌ بِكُمُ الأُمَمَ

“Menikah adalah sunnahku, barangsiapa yang tidak mengamalkan sunnahku, bukan bagian dariku. Maka menikahlah kalian, karena aku bangga dengan banyaknya umatku (di hari kiamat) (HR. Ibnu Majah no. 1846, dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah no. 2383).

Menikah adalah satu bentuk ibadah yang memiliki durasi waktu terlama.  Maka karena ini ibadah, mestinya yang menjadi standar dalam menjalaninya adalah syariat agama.

Sebagaimana yang sudah kita pahami bersama bahwa syarat diterimanya ibadah itu setidaknya ada dua.  Niat yang benar dan cara yang bersesuaian dengan syariat.

Maka dalam hal pernikahan, seharusnya niat, obsesi, keinginan, standar dalam memutuskan atau cara memilih pasangan semuanya harus disandarkan pada hukum syara.  Bukan kepada hawa nafsu belaka.

Kita diperintahkan untuk menundukkan hawa nafsu kita demi mengikuti ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dalam hadits dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يَكُوْنَ هَوَاهُ تَبَعًا لِمَا جِئْتُ بِهِ

“Tidaklah beriman salah seorang di antara kalian sampai ia menundukkan hawa nafsunya untuk tunduk pada ajaran yang aku bawa.” (Diriwayatkan dalam kitab Al-Hujjah dengan sanad yang shahih menurut Imam Nawawi)

Hawa nafsu kita secara umum pastilah menghendaki kecantikan fisik yang sempurna.  Bahkan kadang di atas rata-rata. Tapi ketahuilah standar kecantikan yang berlebihan kadang menjadikan sebagian orang terlambat dalam mendapatkan jodohnya.

Al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لأَرْبَعٍ: لِمَـالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَالِهَا وَلِدِيْنِهَا، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ.

“Wanita dinikahi karena empat perkara; karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan agamanya; maka pilihlah wanita yang taat beragama, niscaya engkau beruntung.”

Kecantikan bukan berarti tidak penting.  Hanya saja perkara ini bukanlah sesuatu yang prinsip dalam hal memilih pasangan.

Bahkan beberapa salaf ada yang justru tidak menyenangi menikahi wanita yang terlalu cantik. Sebagai contoh diantaranya, Imam al-Munāwi berkata, “Salaf membenci wanita yang terlalu cantik karena hal itu (dapat) menimbulkan sikap kesewenangan pada diri wanita, yang akhirnya mengantarkannya kepada sikap perendahan sang pria.”[Faidhu'l Qadīr vol. III, hal. 271.]

Ada hadits yang menunjukan larangan menikahi wanita karena motivasi selain agama. Dari Abdu’Llah Ibn `Amr, Nabi ` bersabda

لاَ تُنكِحوا النساءَ لِحُسْنِهن فَلَعَلَّهُ يُرْدِيْهِنَّ، ولا لِمَالِهِنَّ فَلَعَلَّهُ يُطْغِيْهِنَّ وانكحوهن للدين. وَلَأَمَةٌ سوداء خَرْمَاءُ ذاتُ دِينٍ أَفْضَلُ

“Janganlah kalian menikahi para wanita karena kecantikan. Sebab bisa jadi kecantikan menjerumuskan mereka dalam kebinasaan. Dan janganlah kalian menikahi para wanita karena harta, karena bisa jadi harta menjadikan mereka berbuat hal-hal yang melampaui batas. Namun nikahilah para wanita karena agama mereka. Sesungguhnya seorang budak wanita yang hitam dan terpotong sebagian hidungnya dan dengan telinga yang berlubang namun agamanya baik itu lebih baik (untuk dinikahi).” [Riwayat Ibn Mājah, al-Bazzār dan al-Baihaqi.]

Menikahlah demi ibadah.  Berharap keberkahan dari proses menujunya maupun saat menjalaninya.  Syariat sebagai panduan agar selamat sampai tujuan.  Bukan hawa nafsu yang didahulukan.

Kecantikan bukan ukuran, dia bisa memudar dimakan masa dan penuaan.  Sementara ikatan pernikahan adalah jalan panjang menuju ridha Tuhan.  Perlu ikhlas dan kesabaran terhadap kekurangan pasangan.

Cantik menurut kita saat ini boleh jadi tidak cantik lagi di masa yang lain.  Cantik menurut kita, tapi boleh jadi biasa saja atau tidak cantik menurut orang lain.  Maka cukuplah ukuran kecantikan itu ketika kita merasa tentram dengan melihatnya.

Selanjutnya biarlah akhlak dan kesholehan sebagai pemutus paling utama dalam memilih pasangan sehidup sesurga.  Karena inilah jalan para pecinta yang diwariskan Al Mushtofa Sayyidina wa Maulana Muhammad SAW.

Semoga kita termasuk ummat baginda Nabi yang diakuinya berkat kesungguhan kita mengikuti sunnah-sunnahnya.

Terakhir sebagai bisyarah bagi para pemuda.  Kami nukilkan sebuah hadits yang mulia,

ثَلاَثَةٌ حَقٌّ عَلَى اللهِ عَوْنُهُمْ الْمُجَاهِدُ فِي سَبِيلِ اللهِ وَالمُكَاتَبُ الَّذِي يُرِيدُ الأَدَاءَ وَالنَّاكِحُ الَّذِي يُرِيدُ العَفَافَ

“Ada tiga orang yang Allah wajibkan atas diri-Nya untuk menolong mereka, Orang yang berjihad di jalan Allah, Budak yang memiliki perjanjian yang berniat memenuhi perjanjiannya, dan orang yang menikah dengan niat menjaga kesucian diri dari perzinahan.” [HR. At-Tirmidzi dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Shahihul Jami’: 3050]

Yakin saja, jika motivasi menikahnya sudah benar sesuai sunnah.  Insya Allah pasti dipermudah.  Nikah karena ibadah pasti berkah berlimpah.

*Barakallahufiikum*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MERESTART ULANG KEHIDUPAN

* Oleh  : Abu Afra t.me/AbuAfraOfficial Terkadang ada orang yang ketika awal hijrahnya begitu bersemangat.  Dimana-mana selalu ngomong...