Senin, 15 September 2025

Rp6,5 Juta Itu Punya Siapa?

 Oleh  : Muhammad Firianto, S.Pd.Gr., Lc, M.A., M.Pd, C.ISP, C.LQ

BPS bilang, pendapatan per kapita orang Indonesia Rp6,5 juta per bulan.

Terdengar keren. Seperti brosur bank: foto keluarga bahagia, rumah rapi, mobil mengilap.


Tapi pertanyaan sederhana: siapa yang betul-betul pegang Rp6,5 juta itu tiap bulan?


Rata-rata tabungan orang Indonesia? Hanya Rp4 jutaan. Itu pun saldo, bukan tabungan segar. Artinya: mayoritas rakyat sebenarnya hidup dari gaji ke gaji. Bahkan seringnya: dari pinjaman ke pinjaman.


Lalu lihat lagi garis kemiskinan. Standar BPS cuma Rp609 ribu per orang per bulan. Alias Rp20 ribu sehari. Jadi, kalau seseorang bisa hidup dengan uang Rp20 ribu sehari, ia resmi tidak miskin.


Coba bayangkan.

Rp20 ribu itu bisa untuk apa?


Nasi bungkus sederhana: Rp12 ribu.


Teh manis: Rp5 ribu.


Sisa Rp3 ribu? Mungkin cukup untuk permen karet.



Belum listrik. Belum ongkos. Belum sekolah anak. Belum pulsa.


Sekarang simulasi keluarga sederhana: ayah, ibu, dua anak.

Menurut BPS, cukup hidup dengan Rp2,436 juta sebulan.


Mari hitung yang nyata:


Makan sederhana 4 orang: Rp1,8 juta.


Listrik + air: Rp300 ribu.


Sekolah anak: Rp500 ribu.


Transportasi: Rp400 ribu.


Pulsa: Rp150 ribu.



Total: Rp3,15 juta.

Itu pun tanpa sakit, tanpa hajatan, tanpa bocor ban.

Masih berani bilang Rp2,4 juta itu cukup?


Faktanya, masih ada 23,85 juta orang hidup di bawah angka itu. Termasuk 2,38 juta orang dalam kemiskinan ekstrem.


Dan di ujung lain, 1% orang terkaya Indonesia menguasai 45% kekayaan nasional.


Gambaranya begini:


Di Jakarta Selatan, seseorang bingung pilih menu brunch. Salmon Norwegia atau kaviar Rusia? Kopi single origin di mejanya harganya sama dengan uang jajan sebulan anak sekolah di desa.


Di pinggiran Jawa Tengah, seorang ibu bingung pilih lauk. Tempe setengah papan atau telur satu butir dibagi tiga. Gas melon habis, terpaksa pakai tungku kayu lagi.



Keduanya sama-sama orang Indonesia. Sama-sama masuk hitungan rata-rata Rp6,5 juta per kapita tadi.


Sekarang bandingkan dengan masa Abbasiyah. Di Baghdad abad ke-9, negara lewat baitul mal menggaji guru, tentara, hingga penerjemah kitab. Orang sakit bukan hanya gratis biaya rumah sakit, tapi juga dikasih uang saku saat pulang. Ilmuwan dibayar emas seberat buku yang diterjemahkan.


Bahkan di masa Khalifah Utsman, istri-istri Nabi mendapat tunjangan 10.000 dirham per tahun. Khusus Aisyah, 15.000 dirham. Kalau dirupiahkan sekarang, setara Rp30–45 juta per bulan.


Di sini? Ada ibu rumah tangga yang menutup dapur dengan notifikasi pinjol.


Umar bin Khattab dulu, ketika rakyat lapar, beliau ikut lapar. Sampai wajahnya menghitam karena hanya makan roti kasar. Umar menolak makan daging sampai rakyat kenyang.


Sekarang? Ketika rakyat lapar, yang duluan datang justru iklan “Cairkan pinjaman cepat tanpa agunan”.


Itulah bedanya angka di atas kertas dengan kenyataan di meja makan. Bedanya per kapita di Excel dengan perut per kapita di dapur.



Selasa, 09 September 2025

Dakwah Bisa Gagal, Bukan Karena Isi, Tapi Karena Diksi

 Oleh  :  Muhammad Fitrianto, S.Pd.Gr, Lc, M.A., M.Pd

Belakangan ini ruang publik kita lebih sering gaduh bukan karena ide segar, melainkan karena salah ucap para tokoh. Ada pejabat yang terburu-buru berkomentar lalu menyinggung publik, ada pula tokoh agama yang keliru memilih diksi hingga ceramahnya memantik kontroversi. Di era digital, sekali lidah terpeleset, rekaman dapat diputar tanpa henti, menjadi abadi di jagat maya.

Fenomena ini menyadarkan kita bahwa kemampuan berbicara di depan publik bukan sekadar bonus, melainkan kebutuhan mendesak. Inilah urgensi ilmu retorika. Retorika bukan hanya seni merangkai kata, tetapi juga kebijaksanaan dalam menimbang, memilih, dan menyampaikan kalimat pada ruang dan waktu yang tepat.

Lidah Mendahului Pikiran

Dalam kajian psikologi bahasa, dikenal istilah slip of the tongue atau “terpeleset lidah.” Fenomena ini terjadi ketika koordinasi antara pikiran dan ucapan tidak selaras, sehingga kata yang meluncur berbeda dengan maksud sebenarnya.

Bentuknya bisa beragam: salah bunyi, salah susun, atau bahkan membocorkan isi hati yang tersembunyi. Freud berpendapat, kadang salah ucap bukan sekadar kecelakaan linguistik, melainkan refleksi batin yang tidak terkendali.

Contoh nyata bisa dilihat dari kasus Pendeta Gilbert Lumoindong yang pada 2024 harus mendatangi MUI untuk meminta maaf setelah potongan video ceramahnya viral dan dianggap menyinggung zakat serta salat. Ia mengakui ada “salah ucap, salah pengertian, salah diksi.” Potongan kata yang semestinya ringan, berubah menjadi bara yang menyulut sensitivitas antar-umat.  Ada pula kisah seorang santri yang terlalu bersemangat saat memimpin doa. Dengan lantang ia melafalkan,

 “Allahumma ghfir lil muslimin wal muslimat, wal mu’minin wal mu’minat, ustaz-ustaz kami, jamaah-jamaah kami, semuanya masuk neraka… ehhh… astaghfirullah… maksud saya masuk surga…”

Sekejap suasana hening, lalu pecah tawa jamaah. Niat hatinya tentu tidak demikian, namun diksi yang terlepas dari kendali mengubah suasana khusyuk menjadi gaduh. Niat baik pun buyar karena retorika yang rapuh.

Kedua peristiwa ini memperlihatkan satu hal: isi pesan bisa benar, niat bisa tulus, namun tanpa keterampilan retorika, hasilnya bisa fatal.

Retorika dalam Dakwah

Lebih jauh dari panggung politik, retorika adalah kunci utama dakwah. Seorang dai tidak cukup hanya menyampaikan kebenaran, tetapi juga harus mampu mengemasnya dengan bahasa yang menyentuh hati. Kebenaran yang disampaikan dengan kasar sering kali ditolak, sementara nasihat yang sama, bila dibungkus kelembutan, dapat menggerakkan jiwa.

Al-Qur’an menegaskan hal ini:

ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُم بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ

“Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasihat yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik.” (QS. An-Nahl: 125)

Ayat ini adalah fondasi retorika Islami: hikmah, nasihat yang indah, dan dialog yang santun. Rasulullah adalah teladan dalam hal ini. Beliau menegur sahabat dengan kelembutan, bukan caci maki. Bahkan saat ada seorang Arab Badui buang air kecil di masjid, beliau tidak menghardik, melainkan menunggu selesai lalu menasihati dengan hikmah. Inilah kekuatan retorika: merangkul hati, bukan melukai.

Menjaga Lisan, Menjaga Marwah

Pepatah Arab menyebutkan:

زلة اللسان أشد من زلة القدم

“Tergelincirnya lidah lebih berbahaya daripada tergelincirnya kaki.”

Kaki yang salah langkah hanya membuat kita jatuh, tetapi lidah yang salah ucap dapat menjatuhkan martabat, meretakkan ukhuwah, bahkan melemahkan dakwah.

Maka, belajar retorika bukanlah pelajaran usang, melainkan kebutuhan nyata. Ia adalah pagar agar lisan tidak menjadi bumerang, sekaligus sayap agar pesan kebenaran dapat terbang jauh, menembus hati umat.  Wallahu musta’an



 

Senin, 08 September 2025

Menggugat Sistem: Mengapa Koruptor Terus Lahir dari Rahim Demokrasi?

Oleh: Muhammad Fitrianto, S.Pd.Gr, Lc, M.A.,M.Pd, C.ISP, C.LQ

21 Agustus 2025. Media kembali heboh. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap Immanuel Ebenezer, Wakil Menteri Ketenagakerjaan, karena dugaan suap dalam perizinan sertifikasi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3). Publik pun terhenyak. Namun, ini bukanlah kabar baru. Kasus korupsi selalu muncul dengan pola serupa: hanya nama, jabatan, dan modus yang berubah.

Immanuel Ebenezer Gerungan atau Bang Noel, mantan Wakil Menteri Ketenagakerjaan, resmi ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK dalam kasus pemerasan sertifikasi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) setelah operasi tangkap tangan pada Agustus 2025. Dalam kasus ini, tarif resmi sebesar Rp 275 ribu dipungut hingga Rp 6 juta, dengan total dugaan aliran dana mencapai Rp 81 miliar. Dari jumlah tersebut, sekitar Rp 3 miliar diduga masuk ke Noel hanya dua bulan setelah ia dilantik, disertai gratifikasi berupa motor mewah Ducati. OTT tersebut juga menghasilkan penyitaan uang tunai, valuta asing, serta puluhan kendaraan mewah. Ironisnya, Noel yang sebelumnya vokal mendorong hukuman mati bagi koruptor justru kini terjerat kasus serupa.

Awal September, sorotan korupsi kian tajam dengan pengusutan dugaan korupsi dana/kuota haji 2023–2024: KPK menyita uang USD 1,6 juta (sekitar Rp 26 miliar), empat mobil, dan lima bidang tanah, serta memeriksa pejabat terkait di Kemenag dan BPKH. Kerugian negara diperkirakan mencapai sekitar Rp 1 triliun, diduga bermula dari pembagian kuota tambahan yang tak sesuai proporsi reguler-khusus. Tiga pihak dicegah ke luar negeri, sementara pemeriksaan lanjutan menyasar distribusi kuota, pencairan BPIH, dan aliran dana penyelenggara ke pejabat.

Imbas sosialnya nyata: ribuan jemaah yang sudah menanti belasan tahun dilaporkan tertunda keberangkatannya akibat kekacauan kuota. Di sisi masyarakat sipil, ICW melaporkan indikasi korupsi pengelolaan dana/layanan masyair-katering Haji 2025, termasuk dugaan persaingan usaha tidak sehat pada penunjukan penyedia. Ini memperkuat tesis bahwa perizinan, kuota, dan layanan publik bernilai besar sangat rentan dijadikan ladang rente.

Pada sektor pendidikan, Kejaksaan Agung mengusut dugaan korupsi program digitalisasi pendidikan—pengadaan laptop Chromebook 2019–2022/2020–2025—dengan estimasi kerugian sekitar Rp 1,9 triliun. Penyidik menilai penguncian spesifikasi OS dalam regulasi teknis memicu pelanggaran pengadaan dan mengurangi kesesuaian perangkat bagi guru-siswa, terutama di wilayah 3T. Perkembangan terbaru menyebut penetapan tersangka baru dan penelusuran komunikasi/korespondensi kebijakan dengan pihak prinsipal teknolog

Data Laporan Tahunan KPK 2023 menunjukkan lebih dari 70% kasus korupsi di Indonesia terkait perizinan dan pengadaan barang/jasa. Dari izin tambang, hutan, migas, hingga usaha kecil—semuanya dapat diperjualbelikan. Sistem birokrasi yang berlapis dan sarat kepentingan politik telah menjadi lahan subur praktik rente.


Akar Masalah: Sekularisme yang Merusak

Mengapa korupsi sulit diberantas? Karena akarnya ada pada sistem sekuler yang kita anut. Dalam sistem demokrasi sekuler, kekuasaan dianggap sebagai sarana meraih keuntungan. Biaya politik yang tinggi mendorong pejabat untuk “mengembalikan modal” dengan memperjualbelikan kebijakan.

Korupsi di negeri ini seolah tidak ada habisnya. Dari kasus kecil di jalanan hingga mega skandal miliaran rupiah, dari pejabat rendah hingga menteri, semua pernah tercatat dalam lembar hitam republik. Setiap kali satu kasus terbongkar, publik selalu kembali mengulang pertanyaan klasik: apa akar masalah korupsi?

 Jawaban yang muncul bermacam-macam. Ada yang menyalahkan hukum yang lemah, ada yang menuding rendahnya integritas pejabat, bahkan ada pula yang mengeluh bahwa bangsa ini punya budaya korup yang mendarah daging. Namun, jika kita gali lebih dalam, semua jawaban itu hanyalah menyinggung permukaan. Akar sesungguhnya jauh lebih dalam: sekularisme.

Bukan Hukum yang Lemah, Tapi Sistem yang Cacat

            Hukum bisa seketat apapun, aparat bisa sekeras apapun, namun jika sistem yang menopang kehidupan bernegara melepaskan diri dari nilai ilahi, celah korupsi akan selalu terbuka. Sekularisme—dengan memisahkan agama dari kehidupan publik—mencabut akar moral yang seharusnya mengikat manusia pada kesadaran transenden. Dalam sistem sekuler, korupsi dipandang sebatas pelanggaran hukum buatan manusia. Jika lolos dari jerat hukum, ia dianggap selesai. Padahal dalam pandangan Islam, setiap penyalahgunaan amanah adalah pengkhianatan, meskipun tidak ada satu pun saksi di bumi.

Allah Swt. berfirman:

 وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِّنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ

“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 188)

Ilusi Bersihnya Negara Sekuler

Banyak yang menantang: “Kalau sekularisme itu akar korupsi, kenapa negara-negara sekuler justru lebih bersih? Lihat saja Skandinavia, indeks korupsinya rendah.” Sekilas argumen ini memikat. Tapi mari kita bongkar. Corruption Perception Index (CPI) yang sering dijadikan rujukan hanyalah ukuran persepsi, bukan fakta absolut. Ia mengandalkan opini para pebisnis dan analis, bukan data riil.  

Akibatnya, praktik legalized corruption—seperti lobi politik miliaran dolar untuk mengamankan regulasi—tidak pernah masuk hitungan, padahal jelas-jelas merugikan rakyat. Negara sekuler memang berhasil menekan petty corruption (suap kecil di jalanan), tapi mereka tetap bergelut dengan grand corruption dalam bentuk monopoli, eksploitasi global, dan legalisasi riba. Bersih di permukaan, tapi keropos di dalam.

Komunisme: Bersih dengan Represi

Ada pula yang berargumen: “Kalau begitu, sistem komunis lebih efektif. Lihat Tiongkok atau Korea Utara, korupsinya ditekan dengan keras.” Benar, rezim komunis kerap menindak korupsi dengan tangan besi. Namun, kebersihan itu semu. Transparansi nyaris nihil, informasi dikontrol ketat, dan korupsi justru berpindah ke lingkaran elit partai. Angka korupsi terlihat rendah bukan karena masalah selesai, tapi karena fakta disembunyikan.

Islam berbeda. Ia tidak menghapus korupsi dengan represi buta, melainkan membangun kesadaran ilahiah dalam individu, menghidupkan kontrol masyarakat, dan menegakkan hukum Allah tanpa pandang bulu.

Budaya Korup: Kambing Hitam yang Menyesatkan

Sering juga kita mendengar tudingan: “Orang Indonesia memang dasarnya punya budaya korup. Dari kecil sudah terbiasa nyolong waktu atau menyelip antrean.” Sekilas masuk akal, tapi keliru. Jika budaya adalah akar, seharusnya semua bangsa dengan kultur permisif akan sama-sama korup. Faktanya tidak. Banyak negara dengan budaya santai tetap bisa membangun sistem bersih ketika hukum ditegakkan dengan konsisten.

Budaya bukan entitas abadi, melainkan produk dari sistem nilai. Ketika sekularisme dijadikan fondasi, budaya permisif terhadap pelanggaran lahir secara alami. Jadi, bukan budaya sebagai akar masalah, melainkan sekularisme yang melahirkan budaya korup itu sendiri.

Kitab Ajhizah Dawlat al-Khilafah menggambarkan fenomena ini:

"وَإِنَّ الدِّيمُوقْرَاطِيَّةَ نَفْسَهَا تُنْتِجُ الْفَسَادَ، لِأَنَّهَا جَعَلَتِ السُّلْطَانَ وَالْمَنَاصِبَ وَسِيلَةً لِجَنْيِ الْمَنَافِعِ، فَتَحَوَّلَتِ الدَّوْلَةُ إِلَى مَصْدَرِ رِيعٍ لِلْمُتَسَلِّطِينَ."

“Sesungguhnya demokrasi itu sendiri melahirkan korupsi, karena ia menjadikan kekuasaan dan jabatan sebagai sarana meraih keuntungan, sehingga negara berubah menjadi sumber rente bagi para penguasa.”
(Ajhizah Dawlat al-Khilafah, Bab "Niẓām al-Ḥukm al-Islāmī", hlm. 21, Hizb ut-Tahrir, 2005).

Allah SWT pun telah memperingatkan:

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ ٱللَّهُ فَأُو۟لَـٰٓئِكَ هُمُ ٱلْفَـٰسِقُونَ

“Barangsiapa tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang fasik.” (QS. Al-Māidah [5]:47).

 Pandangan Islam: Korupsi adalah Dosa Besar

Islam tidak hanya memandang korupsi sebagai pelanggaran hukum, tetapi juga dosa besar yang berlapis:

1.      Ghulul (penggelapan harta negara):

وَمَن يَغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Barangsiapa berkhianat (menggelapkan harta rampasan), maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu.” (QS. Āli ‘Imrān [3]:161).

2.      Risywah (suap):

«لَعْنَةُ اللهِ عَلَى الرَّاشِي وَالْمُرْتَشِي»

“Laknat Allah atas penyuap dan penerima suap.” (HR. Abū Dāwud no. 3580, at-Tirmiżī no. 1337).

 3.      Khiyānah (pengkhianatan amanah):

Rasulullah ﷺ bersabda:

«إِذَا ضُيِّعَتِ الْأَمَانَةُ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ»

“Jika amanah disia-siakan, tunggulah kehancuran.” (HR. al-Bukhārī no. 6496).

Ibn Khaldun menegaskan dalam Muqaddimah:

"إِذَا فَسَدَ الْمَالُ فِي الدَّوْلَةِ فَسَدَتْ أَخْلَاقُ أَهْلِهَا، وَزَالَتْ دَوْلَتُهُمْ."

“Jika harta negara rusak, maka rusaklah akhlak rakyatnya, dan hancurlah negara itu.”
(Muqaddimah, Bab IV, hlm. 285, Dār al-Fikr, 2004).

 Solusi Islam: Mencegah dari Hulu, Menindak Tegas di Hilir

Islam menghadirkan solusi komprehensif yang tidak hanya mengobati gejala, tetapi juga menutup jalan terjadinya korupsi.  Islam melihat korupsi lebih luas daripada sekadar pelanggaran hukum. Ia adalah pengkhianatan terhadap amanah Allah. Karena itu, solusinya bersifat menyeluruh:

1. Individu yang takut pada Allah – ia jujur meski tak ada CCTV.

2. Masyarakat yang peduli amar ma’ruf nahi munkar – kontrol sosial berjalan alami.

3. Negara yang menegakkan hukum Allah secara total – tanpa kompromi dan negosiasi.

Allah Swt. menegaskan kewajiban menunaikan amanah:

إِنَّ ٱللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤدُّوا ٱلْأَمَٰنَٰتِ إِلَىٰٓ أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُم بَيْنَ ٱلنَّاسِ أَن تَحْكُمُوا بِٱلْعَدْلِ

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkannya dengan adil.” (QS. An-Nisa: 58)

Rasulullah pun bersabda:

 آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ: إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ

“Tanda orang munafik ada tiga: apabila berbicara ia berdusta, apabila berjanji ia mengingkari, dan apabila diberi amanah ia berkhianat.” (HR. Bukhari dan Muslim) Inilah yang disebut Islam kaffah: sistem yang menutup rapat ruang hidup korupsi, dari hati manusia hingga meja birokrasi. Disamping itu Islam memiliki perangkat yang lengkap untuk mencegak tindak pidana korupsi secara preventif dari sistem ekonomi dan pemerintahannya.

 Hal tersebut dapat kita lihat dari adanya beberapa hal yang ada dalam konsep Pemerintahan Islam seperti berikut ini :

1. Adanya Baitul Mal: Transparansi Keuangan Negara

"كُلُّ مَالٍ وَجَبَ عَلَى الْمُسْلِمِينَ أَوْ لِبَيْتِ مَالِ الْمُسْلِمِينَ فَإِنَّهُ يُوضَعُ فِي بَيْتِ الْمَالِ، وَيُصْرَفُ مِنْهُ عَلَى مَا أَوْجَبَهُ الشَّرْعُ."

“Setiap harta yang menjadi kewajiban atas kaum Muslimin atau milik Baitul Mal kaum Muslimin, maka harta itu harus ditempatkan di Baitul Mal, dan dibelanjakan sesuai dengan yang diwajibkan syara’.”
(Al-Amwāl fī Dawlat al-Khilāfah, Bab "Baitul Māl", hlm. 37-39, Dār al-Ummah, 2004).

2. Adanya Hisbah: Pengawasan Tanpa Kompromi

"وَيَنْبَغِي أَنْ يَكُونَ الْوَالِي أَمِينًا فِي أَمْوَالِ الْمُسْلِمِينَ، قَائِمًا عَلَيْهَا بِالْعَدْلِ."

“Seorang penguasa harus amanah terhadap harta kaum Muslimin dan menegakkannya dengan keadilan.”
(Al-Aḥkām as-Sulṭāniyyah, Bab "Ḥisbah", hlm. 233, Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah).

3. Adanya Sanksi Tegas dan Efektif

Hudud diterapkan untuk pencurian (QS. Al-Māidah [5]:38), dan ta‘zīr keras untuk pengkhianatan jabatan, bahkan hukuman mati jika membahayakan umat. Ibn Taymiyyah berkata:

"إِنَّ اللهَ يُقِيمُ الدَّوْلَةَ الْعَادِلَةَ وَإِنْ كَانَتْ كَافِرَةً، وَلاَ يُقِيمُ الظَّالِمَةَ وَإِنْ كَانَتْ مُسْلِمَةً."

“Sesungguhnya Allah menegakkan negara yang adil meskipun kafir, dan tidak menegakkan negara yang zalim sekalipun mengaku Muslim.”
(Al-Siyāsah as-Syar‘iyyah, Bab "al-‘Uqūbāt", hlm. 50, Dār al-‘Arabī).

 Sejarah Bicara: Umar bin Khattab Ra.

Pada masa Khalifah Umar bin Khattab, seorang gubernur bernama Sa‘īd bin ‘Āmir dilaporkan memiliki harta berlebih. Umar segera memeriksanya, menyita harta yang tidak wajar, dan mengembalikannya ke Baitul Mal tanpa sidang panjang dan tanpa kompromi politik

Kesimpulan

Korupsi di negeri ini tak akan berhenti hanya dengan OTT sesaat. Selama sistem sekuler yang mahal dan transaksional dipertahankan, korupsi akan terus hidup dengan wajah baru. Islam menawarkan solusi menyeluruh: Baitul Mal yang transparan, Hisbah yang tegas, hukuman yang efektif, dan kepemimpinan yang amanah.

Menyalahkan budaya hanyalah kambing hitam. Menyalahkan hukum yang lemah hanyalah menyentuh gejala. Sekularisme—yang memisahkan agama dari kehidupan—adalah akar yang melahirkan semua itu.

Negara sekuler mungkin tampak bersih di data, komunis mungkin terlihat tegas di permukaan, tapi keduanya gagal membersihkan korupsi dari akarnya. Islam kaffah-lah yang mampu, sebab ia mengikat individu, menguatkan masyarakat, dan menegakkan hukum Allah yang tak bisa ditawar.

Selama sekularisme masih menjadi napas negeri ini, korupsi hanya akan berganti wajah. Namun saat Islam kaffah ditegakkan, korupsi bukan hanya ditakuti hukum, tapi juga ditolak nurani, diawasi masyarakat, dan dihisab Allah di akhirat kelak.

وَإِنْ حَكَمْتَ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِالْقِسْطِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

 “Apabila kamu memutuskan perkara di antara mereka, maka putuskanlah dengan adil. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang adil.” (QS. Al-Māidah [5]:42).

Kini, pilihan ada pada kita: terus menjadi penonton drama korupsi, atau memperjuangkan tegaknya solusi hakiki—Islam kaffah dalam bingkai Khilafah.  Wallahu Musta’an.

DAFTAR PUSTAKA

1.      KPK, Laporan Tahunan 2023.

2.      Detik News – Noel Jadi Tersangka, Legislator Yakin Presiden Serius Berantas Korupsi

3.      Taqiyuddin an-Nabhani, Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam, Dār al-Ummah, 1953.

4.      Hizb ut-Tahrir, Ajhizah Dawlat al-Khilafah, Bab Niẓām al-Ḥukm al-Islāmī, hlm. 21, 2005.

5.      Al-Amwāl fī Dawlat al-Khilāfah, Bab Baitul Māl, hlm. 37-39, Dār al-Ummah, 2004.

6.      Imam Asy-Syafi’i, Al-Umm, Juz IV, hlm. 142, Dār al-Ma’rifah.

7.      Al-Mawardi, Al-Aḥkām as-Sulṭāniyyah, Bab Ḥisbah, hlm. 233, Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

8.      Ibn Taymiyyah, Al-Siyāsah as-Syar‘iyyah, Bab al-‘Uqūbāt, hlm. 50, Dār al-‘Arabī.

9.      Ibn Sa‘d, Ṭabaqāt al-Kubrā, Juz III, hlm. 280, Dār Ṣādir.

10.  Ibn Khaldun, Muqaddimah, Bab IV, hlm. 285, Dār al-Fikr, 2004.

11.  CNBC Indonesia – “Saksi Kasus Korupsi Laptop Nadiem Makarim, Google Bilang Begini,” 8 September 2025

12.  CW – “ICW Laporkan Dugaan Korupsi Pengelolaan Dana Haji Tahun 2025 di Kemenag ke KPK,” 4–5 Agustus 2025

 

Generasi Muda Muslim di Pusaran Dunia Digital

Teknologi digital kini menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan generasi muda muslim. Riset We Are Social dan Data Reportal 2025 menunj...