Oleh : Muhammad Fitrianto, S.Pd.Gr, Lc, M.A., M.Pd
Belakangan ini ruang publik kita lebih sering gaduh bukan karena
ide segar, melainkan karena salah ucap para tokoh. Ada pejabat yang
terburu-buru berkomentar lalu menyinggung publik, ada pula tokoh agama yang
keliru memilih diksi hingga ceramahnya memantik kontroversi. Di era digital,
sekali lidah terpeleset, rekaman dapat diputar tanpa henti, menjadi abadi di
jagat maya.
Fenomena ini menyadarkan kita bahwa kemampuan berbicara di depan
publik bukan sekadar bonus, melainkan kebutuhan mendesak. Inilah urgensi ilmu
retorika. Retorika bukan hanya seni merangkai kata, tetapi juga kebijaksanaan
dalam menimbang, memilih, dan menyampaikan kalimat pada ruang dan waktu yang
tepat.
Lidah Mendahului Pikiran
Dalam kajian psikologi bahasa, dikenal istilah slip of the tongue
atau “terpeleset lidah.” Fenomena ini terjadi ketika koordinasi antara pikiran
dan ucapan tidak selaras, sehingga kata yang meluncur berbeda dengan maksud
sebenarnya.
Bentuknya bisa beragam: salah bunyi, salah susun, atau bahkan
membocorkan isi hati yang tersembunyi. Freud berpendapat, kadang salah ucap
bukan sekadar kecelakaan linguistik, melainkan refleksi batin yang tidak
terkendali.
Contoh nyata bisa dilihat dari kasus Pendeta Gilbert Lumoindong yang pada 2024 harus mendatangi MUI untuk meminta maaf setelah potongan video ceramahnya viral dan dianggap menyinggung zakat serta salat. Ia mengakui ada “salah ucap, salah pengertian, salah diksi.” Potongan kata yang semestinya ringan, berubah menjadi bara yang menyulut sensitivitas antar-umat. Ada pula kisah seorang santri yang terlalu bersemangat saat memimpin doa. Dengan lantang ia melafalkan,
“Allahumma ghfir lil
muslimin wal muslimat, wal mu’minin wal mu’minat, ustaz-ustaz kami,
jamaah-jamaah kami, semuanya masuk neraka… ehhh… astaghfirullah… maksud saya
masuk surga…”
Sekejap suasana hening, lalu pecah tawa jamaah. Niat hatinya tentu
tidak demikian, namun diksi yang terlepas dari kendali mengubah suasana khusyuk
menjadi gaduh. Niat baik pun buyar karena retorika yang rapuh.
Kedua peristiwa ini memperlihatkan satu hal: isi pesan bisa benar,
niat bisa tulus, namun tanpa keterampilan retorika, hasilnya bisa fatal.
Retorika dalam Dakwah
Lebih jauh dari panggung politik, retorika adalah kunci utama
dakwah. Seorang dai tidak cukup hanya menyampaikan kebenaran, tetapi juga harus
mampu mengemasnya dengan bahasa yang menyentuh hati. Kebenaran yang disampaikan
dengan kasar sering kali ditolak, sementara nasihat yang sama, bila dibungkus
kelembutan, dapat menggerakkan jiwa.
Al-Qur’an menegaskan hal ini:
ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ
الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُم بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
“Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasihat yang
baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik.” (QS. An-Nahl: 125)
Ayat ini adalah fondasi retorika Islami: hikmah, nasihat yang indah, dan dialog yang santun. Rasulullah ﷺ adalah teladan dalam hal ini. Beliau menegur sahabat dengan kelembutan, bukan caci maki. Bahkan saat ada seorang Arab Badui buang air kecil di masjid, beliau tidak menghardik, melainkan menunggu selesai lalu menasihati dengan hikmah. Inilah kekuatan retorika: merangkul hati, bukan melukai.
Menjaga Lisan, Menjaga Marwah
Pepatah Arab menyebutkan:
زلة اللسان أشد من زلة القدم
“Tergelincirnya lidah lebih berbahaya daripada tergelincirnya
kaki.”
Kaki yang salah langkah hanya membuat kita jatuh, tetapi lidah yang
salah ucap dapat menjatuhkan martabat, meretakkan ukhuwah, bahkan melemahkan
dakwah.
Maka, belajar retorika bukanlah pelajaran usang, melainkan
kebutuhan nyata. Ia adalah pagar agar lisan tidak menjadi bumerang, sekaligus
sayap agar pesan kebenaran dapat terbang jauh, menembus hati umat. Wallahu musta’an

Tidak ada komentar:
Posting Komentar