Oleh: Muhammad Fitrianto, S.Pd.Gr, Lc, M.A.,M.Pd, C.ISP, C.LQ
21 Agustus 2025. Media kembali heboh. Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) menangkap Immanuel Ebenezer, Wakil Menteri Ketenagakerjaan, karena dugaan
suap dalam perizinan sertifikasi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3). Publik
pun terhenyak. Namun, ini bukanlah kabar baru. Kasus korupsi selalu muncul
dengan pola serupa: hanya nama, jabatan, dan modus yang berubah.
Immanuel Ebenezer Gerungan atau Bang Noel, mantan Wakil Menteri
Ketenagakerjaan, resmi ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK dalam kasus
pemerasan sertifikasi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) setelah operasi
tangkap tangan pada Agustus 2025. Dalam kasus ini, tarif resmi sebesar Rp 275
ribu dipungut hingga Rp 6 juta, dengan total dugaan aliran dana mencapai Rp 81
miliar. Dari jumlah tersebut, sekitar Rp 3 miliar diduga masuk ke Noel hanya
dua bulan setelah ia dilantik, disertai gratifikasi berupa motor mewah Ducati.
OTT tersebut juga menghasilkan penyitaan uang tunai, valuta asing, serta
puluhan kendaraan mewah. Ironisnya, Noel yang sebelumnya vokal mendorong
hukuman mati bagi koruptor justru kini terjerat kasus serupa.
Awal September, sorotan korupsi kian tajam dengan pengusutan dugaan
korupsi dana/kuota haji 2023–2024: KPK menyita uang USD 1,6 juta (sekitar Rp 26
miliar), empat mobil, dan lima bidang tanah, serta memeriksa pejabat terkait di
Kemenag dan BPKH. Kerugian negara diperkirakan mencapai sekitar Rp 1 triliun,
diduga bermula dari pembagian kuota tambahan yang tak sesuai proporsi
reguler-khusus. Tiga pihak dicegah ke luar negeri, sementara pemeriksaan
lanjutan menyasar distribusi kuota, pencairan BPIH, dan aliran dana
penyelenggara ke pejabat.
Imbas sosialnya nyata: ribuan jemaah yang sudah menanti belasan
tahun dilaporkan tertunda keberangkatannya akibat kekacauan kuota. Di sisi
masyarakat sipil, ICW melaporkan indikasi korupsi pengelolaan dana/layanan
masyair-katering Haji 2025, termasuk dugaan persaingan usaha tidak sehat pada
penunjukan penyedia. Ini memperkuat tesis bahwa perizinan, kuota, dan layanan
publik bernilai besar sangat rentan dijadikan ladang rente.
Pada sektor pendidikan, Kejaksaan Agung mengusut dugaan korupsi
program digitalisasi pendidikan—pengadaan laptop Chromebook
2019–2022/2020–2025—dengan estimasi kerugian sekitar Rp 1,9 triliun. Penyidik
menilai penguncian spesifikasi OS dalam regulasi teknis memicu pelanggaran
pengadaan dan mengurangi kesesuaian perangkat bagi guru-siswa, terutama di
wilayah 3T. Perkembangan terbaru menyebut penetapan tersangka baru dan
penelusuran komunikasi/korespondensi kebijakan dengan pihak prinsipal teknolog
Data Laporan Tahunan KPK 2023 menunjukkan lebih dari 70% kasus
korupsi di Indonesia terkait perizinan dan pengadaan barang/jasa. Dari izin
tambang, hutan, migas, hingga usaha kecil—semuanya dapat diperjualbelikan.
Sistem birokrasi yang berlapis dan sarat kepentingan politik telah menjadi
lahan subur praktik rente.
Mengapa korupsi sulit diberantas? Karena akarnya ada pada sistem
sekuler yang kita anut. Dalam sistem demokrasi sekuler, kekuasaan dianggap sebagai
sarana meraih keuntungan. Biaya politik yang tinggi mendorong pejabat
untuk “mengembalikan modal” dengan memperjualbelikan kebijakan.
Korupsi di negeri ini seolah tidak ada habisnya. Dari kasus kecil
di jalanan hingga mega skandal miliaran rupiah, dari pejabat rendah hingga
menteri, semua pernah tercatat dalam lembar hitam republik. Setiap kali satu
kasus terbongkar, publik selalu kembali mengulang pertanyaan klasik: apa akar
masalah korupsi?
Jawaban yang muncul bermacam-macam. Ada yang menyalahkan
hukum yang lemah, ada yang menuding rendahnya integritas pejabat, bahkan ada
pula yang mengeluh bahwa bangsa ini punya budaya korup yang mendarah daging.
Namun, jika kita gali lebih dalam, semua jawaban itu hanyalah menyinggung
permukaan. Akar sesungguhnya jauh lebih dalam: sekularisme.
Bukan Hukum yang Lemah, Tapi Sistem yang Cacat
Hukum bisa
seketat apapun, aparat bisa sekeras apapun, namun jika sistem yang menopang
kehidupan bernegara melepaskan diri dari nilai ilahi, celah korupsi akan selalu
terbuka. Sekularisme—dengan memisahkan agama dari kehidupan publik—mencabut
akar moral yang seharusnya mengikat manusia pada kesadaran transenden. Dalam
sistem sekuler, korupsi dipandang sebatas pelanggaran hukum buatan manusia.
Jika lolos dari jerat hukum, ia dianggap selesai. Padahal dalam pandangan
Islam, setiap penyalahgunaan amanah adalah pengkhianatan, meskipun tidak ada
satu pun saksi di bumi.
Allah Swt. berfirman:
وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم
بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِّنْ
أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ
“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain
dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada
hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta orang lain itu dengan
jalan dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 188)
Ilusi Bersihnya Negara Sekuler
Banyak yang menantang: “Kalau sekularisme itu akar korupsi, kenapa negara-negara
sekuler justru lebih bersih? Lihat saja Skandinavia, indeks korupsinya rendah.”
Sekilas argumen ini memikat. Tapi mari kita bongkar. Corruption Perception
Index (CPI) yang sering dijadikan rujukan hanyalah ukuran persepsi, bukan fakta
absolut. Ia mengandalkan opini para pebisnis dan analis, bukan data riil.
Akibatnya, praktik legalized corruption—seperti lobi politik
miliaran dolar untuk mengamankan regulasi—tidak pernah masuk hitungan, padahal
jelas-jelas merugikan rakyat. Negara sekuler memang berhasil menekan petty
corruption (suap kecil di jalanan), tapi mereka tetap bergelut dengan grand
corruption dalam bentuk monopoli, eksploitasi global, dan legalisasi riba.
Bersih di permukaan, tapi keropos di dalam.
Komunisme: Bersih dengan Represi
Ada pula yang berargumen: “Kalau begitu, sistem komunis lebih
efektif. Lihat Tiongkok atau Korea Utara, korupsinya ditekan dengan keras.”
Benar, rezim komunis kerap menindak korupsi dengan tangan besi. Namun,
kebersihan itu semu. Transparansi nyaris nihil, informasi dikontrol ketat, dan
korupsi justru berpindah ke lingkaran elit partai. Angka korupsi terlihat
rendah bukan karena masalah selesai, tapi karena fakta disembunyikan.
Islam berbeda. Ia tidak menghapus korupsi dengan represi buta, melainkan membangun kesadaran ilahiah dalam individu, menghidupkan kontrol masyarakat, dan menegakkan hukum Allah tanpa pandang bulu.
Budaya Korup: Kambing Hitam yang Menyesatkan
Sering juga kita mendengar tudingan: “Orang Indonesia memang
dasarnya punya budaya korup. Dari kecil sudah terbiasa nyolong waktu atau
menyelip antrean.” Sekilas masuk akal, tapi keliru. Jika budaya adalah akar,
seharusnya semua bangsa dengan kultur permisif akan sama-sama korup. Faktanya
tidak. Banyak negara dengan budaya santai tetap bisa membangun sistem bersih
ketika hukum ditegakkan dengan konsisten.
Budaya bukan entitas abadi, melainkan produk dari sistem nilai.
Ketika sekularisme dijadikan fondasi, budaya permisif terhadap pelanggaran
lahir secara alami. Jadi, bukan budaya sebagai akar masalah, melainkan
sekularisme yang melahirkan budaya korup itu sendiri.
Kitab Ajhizah Dawlat al-Khilafah menggambarkan fenomena ini:
"وَإِنَّ الدِّيمُوقْرَاطِيَّةَ
نَفْسَهَا تُنْتِجُ الْفَسَادَ، لِأَنَّهَا جَعَلَتِ السُّلْطَانَ وَالْمَنَاصِبَ
وَسِيلَةً لِجَنْيِ الْمَنَافِعِ، فَتَحَوَّلَتِ الدَّوْلَةُ إِلَى مَصْدَرِ رِيعٍ
لِلْمُتَسَلِّطِينَ."
“Sesungguhnya demokrasi itu sendiri melahirkan korupsi, karena ia
menjadikan kekuasaan dan jabatan sebagai sarana meraih keuntungan, sehingga
negara berubah menjadi sumber rente bagi para penguasa.”
(Ajhizah Dawlat al-Khilafah, Bab "Niẓām al-Ḥukm al-Islāmī", hlm. 21,
Hizb ut-Tahrir, 2005).
Allah SWT pun telah memperingatkan:
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ ٱللَّهُ فَأُو۟لَـٰٓئِكَ هُمُ
ٱلْفَـٰسِقُونَ
“Barangsiapa tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka
mereka itulah orang-orang fasik.” (QS. Al-Māidah [5]:47).
Pandangan Islam: Korupsi adalah Dosa Besar
Islam tidak hanya memandang korupsi sebagai pelanggaran hukum,
tetapi juga dosa besar yang berlapis:
1. Ghulul (penggelapan harta
negara):
وَمَن يَغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Barangsiapa berkhianat (menggelapkan harta rampasan), maka pada
hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu.” (QS. Āli
‘Imrān [3]:161).
2. Risywah (suap):
«لَعْنَةُ اللهِ عَلَى الرَّاشِي
وَالْمُرْتَشِي»
“Laknat Allah atas penyuap dan penerima suap.” (HR. Abū Dāwud
no. 3580, at-Tirmiżī no. 1337).
3. Khiyānah (pengkhianatan
amanah):
Rasulullah ﷺ bersabda:
«إِذَا ضُيِّعَتِ الْأَمَانَةُ فَانْتَظِرِ
السَّاعَةَ»
“Jika amanah disia-siakan, tunggulah kehancuran.” (HR.
al-Bukhārī no. 6496).
Ibn Khaldun menegaskan dalam Muqaddimah:
"إِذَا فَسَدَ الْمَالُ فِي
الدَّوْلَةِ فَسَدَتْ أَخْلَاقُ أَهْلِهَا، وَزَالَتْ دَوْلَتُهُمْ."
“Jika harta negara rusak, maka rusaklah akhlak rakyatnya, dan
hancurlah negara itu.”
(Muqaddimah, Bab IV, hlm. 285, Dār al-Fikr, 2004).
Solusi Islam: Mencegah dari Hulu, Menindak Tegas di Hilir
Islam menghadirkan solusi komprehensif yang tidak hanya mengobati
gejala, tetapi juga menutup jalan terjadinya korupsi. Islam melihat
korupsi lebih luas daripada sekadar pelanggaran hukum. Ia adalah pengkhianatan
terhadap amanah Allah. Karena itu, solusinya bersifat menyeluruh:
1. Individu yang takut pada Allah – ia jujur meski tak ada CCTV.
2. Masyarakat yang peduli amar ma’ruf nahi munkar – kontrol sosial
berjalan alami.
3. Negara yang menegakkan hukum Allah secara total – tanpa kompromi
dan negosiasi.
Allah Swt. menegaskan kewajiban menunaikan amanah:
إِنَّ ٱللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤدُّوا ٱلْأَمَٰنَٰتِ إِلَىٰٓ أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُم بَيْنَ ٱلنَّاسِ أَن تَحْكُمُوا بِٱلْعَدْلِ
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang
berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia supaya
kamu menetapkannya dengan adil.” (QS. An-Nisa: 58)
Rasulullah ﷺ pun bersabda:
آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ: إِذَا
حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ
“Tanda orang munafik ada tiga: apabila berbicara ia berdusta,
apabila berjanji ia mengingkari, dan apabila diberi amanah ia berkhianat.” (HR.
Bukhari dan Muslim) Inilah yang disebut Islam kaffah: sistem yang menutup rapat
ruang hidup korupsi, dari hati manusia hingga meja birokrasi. Disamping itu
Islam memiliki perangkat yang lengkap untuk mencegak tindak pidana korupsi
secara preventif dari sistem ekonomi dan pemerintahannya.
Hal tersebut dapat kita lihat dari adanya beberapa hal yang ada dalam konsep Pemerintahan Islam seperti berikut ini :
1. Adanya Baitul Mal: Transparansi Keuangan Negara
"كُلُّ مَالٍ وَجَبَ عَلَى
الْمُسْلِمِينَ أَوْ لِبَيْتِ مَالِ الْمُسْلِمِينَ فَإِنَّهُ يُوضَعُ فِي بَيْتِ
الْمَالِ، وَيُصْرَفُ مِنْهُ عَلَى مَا أَوْجَبَهُ الشَّرْعُ."
“Setiap harta yang menjadi kewajiban atas kaum Muslimin atau milik
Baitul Mal kaum Muslimin, maka harta itu harus ditempatkan di Baitul Mal, dan
dibelanjakan sesuai dengan yang diwajibkan syara’.”
(Al-Amwāl fī Dawlat al-Khilāfah, Bab "Baitul Māl", hlm. 37-39, Dār
al-Ummah, 2004).
2. Adanya Hisbah: Pengawasan Tanpa Kompromi
"وَيَنْبَغِي أَنْ يَكُونَ الْوَالِي
أَمِينًا فِي أَمْوَالِ الْمُسْلِمِينَ، قَائِمًا عَلَيْهَا بِالْعَدْلِ."
“Seorang penguasa harus amanah terhadap harta kaum Muslimin dan
menegakkannya dengan keadilan.”
(Al-Aḥkām as-Sulṭāniyyah, Bab "Ḥisbah", hlm. 233, Dār al-Kutub
al-‘Ilmiyyah).
3. Adanya Sanksi Tegas dan Efektif
Hudud diterapkan untuk pencurian (QS. Al-Māidah [5]:38), dan ta‘zīr
keras untuk pengkhianatan jabatan, bahkan hukuman mati jika membahayakan umat.
Ibn Taymiyyah berkata:
"إِنَّ اللهَ يُقِيمُ الدَّوْلَةَ الْعَادِلَةَ وَإِنْ كَانَتْ كَافِرَةً، وَلاَ يُقِيمُ الظَّالِمَةَ وَإِنْ كَانَتْ مُسْلِمَةً."
“Sesungguhnya
Allah menegakkan negara yang adil meskipun kafir, dan tidak menegakkan negara
yang zalim sekalipun mengaku Muslim.”
(Al-Siyāsah as-Syar‘iyyah, Bab "al-‘Uqūbāt", hlm. 50, Dār al-‘Arabī).
Sejarah Bicara: Umar bin Khattab Ra.
Pada masa Khalifah Umar bin Khattab, seorang gubernur bernama Sa‘īd
bin ‘Āmir dilaporkan memiliki harta berlebih. Umar segera memeriksanya, menyita
harta yang tidak wajar, dan mengembalikannya ke Baitul Mal tanpa sidang panjang
dan tanpa kompromi politik
Kesimpulan
Korupsi di negeri ini tak akan berhenti hanya dengan OTT sesaat.
Selama sistem sekuler yang mahal dan transaksional dipertahankan, korupsi akan
terus hidup dengan wajah baru. Islam menawarkan solusi menyeluruh: Baitul Mal
yang transparan, Hisbah yang tegas, hukuman yang efektif, dan kepemimpinan yang
amanah.
Menyalahkan budaya hanyalah kambing hitam. Menyalahkan hukum yang
lemah hanyalah menyentuh gejala. Sekularisme—yang memisahkan agama dari
kehidupan—adalah akar yang melahirkan semua itu.
Negara sekuler mungkin tampak bersih di data, komunis mungkin
terlihat tegas di permukaan, tapi keduanya gagal membersihkan korupsi dari
akarnya. Islam kaffah-lah yang mampu, sebab ia mengikat individu, menguatkan
masyarakat, dan menegakkan hukum Allah yang tak bisa ditawar.
Selama sekularisme masih menjadi napas negeri ini, korupsi hanya
akan berganti wajah. Namun saat Islam kaffah ditegakkan, korupsi bukan hanya
ditakuti hukum, tapi juga ditolak nurani, diawasi masyarakat, dan dihisab Allah
di akhirat kelak.
وَإِنْ حَكَمْتَ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِالْقِسْطِ إِنَّ اللَّهَ
يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
“Apabila kamu memutuskan perkara di antara mereka, maka
putuskanlah dengan adil. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang adil.” (QS.
Al-Māidah [5]:42).
Kini, pilihan ada pada kita: terus menjadi penonton drama korupsi, atau memperjuangkan tegaknya solusi hakiki—Islam kaffah dalam bingkai Khilafah. Wallahu Musta’an.
DAFTAR PUSTAKA
1. KPK, Laporan Tahunan 2023.
2. Detik News – Noel
Jadi Tersangka, Legislator Yakin Presiden Serius Berantas Korupsi
3. Taqiyuddin an-Nabhani, Nizham
al-Iqtishadi fi al-Islam, Dār al-Ummah, 1953.
4. Hizb ut-Tahrir, Ajhizah
Dawlat al-Khilafah, Bab Niẓām al-Ḥukm al-Islāmī, hlm. 21, 2005.
5. Al-Amwāl fī Dawlat
al-Khilāfah, Bab Baitul Māl, hlm. 37-39, Dār al-Ummah, 2004.
6. Imam Asy-Syafi’i, Al-Umm, Juz
IV, hlm. 142, Dār al-Ma’rifah.
7. Al-Mawardi, Al-Aḥkām as-Sulṭāniyyah,
Bab Ḥisbah, hlm. 233, Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
8. Ibn Taymiyyah, Al-Siyāsah
as-Syar‘iyyah, Bab al-‘Uqūbāt, hlm. 50, Dār al-‘Arabī.
9. Ibn Sa‘d, Ṭabaqāt al-Kubrā,
Juz III, hlm. 280, Dār Ṣādir.
10. Ibn Khaldun, Muqaddimah, Bab IV, hlm. 285, Dār
al-Fikr, 2004.
11. CNBC Indonesia – “Saksi Kasus Korupsi Laptop Nadiem
Makarim, Google Bilang Begini,” 8 September 2025
12. CW – “ICW Laporkan Dugaan Korupsi Pengelolaan Dana
Haji Tahun 2025 di Kemenag ke KPK,” 4–5 Agustus 2025

Tidak ada komentar:
Posting Komentar