Senin, 13 Oktober 2025

Meniti Jalan Hidayah: Dari Adab Dasar Menuju Puncak Kemuliaan

 Oleh  :  Muhammad Fitrianto, S.Pd.Gr, Lc, M.A., M.Pd

Setiap Muslim mendambakan hidayah, cahaya petunjuk dari Allah SWT yang menerangi jalan kehidupan. Hidayah adalah anugerah termahal, yang sumbernya datang dari Al-Qur'an, teladan Nabi Muhammad SAW, serta jejak langkah para ulama dan orang-orang saleh. Karena itulah kita senantiasa memohon dalam salat, "ihdinasiratal mustaqim"—tunjukilah kami jalan yang lurus. Jalan mereka yang telah Engkau beri nikmat, bukan jalan mereka yang tersesat.

Namun, memahami hidayah seringkali keliru. Banyak yang ingin langsung mencapai puncak spiritualitas, padahal hidayah memiliki jenjang. Ia memiliki permulaan (bidayah) dan puncak (nihayah). Seseorang tidak akan sampai ke puncaknya tanpa melewati gerbang awalnya. Ibarat bayi, ia harus mengonsumsi bubur lembut, bukan sate atau gule yang menjadi santapan orang dewasa. Memberikan makanan orang dewasa kepada bayi justru akan membahayakannya. Demikian pula dalam meniti jalan ruhani.

Kita tidak bisa langsung menelan "ilmu tingkat tinggi" atau cerita-cerita karamah para wali tanpa mengukur kapasitas diri. Posisi kita, jika dibandingkan dengan para aulia Allah, adalah laksana bayi. Maka, yang terpenting bukanlah kisah puncak mereka, melainkan bagaimana mereka memulai perjalanannya.

Memulai dari Fondasi dengan "Bidayatul Hidayah"

Imam Al-Ghazali, dalam karyanya yang monumental, Bidayatul Hidayah, memberikan peta jalan yang jelas bagi para pemula. Kitab ini adalah fondasi yang harus dipelajari sebelum melangkah lebih jauh. Di dalamnya, Imam Al-Ghazali menguraikan tiga pilar utama:

Melaksanakan Ketaatan (Fi'lut Tha'at): Beliau merinci adab dan amalan seorang Muslim sepanjang hari. Mulai dari doa bangun tidur, adab di kamar mandi, cara berpakaian, hingga doa sebelum tidur kembali. Seluruh aktivitas kita dibingkai dalam bingkai ketaatan kepada Allah.

Meninggalkan Maksiat (Tarqul Ma'ashi): Setelah membangun kebiasaan taat, langkah selanjutnya adalah membentengi diri dari dosa. Imam Al-Ghazali menjelaskan cara menjaga mata, telinga, lisan, perut, dan hati dari perbuatan maksiat. Setiap anggota tubuh memiliki potensi dosa yang harus diwaspadai dan dijaga.

Berinteraksi dengan Adab: Pilar ketiga adalah adab dalam bergaul, baik kepada Allah, kepada sesama manusia, maupun kepada makhluk lainnya. Ilmu dan ibadah menjadi sia-sia jika tidak dihiasi dengan adab yang mulia.

Adab: Permata yang Hilang

Nilai sejati seorang hamba tidak terletak pada banyaknya ilmu, melainkan pada adabnya. Rasulullah SAW bersabda, "Ta'allamul 'ilma wa ta'allamu lil 'ilmi as-sakinata wal waqar" (Pelajarilah ilmu, dan pelajarilah untuk ilmu itu ketenangan dan kewibawaan). Ilmu harus melahirkan ketawadukan, bukan kesombongan. Inilah mengapa peran seorang guru (syekh) yang bersih jiwanya menjadi sangat penting. Kita tidak hanya mengambil ilmunya, tetapi meneladani akhlak dan jalan hidupnya (sirah). Bagaimana tawaduknya, zuhudnya, dan istiqamahnya. Tanpa meneladani adab mereka, seribu tahun belajar pun akan sia-sia.

Majelis ilmu seperti haul para ulama bukanlah ajang pamer kemuliaan leluhur, melainkan cermin untuk mengukur diri. Di mana akhlak kita dibanding akhlak mereka? Di mana ibadah kita dibanding ibadah mereka? Majelis ini seharusnya menjadi momen untuk membuka hati yang telah tertutup oleh syahwat, cinta dunia, dan ego.

Menjaga Dua Pintu Hati

Hati memiliki dua pintu utama: mata dan telinga. Apa yang kita lihat dan dengar akan langsung masuk dan memengaruhi hati. Jika mata terbiasa memandang orang-orang saleh dan telinga terbiasa mendengar lantunan Al-Qur'an serta kisah para Nabi, maka hati akan dipenuhi cinta pada kebaikan. Sebaliknya, jika mata dan telinga dibiarkan liar menikmati hal-hal yang membangkitkan syahwat, maka hati akan dipenuhi noda dan rencana maksiat. Mari kita tutup rapat kedua pintu ini dari bisikan setan dan hawa nafsu.

Puncak Adab Ada pada Para Sahabat

Contoh adab tertinggi dapat kita lihat pada para sahabat di hadapan Rasulullah SAW. Ketika mereka duduk di majelis Nabi, mereka begitu tenang dan khusyuk, seolah-olah di atas kepala mereka ada burung yang akan terbang jika mereka bergerak sedikit saja.

 Pandangan mereka lebih banyak menunduk karena rasa hormat, dan suara mereka tidak pernah melebihi suara Nabi. Dengan adab yang luar biasa itulah mereka meraih kedudukan tertinggi (maqam as-suhbah), sebuah derajat yang bahkan mengungguli wali paling mulia sekalipun.

Pada akhirnya, keberuntungan terbesar dalam sebuah majelis ilmu bukanlah siapa yang duduk paling depan atau yang paling dekat dengan guru. Keberuntungan terbesar adalah milik mereka yang paling beradab dan paling tulus hatinya. Sebab, berkah dan rahmat Allah ibarat air yang mengalir ke tempat yang lebih rendah. Hati yang tawaduk dan merasa rendah di hadapan Allah-lah yang akan dipenuhi oleh cahaya hidayah-Nya.  Wallahu’alamu bis showab



 

 

Sabtu, 11 Oktober 2025

Talaqqiyan Fikriyyan: Asal Usul, Makna Bahasa, dan Relevansi dalam Pembelajaran Mendalam

 Oleh : Muhammad Fitrianto, M.Pd

Dalam tradisi pendidikan Islam, metode pembelajaran itu tidak hanya menekankan hafalan semata, tetapi juga mendalami pemahaman yang utuh. Salah satu konsep yang kerap diangkat adalah Talaqqiyan Fikriyyan. Istilah ini memiliki akar bahasa dan makna yang dalam, serta relevansi yang kuat dengan teori pembelajaran modern, khususnya pembelajaran mendalam ala Mendikdasmen.

Artikel ini mengulas secara lengkap asal-usul istilah, makna bahasa, penerapan konsep dalam kitab as-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, serta aplikasinya dalam pendidikan kontemporer.

 Etimologi Talaqqiyan Fikriyyan

Talaqqiyan berasal dari akar kata fi'il madhi تَلَقَّى (talaqqā) yang berarti “menerima” atau “menyerap”. Kata ini menunjukkan penerimaan yang aktif dan penuh kesadaran, bukan sekadar mendengar atau menghafal pasif. Dalam bentuk masdar, talaqqiyan menggambarkan proses aktif menerima ilmu dengan pikiran dan perasaan yang sungguh-sungguh.

Sedangkan Fikriyyan berasal dari kata فِكْر (fikr) yang bermakna “berpikir” atau “pemikiran”. Dalam bentuk sifat (nisbah), fikriyyan berarti “yang bersifat pemikiran” atau “berkaitan dengan proses berpikir”. Dengan demikian, Talaqqiyan Fikriyyan secara bahasa berarti “proses penerimaan ilmu melalui pemikiran aktif,” yaitu menanamkan ilmu dengan kesadaran berpikir mendalam, bukan sekadar hafalan mekanis.

Konsep dalam Kitab as-Syakhshiyyah al-Islamiyyah

Dalam kitab as-Syakhshiyyah al-Islamiyyah karya Imam Taqiyuddin an-Nabhani, Talaqqiyan Fikriyyan dijelaskan sebagai proses pembelajaran yang melibatkan indera dan akal secara aktif. Murid tidak hanya menerima apa yang disampaikan secara tekstual, tetapi mengaitkan materi dengan fakta nyata yang dapat diindera dan pengetahuan sebelumnya, sehingga ilmu yang diperoleh menjadi terinternalisasi dan hidup dalam benak.  Ini adalah proses transfer ilmu yang menghasilkan pemahaman komprehensif dan sikap yang tercermin dalam kehidupan praktis.

Contoh Kalimat Klasik dengan Fi’il dari Akar Talaqqā

 Kata fi'il madhi تَلَقَّى (talaqqā) sering ditemui dalam kalimat-kalimat klasik, contohnya:

- تَلَقَّى العَالِمُ العِلْمَ بِقَلْبٍ مُنِيبٍ 

  (Sang alim menerima ilmu dengan hati yang taat.)

-تَلَقَّى النَّبِيُّ ﷺ الوَحيَ مِنَ اللهِ بِوُضُوحٍ وَثِقَةٍ 

  (Nabi menerima wahyu dari Allah dengan jelas dan penuh keyakinan.)

 Kedua kalimat ini menegaskan bahwa menerima ilmu adalah suatu proses aktif yang melibatkan kesiapan hati dan pikiran.

 Relevansi dengan Pembelajaran Mendalam ala Mendikdasmen

 Metode Talaqqiyan Fikriyyan sangat selaras dengan prinsip pembelajaran mendalam (deep learning) yang dianjurkan oleh Mendikdasmen Kemdikbudristek. Pembelajaran mendalam menekankan pemahaman utuh, bukan sekadar hafalan permukaan. Sama seperti Talaqqiyan Fikriyyan, pembelajaran mendalam mendorong siswa untuk memahami materi secara komprehensif, menyusun gambaran mental yang jelas, dan menghubungkan teori dengan praktik nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Referensi Akademik dan Penerapan Praktis

Sebuah penelitian di Sekolah Tahfizh Plus (STP) Khoiru Ummah Medan menunjukkan efektivitas Talaqqiyan Fikriyyan dalam membangun kemampuan berpikir kritis dan internalisasi ilmu, terutama pada mata pelajaran Fiqih. Guru menggunakan benda atau situasi nyata sebagai media pengajaran, lalu mengaitkan materi dengan diskusi kasus nyata agar siswa tidak hanya hafal tetapi menghayati makna dan aplikasinya. Konsep Talaqqiyan Fikriyyan juga mendekati teori konstruktivisme dan experiential learning, di mana pembelajaran terjadi melalui pengalaman langsung dan keterlibatan kognitif aktif, bukan penerimaan pasif.

 Kesimpulan

Talaqqiyan Fikriyyan bukan sekadar istilah kelas bahasa Arab, melainkan fondasi metodologis pembelajaran yang menuntut keterlibatan pikiran dan penghayatan mendalam dalam menerima ilmu. Konsep ini sangat relevan dalam konteks pendidikan modern yang menuntut kualitas pemahaman, aplikasi, dan integrasi ilmu ke dalam sikap dan tindakan praktis. Dengan memahami dan mengaplikasikan metode ini, pendidikan menjadi proses transformasi hidup, bukan sekadar transfer fakta semata. Wallahu’musta’an.

 

 


 

 

Jumat, 10 Oktober 2025

Tanah Haram, Kota Mekah, dan Masjidil Haram: Magnet Cinta, Cahaya, dan Doa

Ada sebuah tempat yang tidak pernah letih menerima jutaan kaki, lirih rindu, dan air mata sambil memeluk keheningan. Tempat itu adalah Tanah Haram Mekah, yang sejak penciptaan langit dan bumi telah dipilih, dilegitimasi oleh Allah, dijaga oleh para Nabi, dan dimuliakan dengan aturan yang tidak bisa diganggu gugat.

Firman Allah yang tersimpan dalam kitab suci, menegaskan keutamaan Mekah:

إِنَّ أَوَّلَ بَيْتٍ وُضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذِي بِبَكَّةَ مُبَارَكًا وَهُدًى لِّلْعَالَمِينَ

“Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadah) manusia, ialah Baitullah di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia.”

 (QS Ali Imran: 96)​

Bahkan Nabi Ibrahim AS, bapak para Nabi, pernah memanjatkan doa yang menyejukkan hati:

رَبَّنَا إِنِّي أَسْكَنْتُ مِنْ ذُرِّيَّتِي بِوَادٍ غَيْرِ ذِي زَرْعٍ عِندَ بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِ رَبَّنَا لِيُقِيمُوا الصَّلَاةَ فَاجْعَلْ أَفْئِدَةً مِّنَ النَّاسِ تَهْوِي إِلَيْهِمْ وَارْزُقْهُم مِّنَ الثَّمَرَاتِ لَعَلَّهُمْ يَشْكُرُونَ
(QS Ibrahim: 37)​

Tanah Haram—ini bukan hanya soal status geografis, tapi wilayah “sakral” yang Allah sendiri tetapkan haramnya dari penciptaan langit dan bumi. Nabi Muhammad bersabda:

 إِنَّ هَذَا الْبَلَدَ حَرَّمَهُ اللَّهُ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ فَهُوَ حَرَامٌ بِحُرْمَةِ اللَّهِ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ

“Sesungguhnya kota ini (Mekah) telah diharamkan oleh Allah pada hari Dia menciptakan langit dan bumi. Maka ia tetap haram dengan kehormatan dari Allah sampai hari kiamat.”

(HR Bukhari)​

 Tidak boleh ada buruan ditebas, pohon dipotong, atau manusia dizalimi di dalamnya—zona damai paling suci di muka bumi. Bahkan Nabi menandaskan:

إِنَّ إِبْرَاهِيمَ حَرَّمَ مَكَّةَ وَإِنِّي حَرَّمْتُ الْمَدِينَةَ مَا بَيْنَ لَابَتَيْهَا لَا يُقْطَعُ عِضَاهُهَا وَلَا يُصَادُ صَيْدُهَا

“Sesungguhnya Ibrahim telah mengharamkan Mekah dan aku mengharamkan Madinah di antara dua bukit hitamnya. Tidak boleh ditebang pepohonannya dan tidak boleh diburu hewan buruannya.” (HR Muslim)​

Di tengah Tanah Haram berdiri Masjidil Haram, jantung spiritual dunia. Setiap panggilan azan di sana adalah panggilan langit, tak pernah tidur. Rasulullah bersabda mengenai keutamaan salat di Masjidil Haram:

صَلاَةٌ فِي مَسْجِدِي هَذَا خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ صَلاَةٍ فِيمَا سِوَاهُ إِلا المَسْجِدَ الحَرَامَ، وَصَلاَةٌ فِي المَسْجِدِ الحَرَامِ أَفْضَلُ مِنْ صَلاَةٍ فِي مَسْجِدِي بِمِائَةِ أَلْفِ صَلاَةٍ

“Salat di masjidku ini lebih utama dari seribu salat di masjid lain kecuali Masjidil Haram. Salat di Masjidil Haram lebih utama seratus ribu salat di masjidku.” (HR Ahmad, Ibnu Majah)​

Di sana, setiap lirih doa adalah gema abadi, menembus batas waktu dan ruang. Umat Islam yang datang ke Mekah sejenak menanggalkan identitas kemewahan dunia. Tinggal satu status yang berlaku: hamba Allah. Kota yang jam biologisnya diatur dengan azan, bukan matahari.

Udara Mekah pernah menjadi napas bayi Muhammad . Batu-batu di jalannya sudah ribuan tahun menjadi saksi cinta para pejalan abadi. Mekah adalah kota yang cinta dan doa bertemu, lalu mengalirkan air zamzam di hati para pencari cinta Ilahi.

Sesungguhnya, menulis tentang Mekah dan Tanah Haram adalah menulis kerinduan yang tak pernah selesai—selalu ada celah bagi kerinduan baru, selalu lahir harapan di tengah-tengah batu dan pasirnya. Mekah adalah panggilan Allah, dan setiap manusia selalu menjadi tamu yang dirindukan-Nya.

اللّٰهُمَّ ارْزُقْنَا زِيَارَةَ بَيْتِكَ الْحَرَامِ وَمَسْجِدِكَ الْحَرَامِ فِي أَحْسَنِ الْحَالِ، وَسَهِّلْ لَنَا طَرِيقَنَا وَارْزُقْنَا كِفَايَةً مِنَ الرِّزْقِ وَالصِّحَّةِ وَالْعَافِيَةِ، وَمَغْفِرَةً مِنْكَ، وَاجْعَلْهَا زِيَارَةً مَقْبُولَةً بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِينَ

Allahummarzuqna ziyarata baitikal haram wa masjidikal haram fi ahsanil haal, wa sahhil lana tariqana, warzuqna kifayatan minar rizqi was-sihhati wal-‘afiyah, wa maghfiratan minka, waj’alha ziyaratan maqbulatan birahmatika ya arhamar-rahimin.

Ya Allah, karuniakanlah kepada kami rezeki untuk bisa berkunjung ke rumah-Mu yang agung dan masjid-Mu yang mulia dalam sebaik-baik keadaan, mudahkanlah jalan kami, berikanlah kecukupan rezeki, kesehatan, dan keselamatan, serta ampunan dari-Mu. Jadikanlah kunjungan itu sebagai ziarah yang diterima dengan rahmat-Mu, wahai Maha Penyayang di antara yang penyayang.​

 

 


Kamis, 02 Oktober 2025

Khilafah Bukan Pilihan, Tapi Keniscayaan: Analisis Berdasarkan Tiga Pilar Hukum Islam

Sejak runtuhnya Khilafah Utsmaniyah pada tahun 1924, istilah "khilafah" sering kali dipersepsikan secara negatif, bahkan dianggap sebagai gagasan politik sektarian yang tidak memiliki dasar dalam Al-Qur'an. Meskipun argumen ini terdengar logis bagi sebagian kalangan, ia menjadi rapuh ketika diuji melalui metodologi hukum Islam (ushul fiqh).

Tulisan ini bertujuan untuk menunjukkan bahwa kewajiban menegakkan satu kepemimpinan tunggal bagi umat Islam (imamah atau khilafah) adalah sebuah ketetapan hukum yang mapan, yang berakar kuat pada tiga pilar dalil syar'i: nas hadis yang sahih, konsensus sahabat (ijma’ ṣahâbah), dan penalaran hukum (qiyâs) yang didasarkan pada kaidah fundamental.

Jejak Kenabian: Landasan dari Hadis Sahih

Sumber hukum utama setelah Al-Qur'an adalah Sunnah Nabi Muhammad . Dalam beberapa hadis sahih, beliau tidak hanya menyebutkan, tetapi juga memberikan kerangka struktural bagi eksistensi khilafah.

Hadis pertama, yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, menyatakan:

«الخلافة بعدي ثلاثون سنة ثم يكون ملكًا… ثم تكون خلافة على منهاج النبوة»

"Khilafah sesudahku akan berlangsung selama tiga puluh tahun, kemudian akan menjadi kerajaan... kemudian akan ada lagi khilafah yang mengikuti metode kenabian."

(HR. Ahmad).

Hadis kedua, yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, menegaskan prinsip kesatuan kepemimpinan:

«من أتاكم وأمركم جميع على رجل واحد يريد أن يشق عصاكم فاقتلوه»

"Barangsiapa datang kepada kalian saat urusan kalian telah bersatu di bawah satu orang (pemimpin), lalu ia hendak memecah belah persatuan kalian, maka perangilah ia."

(HR. Muslim).

 Kedua hadis ini secara kolektif menetapkan dua hal fundamental: pertama, khilafah adalah sebuah keniscayaan historis yang akan berulang sesuai metode kenabian, dan kedua, adanya larangan tegas terhadap pluralitas kepemimpinan dalam satu waktu untuk menjaga kesatuan umat.

Konsensus Sahabat (Ijma’ As- Shahabah): Fondasi Konstitusional Pertama

Segera setelah wafatnya Rasulullah , para sahabat berkumpul di Saqifah Bani Sa'idah. Peristiwa ini bukanlah sekadar respons darurat, melainkan sebuah constitutional moment atau momen penetapan dasar konstitusional bagi umat Islam.

Prioritas mereka untuk segera memilih seorang pemimpin—bahkan sebelum jenazah Nabi dimakamkan—menunjukkan betapa gentingnya urusan ini. Al-Imam Ibnu Hajar al-Haytami (w. 973 H) menegaskan:

«علم أن أهم الواجبات بعد نبينا ﷺ هو نصب الإمام، حتى شغلهم ذلك عن تجهيزه ﷺ»

"Sungguh telah diketahui bahwa kewajiban terpenting setelah wafatnya Nabi adalah mengangkat seorang Imam, sedemikian pentingnya hingga mereka menyibukkan diri dengan urusan itu sebelum memakamkan jenazah beliau ."

Frasa "kewajiban terpenting" (aham al-wâjibât) menandakan bahwa ini adalah sebuah kebutuhan hukum primer (darûrah syar‘iyyah) yang bersifat mengikat, bukan sekadar pilihan. Fakta bahwa tidak ada satu pun sahabat yang menolak prinsip perlunya seorang imam—perbedaan pendapat hanya terjadi pada siapa figur yang akan dipilih—telah memenuhi syarat terjadinya konsensus atau ijma’.

Logika Hukum Islam: Dari Isyarat Al-Qur'an menuju Kewajiban Sistemik

Meskipun Al-Qur'an tidak menggunakan istilah teknis "khilafah", ia secara eksplisit menggunakan kata "khalifah" yang merujuk pada otoritas publik dan kepemimpinan di muka bumi. Allah SWT berfirman:

إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً
"Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." (QS. al-Baqarah: 30).

 Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya menyatakan bahwa ayat ini adalah landasan fundamental mengenai kewajiban mengangkat seorang imam atau khalifah yang harus didengar dan ditaati. Beliau bahkan menegaskan, "tidak ada perselisihan di antara umat dan para imamnya mengenai kewajiban hal tersebut." Penafsiran ini didukung oleh para mufasir klasik hingga kontemporer.

Argumentasi ini diperkuat oleh sebuah kaidah ushul fiqh yang sangat populer:

«مَا لَا يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلَّا بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ»
"Sesuatu yang menjadi prasyarat sempurnanya sebuah kewajiban, maka ia pun menjadi wajib."

Penerapannya sangat jelas: Al-Qur'an mewajibkan pelaksanaan hukum qisas, hudud, penarikan jizyah, dan pengelolaan baitul mal. Seluruh perintah ini secara praktis tidak mungkin terlaksana secara adil dan sistematis tanpa adanya institusi negara yang dipimpin oleh satu otoritas tunggal. Karena kewajiban-kewajiban utama tersebut tidak dapat berjalan tanpanya, maka mendirikan kepemimpinan tunggal itu sendiri menjadi sebuah "kewajiban metodologis" (wâjib fî al-ṭarîq).

Menjawab Kritik: Absennya Kata Bukan Berarti Absennya Konsep

Kritik yang menyatakan "khilafah tidak ada di Al-Qur'an" lahir dari pemahaman tekstual yang sempit, yang mengabaikan peran Sunnah dan Ijma' sebagai sumber hukum yang juga mengikat. Jika konsistensi diterapkan pada logika ini, maka seseorang juga harus menolak jumlah rakaat shalat, standar minimal zakat (nisab) 2,5%, serta detail hukum lainnya yang tidak disebutkan secara literal dalam Al-Qur'an. Logika semacam ini telah dijawab oleh Imam al-Syafi'i lebih dari seribu tahun lalu:

«دل السنة على ما لم يحط به علم القرآن»

"Sunnah telah menunjukkan (hukum) atas apa yang ilmunya tidak tercakup secara rinci oleh Al-Qur'an."

 Kesimpulan

Berdasarkan analisis di atas, kewajiban mengangkat seorang imam atau khalifah sebagai pemimpin tunggal umat Islam merupakan sebuah hukum yang statusnya telah kokoh, berlandaskan pada hadis-hadis sahih, konsensus para sahabat, serta kaidah logika hukum Islam. Argumen penolakan yang didasarkan pada ketiadaan istilahnya secara literal di dalam Al-Qur'an tidak sejalan dengan metodologi pengambilan dalil (manhaj istidlâl) yang disepakati para ulama Ahlus Sunnah.

Dalam kerangka tujuan syariat (maqâṣid al-sharî‘ah), eksistensi khilafah berfungsi untuk memelihara agama (ḥifẓ al-dīn) dan menjaga tatanan sosial (ḥifẓ al-niẓām). Dengan demikian, menolak gagasan khilafah bukan sekadar menolak sebuah terminologi, melainkan menafikan instrumen wajib yang menjadi kerangka bagi penerapan syariat secara paripurna. Wallâhu a‘lam bi-al-ṣawâb.



 

Senin, 15 September 2025

Rp6,5 Juta Itu Punya Siapa?

 Oleh  : Muhammad Firianto, S.Pd.Gr., Lc, M.A., M.Pd, C.ISP, C.LQ

BPS bilang, pendapatan per kapita orang Indonesia Rp6,5 juta per bulan.

Terdengar keren. Seperti brosur bank: foto keluarga bahagia, rumah rapi, mobil mengilap.


Tapi pertanyaan sederhana: siapa yang betul-betul pegang Rp6,5 juta itu tiap bulan?


Rata-rata tabungan orang Indonesia? Hanya Rp4 jutaan. Itu pun saldo, bukan tabungan segar. Artinya: mayoritas rakyat sebenarnya hidup dari gaji ke gaji. Bahkan seringnya: dari pinjaman ke pinjaman.


Lalu lihat lagi garis kemiskinan. Standar BPS cuma Rp609 ribu per orang per bulan. Alias Rp20 ribu sehari. Jadi, kalau seseorang bisa hidup dengan uang Rp20 ribu sehari, ia resmi tidak miskin.


Coba bayangkan.

Rp20 ribu itu bisa untuk apa?


Nasi bungkus sederhana: Rp12 ribu.


Teh manis: Rp5 ribu.


Sisa Rp3 ribu? Mungkin cukup untuk permen karet.



Belum listrik. Belum ongkos. Belum sekolah anak. Belum pulsa.


Sekarang simulasi keluarga sederhana: ayah, ibu, dua anak.

Menurut BPS, cukup hidup dengan Rp2,436 juta sebulan.


Mari hitung yang nyata:


Makan sederhana 4 orang: Rp1,8 juta.


Listrik + air: Rp300 ribu.


Sekolah anak: Rp500 ribu.


Transportasi: Rp400 ribu.


Pulsa: Rp150 ribu.



Total: Rp3,15 juta.

Itu pun tanpa sakit, tanpa hajatan, tanpa bocor ban.

Masih berani bilang Rp2,4 juta itu cukup?


Faktanya, masih ada 23,85 juta orang hidup di bawah angka itu. Termasuk 2,38 juta orang dalam kemiskinan ekstrem.


Dan di ujung lain, 1% orang terkaya Indonesia menguasai 45% kekayaan nasional.


Gambaranya begini:


Di Jakarta Selatan, seseorang bingung pilih menu brunch. Salmon Norwegia atau kaviar Rusia? Kopi single origin di mejanya harganya sama dengan uang jajan sebulan anak sekolah di desa.


Di pinggiran Jawa Tengah, seorang ibu bingung pilih lauk. Tempe setengah papan atau telur satu butir dibagi tiga. Gas melon habis, terpaksa pakai tungku kayu lagi.



Keduanya sama-sama orang Indonesia. Sama-sama masuk hitungan rata-rata Rp6,5 juta per kapita tadi.


Sekarang bandingkan dengan masa Abbasiyah. Di Baghdad abad ke-9, negara lewat baitul mal menggaji guru, tentara, hingga penerjemah kitab. Orang sakit bukan hanya gratis biaya rumah sakit, tapi juga dikasih uang saku saat pulang. Ilmuwan dibayar emas seberat buku yang diterjemahkan.


Bahkan di masa Khalifah Utsman, istri-istri Nabi mendapat tunjangan 10.000 dirham per tahun. Khusus Aisyah, 15.000 dirham. Kalau dirupiahkan sekarang, setara Rp30–45 juta per bulan.


Di sini? Ada ibu rumah tangga yang menutup dapur dengan notifikasi pinjol.


Umar bin Khattab dulu, ketika rakyat lapar, beliau ikut lapar. Sampai wajahnya menghitam karena hanya makan roti kasar. Umar menolak makan daging sampai rakyat kenyang.


Sekarang? Ketika rakyat lapar, yang duluan datang justru iklan “Cairkan pinjaman cepat tanpa agunan”.


Itulah bedanya angka di atas kertas dengan kenyataan di meja makan. Bedanya per kapita di Excel dengan perut per kapita di dapur.



Selasa, 09 September 2025

Dakwah Bisa Gagal, Bukan Karena Isi, Tapi Karena Diksi

 Oleh  :  Muhammad Fitrianto, S.Pd.Gr, Lc, M.A., M.Pd

Belakangan ini ruang publik kita lebih sering gaduh bukan karena ide segar, melainkan karena salah ucap para tokoh. Ada pejabat yang terburu-buru berkomentar lalu menyinggung publik, ada pula tokoh agama yang keliru memilih diksi hingga ceramahnya memantik kontroversi. Di era digital, sekali lidah terpeleset, rekaman dapat diputar tanpa henti, menjadi abadi di jagat maya.

Fenomena ini menyadarkan kita bahwa kemampuan berbicara di depan publik bukan sekadar bonus, melainkan kebutuhan mendesak. Inilah urgensi ilmu retorika. Retorika bukan hanya seni merangkai kata, tetapi juga kebijaksanaan dalam menimbang, memilih, dan menyampaikan kalimat pada ruang dan waktu yang tepat.

Lidah Mendahului Pikiran

Dalam kajian psikologi bahasa, dikenal istilah slip of the tongue atau “terpeleset lidah.” Fenomena ini terjadi ketika koordinasi antara pikiran dan ucapan tidak selaras, sehingga kata yang meluncur berbeda dengan maksud sebenarnya.

Bentuknya bisa beragam: salah bunyi, salah susun, atau bahkan membocorkan isi hati yang tersembunyi. Freud berpendapat, kadang salah ucap bukan sekadar kecelakaan linguistik, melainkan refleksi batin yang tidak terkendali.

Contoh nyata bisa dilihat dari kasus Pendeta Gilbert Lumoindong yang pada 2024 harus mendatangi MUI untuk meminta maaf setelah potongan video ceramahnya viral dan dianggap menyinggung zakat serta salat. Ia mengakui ada “salah ucap, salah pengertian, salah diksi.” Potongan kata yang semestinya ringan, berubah menjadi bara yang menyulut sensitivitas antar-umat.  Ada pula kisah seorang santri yang terlalu bersemangat saat memimpin doa. Dengan lantang ia melafalkan,

 “Allahumma ghfir lil muslimin wal muslimat, wal mu’minin wal mu’minat, ustaz-ustaz kami, jamaah-jamaah kami, semuanya masuk neraka… ehhh… astaghfirullah… maksud saya masuk surga…”

Sekejap suasana hening, lalu pecah tawa jamaah. Niat hatinya tentu tidak demikian, namun diksi yang terlepas dari kendali mengubah suasana khusyuk menjadi gaduh. Niat baik pun buyar karena retorika yang rapuh.

Kedua peristiwa ini memperlihatkan satu hal: isi pesan bisa benar, niat bisa tulus, namun tanpa keterampilan retorika, hasilnya bisa fatal.

Retorika dalam Dakwah

Lebih jauh dari panggung politik, retorika adalah kunci utama dakwah. Seorang dai tidak cukup hanya menyampaikan kebenaran, tetapi juga harus mampu mengemasnya dengan bahasa yang menyentuh hati. Kebenaran yang disampaikan dengan kasar sering kali ditolak, sementara nasihat yang sama, bila dibungkus kelembutan, dapat menggerakkan jiwa.

Al-Qur’an menegaskan hal ini:

ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُم بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ

“Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasihat yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik.” (QS. An-Nahl: 125)

Ayat ini adalah fondasi retorika Islami: hikmah, nasihat yang indah, dan dialog yang santun. Rasulullah adalah teladan dalam hal ini. Beliau menegur sahabat dengan kelembutan, bukan caci maki. Bahkan saat ada seorang Arab Badui buang air kecil di masjid, beliau tidak menghardik, melainkan menunggu selesai lalu menasihati dengan hikmah. Inilah kekuatan retorika: merangkul hati, bukan melukai.

Menjaga Lisan, Menjaga Marwah

Pepatah Arab menyebutkan:

زلة اللسان أشد من زلة القدم

“Tergelincirnya lidah lebih berbahaya daripada tergelincirnya kaki.”

Kaki yang salah langkah hanya membuat kita jatuh, tetapi lidah yang salah ucap dapat menjatuhkan martabat, meretakkan ukhuwah, bahkan melemahkan dakwah.

Maka, belajar retorika bukanlah pelajaran usang, melainkan kebutuhan nyata. Ia adalah pagar agar lisan tidak menjadi bumerang, sekaligus sayap agar pesan kebenaran dapat terbang jauh, menembus hati umat.  Wallahu musta’an



 

Meniti Jalan Hidayah: Dari Adab Dasar Menuju Puncak Kemuliaan

  Oleh  :  Muhammad Fitrianto, S.Pd.Gr, Lc, M.A., M.Pd Setiap Muslim mendambakan hidayah, cahaya petunjuk dari Allah SWT yang menerangi ja...