Sejak runtuhnya Khilafah Utsmaniyah pada tahun 1924, istilah
"khilafah" sering kali dipersepsikan secara negatif, bahkan dianggap
sebagai gagasan politik sektarian yang tidak memiliki dasar dalam Al-Qur'an.
Meskipun argumen ini terdengar logis bagi sebagian kalangan, ia menjadi rapuh
ketika diuji melalui metodologi hukum Islam (ushul fiqh).
Tulisan ini bertujuan untuk menunjukkan bahwa kewajiban menegakkan
satu kepemimpinan tunggal bagi umat Islam (imamah atau khilafah)
adalah sebuah ketetapan hukum yang mapan, yang berakar kuat pada tiga pilar
dalil syar'i: nas hadis yang sahih, konsensus sahabat (ijma’ ṣahâbah), dan
penalaran hukum (qiyâs) yang didasarkan pada kaidah fundamental.
Jejak Kenabian:
Landasan dari Hadis Sahih
Sumber hukum utama setelah Al-Qur'an adalah Sunnah Nabi Muhammad ﷺ. Dalam beberapa hadis sahih, beliau tidak
hanya menyebutkan, tetapi juga memberikan kerangka struktural bagi eksistensi
khilafah.
Hadis pertama,
yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, menyatakan:
«الخلافة بعدي ثلاثون سنة ثم يكون ملكًا… ثم
تكون خلافة على منهاج النبوة»
"Khilafah
sesudahku akan berlangsung selama tiga puluh tahun, kemudian akan menjadi
kerajaan... kemudian akan ada lagi khilafah yang mengikuti metode
kenabian."
(HR. Ahmad).
Hadis kedua, yang
diriwayatkan oleh Imam Muslim, menegaskan prinsip kesatuan kepemimpinan:
«من أتاكم وأمركم جميع على رجل واحد يريد أن
يشق عصاكم فاقتلوه»
"Barangsiapa
datang kepada kalian saat urusan kalian telah bersatu di bawah satu orang
(pemimpin), lalu ia hendak memecah belah persatuan kalian, maka perangilah
ia."
(HR. Muslim).
Kedua hadis ini secara kolektif menetapkan dua hal fundamental: pertama, khilafah adalah sebuah keniscayaan historis yang akan berulang sesuai metode kenabian, dan kedua, adanya larangan tegas terhadap pluralitas kepemimpinan dalam satu waktu untuk menjaga kesatuan umat.
Konsensus
Sahabat (Ijma’ As- Shahabah): Fondasi Konstitusional Pertama
Segera setelah wafatnya Rasulullah ﷺ,
para sahabat berkumpul di Saqifah Bani Sa'idah. Peristiwa ini bukanlah sekadar
respons darurat, melainkan sebuah constitutional moment atau momen
penetapan dasar konstitusional bagi umat Islam.
Prioritas mereka untuk segera memilih seorang pemimpin—bahkan
sebelum jenazah Nabi ﷺ
dimakamkan—menunjukkan betapa gentingnya urusan ini. Al-Imam Ibnu Hajar
al-Haytami (w. 973 H) menegaskan:
«علم أن أهم
الواجبات بعد نبينا ﷺ هو نصب الإمام، حتى شغلهم ذلك عن تجهيزه ﷺ»
"Sungguh telah diketahui bahwa kewajiban terpenting setelah
wafatnya Nabi ﷺ adalah mengangkat
seorang Imam, sedemikian pentingnya hingga mereka menyibukkan diri dengan
urusan itu sebelum memakamkan jenazah beliau ﷺ."
Frasa "kewajiban terpenting" (aham al-wâjibât) menandakan
bahwa ini adalah sebuah kebutuhan hukum primer (darûrah syar‘iyyah) yang
bersifat mengikat, bukan sekadar pilihan. Fakta bahwa tidak ada satu pun
sahabat yang menolak prinsip perlunya seorang imam—perbedaan pendapat hanya
terjadi pada siapa figur yang akan dipilih—telah memenuhi syarat terjadinya
konsensus atau ijma’.
Logika Hukum
Islam: Dari Isyarat Al-Qur'an menuju Kewajiban Sistemik
Meskipun Al-Qur'an tidak menggunakan istilah teknis "khilafah",
ia secara eksplisit menggunakan kata "khalifah" yang merujuk pada
otoritas publik dan kepemimpinan di muka bumi. Allah SWT berfirman:
إِنِّي جَاعِلٌ
فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً
"Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka
bumi." (QS. al-Baqarah: 30).
Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya menyatakan bahwa ayat ini adalah landasan fundamental mengenai kewajiban mengangkat seorang imam atau khalifah yang harus didengar dan ditaati. Beliau bahkan menegaskan, "tidak ada perselisihan di antara umat dan para imamnya mengenai kewajiban hal tersebut." Penafsiran ini didukung oleh para mufasir klasik hingga kontemporer.
Argumentasi ini
diperkuat oleh sebuah kaidah ushul fiqh yang sangat populer:
«مَا لَا يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلَّا بِهِ
فَهُوَ وَاجِبٌ»
"Sesuatu yang menjadi prasyarat sempurnanya sebuah kewajiban,
maka ia pun menjadi wajib."
Penerapannya sangat jelas: Al-Qur'an mewajibkan pelaksanaan
hukum qisas, hudud, penarikan jizyah, dan pengelolaan baitul
mal. Seluruh perintah ini secara praktis tidak mungkin terlaksana secara adil
dan sistematis tanpa adanya institusi negara yang dipimpin oleh satu otoritas
tunggal. Karena kewajiban-kewajiban utama tersebut tidak dapat berjalan
tanpanya, maka mendirikan kepemimpinan tunggal itu sendiri menjadi sebuah
"kewajiban metodologis" (wâjib fî al-ṭarîq).
Menjawab
Kritik: Absennya Kata Bukan Berarti Absennya Konsep
Kritik yang menyatakan "khilafah tidak ada di Al-Qur'an"
lahir dari pemahaman tekstual yang sempit, yang mengabaikan peran Sunnah dan
Ijma' sebagai sumber hukum yang juga mengikat. Jika konsistensi diterapkan pada
logika ini, maka seseorang juga harus menolak jumlah rakaat shalat, standar
minimal zakat (nisab) 2,5%, serta detail hukum lainnya yang tidak disebutkan
secara literal dalam Al-Qur'an. Logika semacam ini telah dijawab oleh Imam
al-Syafi'i lebih dari seribu tahun lalu:
«دل السنة
على ما لم يحط به علم القرآن»
"Sunnah
telah menunjukkan (hukum) atas apa yang ilmunya tidak tercakup secara rinci
oleh Al-Qur'an."
Kesimpulan
Berdasarkan analisis di atas, kewajiban mengangkat seorang imam
atau khalifah sebagai pemimpin tunggal umat Islam merupakan sebuah hukum yang
statusnya telah kokoh, berlandaskan pada hadis-hadis sahih, konsensus para
sahabat, serta kaidah logika hukum Islam. Argumen penolakan yang didasarkan
pada ketiadaan istilahnya secara literal di dalam Al-Qur'an tidak sejalan
dengan metodologi pengambilan dalil (manhaj istidlâl) yang disepakati para
ulama Ahlus Sunnah.
Dalam kerangka tujuan syariat (maqâṣid al-sharî‘ah), eksistensi
khilafah berfungsi untuk memelihara agama (ḥifẓ al-dīn) dan menjaga tatanan
sosial (ḥifẓ al-niẓām). Dengan demikian, menolak gagasan khilafah bukan sekadar
menolak sebuah terminologi, melainkan menafikan instrumen wajib yang menjadi
kerangka bagi penerapan syariat secara paripurna. Wallâhu a‘lam bi-al-ṣawâb.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar