Kamis, 02 Oktober 2025

Khilafah Bukan Pilihan, Tapi Keniscayaan: Analisis Berdasarkan Tiga Pilar Hukum Islam

Sejak runtuhnya Khilafah Utsmaniyah pada tahun 1924, istilah "khilafah" sering kali dipersepsikan secara negatif, bahkan dianggap sebagai gagasan politik sektarian yang tidak memiliki dasar dalam Al-Qur'an. Meskipun argumen ini terdengar logis bagi sebagian kalangan, ia menjadi rapuh ketika diuji melalui metodologi hukum Islam (ushul fiqh).

Tulisan ini bertujuan untuk menunjukkan bahwa kewajiban menegakkan satu kepemimpinan tunggal bagi umat Islam (imamah atau khilafah) adalah sebuah ketetapan hukum yang mapan, yang berakar kuat pada tiga pilar dalil syar'i: nas hadis yang sahih, konsensus sahabat (ijma’ ṣahâbah), dan penalaran hukum (qiyâs) yang didasarkan pada kaidah fundamental.

Jejak Kenabian: Landasan dari Hadis Sahih

Sumber hukum utama setelah Al-Qur'an adalah Sunnah Nabi Muhammad . Dalam beberapa hadis sahih, beliau tidak hanya menyebutkan, tetapi juga memberikan kerangka struktural bagi eksistensi khilafah.

Hadis pertama, yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, menyatakan:

«الخلافة بعدي ثلاثون سنة ثم يكون ملكًا… ثم تكون خلافة على منهاج النبوة»

"Khilafah sesudahku akan berlangsung selama tiga puluh tahun, kemudian akan menjadi kerajaan... kemudian akan ada lagi khilafah yang mengikuti metode kenabian."

(HR. Ahmad).

Hadis kedua, yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, menegaskan prinsip kesatuan kepemimpinan:

«من أتاكم وأمركم جميع على رجل واحد يريد أن يشق عصاكم فاقتلوه»

"Barangsiapa datang kepada kalian saat urusan kalian telah bersatu di bawah satu orang (pemimpin), lalu ia hendak memecah belah persatuan kalian, maka perangilah ia."

(HR. Muslim).

 Kedua hadis ini secara kolektif menetapkan dua hal fundamental: pertama, khilafah adalah sebuah keniscayaan historis yang akan berulang sesuai metode kenabian, dan kedua, adanya larangan tegas terhadap pluralitas kepemimpinan dalam satu waktu untuk menjaga kesatuan umat.

Konsensus Sahabat (Ijma’ As- Shahabah): Fondasi Konstitusional Pertama

Segera setelah wafatnya Rasulullah , para sahabat berkumpul di Saqifah Bani Sa'idah. Peristiwa ini bukanlah sekadar respons darurat, melainkan sebuah constitutional moment atau momen penetapan dasar konstitusional bagi umat Islam.

Prioritas mereka untuk segera memilih seorang pemimpin—bahkan sebelum jenazah Nabi dimakamkan—menunjukkan betapa gentingnya urusan ini. Al-Imam Ibnu Hajar al-Haytami (w. 973 H) menegaskan:

«علم أن أهم الواجبات بعد نبينا ﷺ هو نصب الإمام، حتى شغلهم ذلك عن تجهيزه ﷺ»

"Sungguh telah diketahui bahwa kewajiban terpenting setelah wafatnya Nabi adalah mengangkat seorang Imam, sedemikian pentingnya hingga mereka menyibukkan diri dengan urusan itu sebelum memakamkan jenazah beliau ."

Frasa "kewajiban terpenting" (aham al-wâjibât) menandakan bahwa ini adalah sebuah kebutuhan hukum primer (darûrah syar‘iyyah) yang bersifat mengikat, bukan sekadar pilihan. Fakta bahwa tidak ada satu pun sahabat yang menolak prinsip perlunya seorang imam—perbedaan pendapat hanya terjadi pada siapa figur yang akan dipilih—telah memenuhi syarat terjadinya konsensus atau ijma’.

Logika Hukum Islam: Dari Isyarat Al-Qur'an menuju Kewajiban Sistemik

Meskipun Al-Qur'an tidak menggunakan istilah teknis "khilafah", ia secara eksplisit menggunakan kata "khalifah" yang merujuk pada otoritas publik dan kepemimpinan di muka bumi. Allah SWT berfirman:

إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً
"Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." (QS. al-Baqarah: 30).

 Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya menyatakan bahwa ayat ini adalah landasan fundamental mengenai kewajiban mengangkat seorang imam atau khalifah yang harus didengar dan ditaati. Beliau bahkan menegaskan, "tidak ada perselisihan di antara umat dan para imamnya mengenai kewajiban hal tersebut." Penafsiran ini didukung oleh para mufasir klasik hingga kontemporer.

Argumentasi ini diperkuat oleh sebuah kaidah ushul fiqh yang sangat populer:

«مَا لَا يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلَّا بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ»
"Sesuatu yang menjadi prasyarat sempurnanya sebuah kewajiban, maka ia pun menjadi wajib."

Penerapannya sangat jelas: Al-Qur'an mewajibkan pelaksanaan hukum qisas, hudud, penarikan jizyah, dan pengelolaan baitul mal. Seluruh perintah ini secara praktis tidak mungkin terlaksana secara adil dan sistematis tanpa adanya institusi negara yang dipimpin oleh satu otoritas tunggal. Karena kewajiban-kewajiban utama tersebut tidak dapat berjalan tanpanya, maka mendirikan kepemimpinan tunggal itu sendiri menjadi sebuah "kewajiban metodologis" (wâjib fî al-ṭarîq).

Menjawab Kritik: Absennya Kata Bukan Berarti Absennya Konsep

Kritik yang menyatakan "khilafah tidak ada di Al-Qur'an" lahir dari pemahaman tekstual yang sempit, yang mengabaikan peran Sunnah dan Ijma' sebagai sumber hukum yang juga mengikat. Jika konsistensi diterapkan pada logika ini, maka seseorang juga harus menolak jumlah rakaat shalat, standar minimal zakat (nisab) 2,5%, serta detail hukum lainnya yang tidak disebutkan secara literal dalam Al-Qur'an. Logika semacam ini telah dijawab oleh Imam al-Syafi'i lebih dari seribu tahun lalu:

«دل السنة على ما لم يحط به علم القرآن»

"Sunnah telah menunjukkan (hukum) atas apa yang ilmunya tidak tercakup secara rinci oleh Al-Qur'an."

 Kesimpulan

Berdasarkan analisis di atas, kewajiban mengangkat seorang imam atau khalifah sebagai pemimpin tunggal umat Islam merupakan sebuah hukum yang statusnya telah kokoh, berlandaskan pada hadis-hadis sahih, konsensus para sahabat, serta kaidah logika hukum Islam. Argumen penolakan yang didasarkan pada ketiadaan istilahnya secara literal di dalam Al-Qur'an tidak sejalan dengan metodologi pengambilan dalil (manhaj istidlâl) yang disepakati para ulama Ahlus Sunnah.

Dalam kerangka tujuan syariat (maqâṣid al-sharî‘ah), eksistensi khilafah berfungsi untuk memelihara agama (ḥifẓ al-dīn) dan menjaga tatanan sosial (ḥifẓ al-niẓām). Dengan demikian, menolak gagasan khilafah bukan sekadar menolak sebuah terminologi, melainkan menafikan instrumen wajib yang menjadi kerangka bagi penerapan syariat secara paripurna. Wallâhu a‘lam bi-al-ṣawâb.



 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Meniti Jalan Hidayah: Dari Adab Dasar Menuju Puncak Kemuliaan

  Oleh  :  Muhammad Fitrianto, S.Pd.Gr, Lc, M.A., M.Pd Setiap Muslim mendambakan hidayah, cahaya petunjuk dari Allah SWT yang menerangi ja...