Oleh : Dr. Rahma Qomariyah
Dalam rumah tangga, Allah SWT
memberikan peran kepada suami sebagai pemimpin rumah tangga. Ia wajib memimpin, melindungi dan memberi
nafkah kepada keluarganya. Adapun peran
istri adalah sebagai ibu, pengatur rumah dan pendidik anak-anaknya di bawah
kepemimpinan suami. Allah SWT Berfirman
:
“Kaum
laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita karena Allah telah melebihkan
sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), juga karena mereka
(laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka (kepada wanita)” (QS.
An Nisa [4] : 34).
Dari sinilah seorang laki-laki
mendapat jabatan dari Allah sebagai seorang ayah. Jabatan yang mulia ini bisa mengantarkan ia
susah dan menyusahkan dunia dan akhirat.
Sebaliknya jabatan ini juga mampu membahagiakan dunia dan akhirat.
Agar ayah bisa bahagia dan
membahagiakan, menurut Imam Al Qudha’I dalam Musnad Asy Syihab, kebahagiaan
dari segala kebahagiaan adalah panjang usia dalam ketaatan kepada Allah. Dari sini bisa dijabarkan faktor-faktor yang
mampu menjadikan ayah bahagia dan membahagiakan sebagai berikut :
Pertama,
ayah senantiasa membekali diri dan memproses anak-anaknya menjadi pemimpin
orang-orang yang betaqwa. Orang tua
wajib mendidik anak-anaknya agar menjadi anak yang shalih-shalihah. Yaitu berkepribadian Islam yang tingkah
lakunya sesuai ajaran Islam. Pendidikan
sangat penting diberikan oleh orang tua kepada anaknya. Tiada sesuatu yang lebih bermanfaat bagi
anak, bagi kejayaan Islam dan kaum muslimin kecuali pemberian pendidikan yang
baik kepada anak, Sabda Rasulullah s.a.w :
“
Tidak ada pemberian seorang ayah (orang tua) yang lebih utama dari pendidikan
yang baik” (HR. at-Tirmidzi).
Orang tua yang mampu memberikan
pendidikan yang baik kepada anak-anaknya adalah orang tua yang mampu
mengantarkan anaknya menjadi qurrata a’yun lil muttaqiina imama. Allah SWT berfirman :
“ Ya
Tuhan kami, anugerahkan kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai
penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang
bertaqwa. (QS. Al Furqan [25] : 74).
Imam Ath Thabari menafsirkan ayat di
atas bahwa kandungan doa dalam ayat tersebut adalah memohon kepada Allah SWT:
1. Pasangan dan anak cucu yang bekerjasama untuk
taat kepada Allah. Keluarga yang
berambisi kuat untuk masuk surga secara bersama-sama dan kelak berkumpul
kembali di surga.
2. Diri dan keluarganya menjadi pemimpin
orang-orang bertaqwa. Menjadi teladan dan bertaqwa. Ini semua tidak bisa dicapai kecuali dengan
ilmu dan amal.
Artinya, ayah/orang tua harus
mencari bekal ilmu untuk memproses diri dan keluarganya sehingga apa yang ada
dalam doanya terealisasi.
Memang benar, ayah sebagai pemimpin
dalam pendidikan keluarga. Akan tetapi,
dalam implementasinya, terutama pada anak-anak yang masih kecil peran yang
paling dominan adalah ibu. Ibulah
pondasi pendidikan, madarasah utama dan pertama mereka. Karena itu, para ibu dan calon ibu,
perhatikanlah pesan ini : “ Ibu , engkaulah sekolah pertama dan utama bagi
anak-anakmu. Di tanganmulah kebaikan
umat ini. Jika engkau mempersiapkan
mereka, berarti engkau mempersiapkan umat menjadi umat yang terbaik”.
Kedua, ayah memberi nafkah dengan
rezeki yang halal dan keluarga senantiasa bersyukur. Allah SWT mewajibkan laki-laki/suami sebagai
penanggungjawab nafkah keluarga. Tentu
seorang ayah akan bahagia kalau mendapatkan reeki yang halal dan mampu
menafkahi keluarganya dengan cara yang makruf.
Rezeki ini akan membahagiakan jika keluargnya senantiasa bersyukur. Karena itu ayah wajib mendidik anak-anak dan
istrinya agar pandai bersyukur.
Rezeki itu harus dibelanjakan sesuai
kebutuhan, bukan sesuai keinginan, berfoya-foya dan konsumtif. Tentu agar rezeki yang diperoleh menjadi
berkah dan semakin mendekatkan diri kepada Allah SWT. Keluarga yang senantiasa bersyukur tidak
menuntut dan membebani ayah untuk memenuhi nafkah yang melebihi kemampuannya.
Tidak sedikit ayah yang dibuat sedih
karena tanggungan nafkah yang berat.
Bahkan mendorong dia melakukan korupsi, kecurangan dan hutang riba. Lebih dari itu ada yang stress karenanya,
bahkan bunuh diri.
Di dalam Islam istri dan anak-anak
diharamkan membebani ayah dalam masalah nafkah keluarga, Allah SWT berfirman :
“
Kewajiban ayah memberi maka dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut
kadar kesangguannya. Janganlah seorang
ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya. (QS.
Al Baqarah :[2] ; 233).
Dengan demikian ayah harus mampu
menjadikan keluarganya membelanjakan hartanya dengan benar dan pandai
bersyukur. Ayah harus membangun ekonomi
keluarga berbasis nafkah yang halal.
Ayah tidak membangun ekonomi keluarga berbasis utang. Rumah kreit, mobil kredit, motor kredit,
dsb. Apalagi membangun ekonomi keluarga
berbasis utang riba.
Keluarga yang pandai bersyukur
inilah yang mampu mengantarkan keluargnya menjadi keluarga amat bahagia,
sakinah mawaddah wa rahmah (keluarga samara).
Allah SWT akan ,menambahkan rezekinya. Sebagaimana janji-Nya :
“
Sungguh jika kalian bersyukur, pasti Aku akan menambah nikma-Ku pada
kalian. Jika kalian mengingkari
(nikmat-Ku), sungguh azab-Ku sangat pedih”. (QS. Ibrahim : [14] : 7).
Ketiga, ayah bergaul dengan keluarga
secara makruf. Ayah yang mampu bergaul
dengan keluarga secara makruf akan mampu menciptakan keluarga yang harmonis,
saling membantu dan saling membahagiakan.
Pengaruhnya, istri akan melaksanakan tanggung jawabnya penuh cinta,
semangat, riang dan bahagia. Ayah harus mampu menciptakan pergaulan suami istri
yang harmonis, bagaikan dua sahabat. Demikian sebagamana dinyatakan oleh Syekh
Taqiyuddin an Nabhani dalam An Nizham al Ijtma’I fi al Islam.
Dengan itu mereka mampu mengantarkan keluarga mereka amat bahagia,
sakinah mawaddah wa rahmah. Sekalipun
kepemimpinan ada pada suami, hal ini tidak menjadikan suami otoriter dan
menzhalimi istri. Sebab relasi suami istri bukan seperti komandan dengan
prajurit atau terdakwa dengan polisi.
Pada saat beban istri sangat banyak dan berat sehingga ia tidak
kuat untuk mengerjakannya, maka suami berkewajiban membantu istri untuk
meringankan bebannya. Bantuan itu baik dibantu tangannya sendiri maupun dengan
menggaji pembantu. Semuanya ini termasuk dalam cakupan pemberian nafkah secara
makruf. (QS. Al Baqarah [2] : 233).
Dalam suatu riwayat disebutkan, Rasululah saw pernah menjahit
sandalnya sendiri, membantu menggiling tepung dan membantu pekerjaan rumah yang
lain. Ternyata Rasululah saw betul-betul
hebat. Sekalipun saat itu beliau sangat sibuk karena rangkap jabatan sebagai
kepala Daulah Islamiyah, juga sebagai Nabi dan Rasul-Nya, beliau masih
menyempatkan diri setiap malam sebelum tidur, bercanda terlebih dahulu dengan
keluarganya.
Kempat, ayah mampu menjaga anak dan istrinya dari api neraka. Allah SWT berfirman :
“ Hai orang-orang beriman, jagalah diri kalian dan keluarga kalian
dari api neraka. (QS. At Tahrim [66] : 6).
Ayah yang membahagiakan akan senantiasa ingin keluarganya bahagia
dunia dan akhirat. Ayah berusaha memberi bekal agama Islam kepada keluarganya
agar menjalani kehidupan sesuai syariah Islam secara kaffah. Baik urusan dunia
mauun urusan akhirat. Baik saat bergaul, berekonomi, berpolitik, berkeluarga,
bertetangga, bermasyarakat maupun bernegara.