Rabu, 24 April 2019

Ayah Bahagia dan Membahagiakan


Oleh : Dr. Rahma Qomariyah
            Dalam rumah tangga, Allah SWT memberikan peran kepada suami sebagai pemimpin rumah tangga.  Ia wajib memimpin, melindungi dan memberi nafkah kepada keluarganya.  Adapun peran istri adalah sebagai ibu, pengatur rumah dan pendidik anak-anaknya di bawah kepemimpinan suami.  Allah SWT Berfirman :
“Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), juga karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka (kepada wanita)” (QS. An Nisa [4] : 34).
            Dari sinilah seorang laki-laki mendapat jabatan dari Allah sebagai seorang ayah.  Jabatan yang mulia ini bisa mengantarkan ia susah dan menyusahkan dunia dan akhirat.  Sebaliknya jabatan ini juga mampu membahagiakan dunia dan akhirat.
            Agar ayah bisa bahagia dan membahagiakan, menurut Imam Al Qudha’I dalam Musnad Asy Syihab, kebahagiaan dari segala kebahagiaan adalah panjang usia dalam ketaatan kepada Allah.  Dari sini bisa dijabarkan faktor-faktor yang mampu menjadikan ayah bahagia dan membahagiakan sebagai berikut :
Pertama, ayah senantiasa membekali diri dan memproses anak-anaknya menjadi pemimpin orang-orang yang betaqwa.  Orang tua wajib mendidik anak-anaknya agar menjadi anak yang shalih-shalihah.  Yaitu berkepribadian Islam yang tingkah lakunya sesuai ajaran Islam.  Pendidikan sangat penting diberikan oleh orang tua kepada anaknya.  Tiada sesuatu yang lebih bermanfaat bagi anak, bagi kejayaan Islam dan kaum muslimin kecuali pemberian pendidikan yang baik kepada anak, Sabda Rasulullah s.a.w :
“ Tidak ada pemberian seorang ayah (orang tua) yang lebih utama dari pendidikan yang baik” (HR. at-Tirmidzi).
            Orang tua yang mampu memberikan pendidikan yang baik kepada anak-anaknya adalah orang tua yang mampu mengantarkan anaknya menjadi qurrata a’yun lil muttaqiina imama.  Allah SWT berfirman :
“ Ya Tuhan kami, anugerahkan kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertaqwa. (QS. Al Furqan [25] : 74).
            Imam Ath Thabari menafsirkan ayat di atas bahwa kandungan doa dalam ayat tersebut adalah memohon kepada Allah SWT:
1.  Pasangan dan anak cucu yang bekerjasama untuk taat kepada Allah.  Keluarga yang berambisi kuat untuk masuk surga secara bersama-sama dan kelak berkumpul kembali di surga.
2.  Diri dan keluarganya menjadi pemimpin orang-orang bertaqwa. Menjadi teladan dan bertaqwa.  Ini semua tidak bisa dicapai kecuali dengan ilmu dan amal.
            Artinya, ayah/orang tua harus mencari bekal ilmu untuk memproses diri dan keluarganya sehingga apa yang ada dalam doanya terealisasi.
            Memang benar, ayah sebagai pemimpin dalam pendidikan keluarga.  Akan tetapi, dalam implementasinya, terutama pada anak-anak yang masih kecil peran yang paling dominan adalah ibu.  Ibulah pondasi pendidikan, madarasah utama dan pertama mereka.  Karena itu, para ibu dan calon ibu, perhatikanlah pesan ini : “ Ibu , engkaulah sekolah pertama dan utama bagi anak-anakmu.  Di tanganmulah kebaikan umat ini.  Jika engkau mempersiapkan mereka, berarti engkau mempersiapkan umat menjadi umat yang terbaik”.
            Kedua, ayah memberi nafkah dengan rezeki yang halal dan keluarga senantiasa bersyukur.  Allah SWT mewajibkan laki-laki/suami sebagai penanggungjawab nafkah keluarga.  Tentu seorang ayah akan bahagia kalau mendapatkan reeki yang halal dan mampu menafkahi keluarganya dengan cara yang makruf.  Rezeki ini akan membahagiakan jika keluargnya senantiasa bersyukur.  Karena itu ayah wajib mendidik anak-anak dan istrinya agar pandai bersyukur.
            Rezeki itu harus dibelanjakan sesuai kebutuhan, bukan sesuai keinginan, berfoya-foya dan konsumtif.  Tentu agar rezeki yang diperoleh menjadi berkah dan semakin mendekatkan diri kepada Allah SWT.  Keluarga yang senantiasa bersyukur tidak menuntut dan membebani ayah untuk memenuhi nafkah yang melebihi kemampuannya.
            Tidak sedikit ayah yang dibuat sedih karena tanggungan nafkah yang berat.  Bahkan mendorong dia melakukan korupsi, kecurangan dan hutang riba.  Lebih dari itu ada yang stress karenanya, bahkan bunuh diri.
            Di dalam Islam istri dan anak-anak diharamkan membebani ayah dalam masalah nafkah keluarga, Allah SWT berfirman :
“ Kewajiban ayah memberi maka dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf.  Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesangguannya.  Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya. (QS. Al Baqarah :[2] ; 233).
            Dengan demikian ayah harus mampu menjadikan keluarganya membelanjakan hartanya dengan benar dan pandai bersyukur.  Ayah harus membangun ekonomi keluarga berbasis nafkah yang halal.  Ayah tidak membangun ekonomi keluarga berbasis utang.  Rumah kreit, mobil kredit, motor kredit, dsb.  Apalagi membangun ekonomi keluarga berbasis utang riba.
            Keluarga yang pandai bersyukur inilah yang mampu mengantarkan keluargnya menjadi keluarga amat bahagia, sakinah mawaddah wa rahmah (keluarga samara).  Allah SWT akan ,menambahkan rezekinya. Sebagaimana janji-Nya :
“ Sungguh jika kalian bersyukur, pasti Aku akan menambah nikma-Ku pada kalian.  Jika kalian mengingkari (nikmat-Ku), sungguh azab-Ku sangat pedih”. (QS. Ibrahim : [14] : 7).
            Ketiga, ayah bergaul dengan keluarga secara makruf.  Ayah yang mampu bergaul dengan keluarga secara makruf akan mampu menciptakan keluarga yang harmonis, saling membantu dan saling membahagiakan.  Pengaruhnya, istri akan melaksanakan tanggung jawabnya penuh cinta, semangat, riang dan bahagia. Ayah harus mampu menciptakan pergaulan suami istri yang harmonis, bagaikan dua sahabat. Demikian sebagamana dinyatakan oleh Syekh Taqiyuddin an Nabhani dalam An Nizham al Ijtma’I fi al Islam.
Dengan itu mereka mampu mengantarkan keluarga mereka amat bahagia, sakinah mawaddah wa rahmah.  Sekalipun kepemimpinan ada pada suami, hal ini tidak menjadikan suami otoriter dan menzhalimi istri. Sebab relasi suami istri bukan seperti komandan dengan prajurit atau terdakwa dengan polisi.
Pada saat beban istri sangat banyak dan berat sehingga ia tidak kuat untuk mengerjakannya, maka suami berkewajiban membantu istri untuk meringankan bebannya. Bantuan itu baik dibantu tangannya sendiri maupun dengan menggaji pembantu. Semuanya ini termasuk dalam cakupan pemberian nafkah secara makruf. (QS. Al Baqarah [2] : 233).
Dalam suatu riwayat disebutkan, Rasululah saw pernah menjahit sandalnya sendiri, membantu menggiling tepung dan membantu pekerjaan rumah yang lain.  Ternyata Rasululah saw betul-betul hebat. Sekalipun saat itu beliau sangat sibuk karena rangkap jabatan sebagai kepala Daulah Islamiyah, juga sebagai Nabi dan Rasul-Nya, beliau masih menyempatkan diri setiap malam sebelum tidur, bercanda terlebih dahulu dengan keluarganya.
Kempat, ayah mampu menjaga anak dan istrinya dari api neraka.  Allah SWT berfirman :
“ Hai orang-orang beriman, jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka. (QS. At Tahrim [66] : 6).
Ayah yang membahagiakan akan senantiasa ingin keluarganya bahagia dunia dan akhirat. Ayah berusaha memberi bekal agama Islam kepada keluarganya agar menjalani kehidupan sesuai syariah Islam secara kaffah. Baik urusan dunia mauun urusan akhirat. Baik saat bergaul, berekonomi, berpolitik, berkeluarga, bertetangga, bermasyarakat maupun bernegara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MERESTART ULANG KEHIDUPAN

* Oleh  : Abu Afra t.me/AbuAfraOfficial Terkadang ada orang yang ketika awal hijrahnya begitu bersemangat.  Dimana-mana selalu ngomong...