Senin, 22 Desember 2025

Generasi Muda Muslim di Pusaran Dunia Digital

Teknologi digital kini menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan generasi muda muslim. Riset We Are Social dan Data Reportal 2025 menunjukkan, anak muda berusia 16–24 tahun menghabiskan rata-rata 7–9 jam per hari di internet, dengan lebih dari 97 persen di antaranya mengakses lewat gawai pintar. Angka ini menggambarkan betapa kuatnya pengaruh ruang digital dalam membentuk cara berpikir, bersikap, dan memahami agama. ​

Pola belajar agama pun bergeser. Jika dulu pemahaman keislaman bertumpu pada guru, ulama, dan majelis ilmu, kini banyak anak muda menjadikan algoritma media sosial sebagai rujukan utama. Konten-konten singkat, cepat, dan instan lebih sering dikonsumsi ketimbang kajian mendalam yang membutuhkan kesabaran intelektual.

Ruang Digital di Bawah Hegemoni Korporasi Global

Ruang digital yang setiap hari diakses generasi muda sejatinya telah dikuasai segelintir perusahaan teknologi raksasa. Laporan Global Internet Phenomena menunjukkan, sekitar 65–70 persen trafik internet dunia diserap layanan video seperti YouTube, TikTok, dan Netflix. Google menguasai lebih dari 90 persen pasar mesin pencari global, sementara Meta melalui Facebook, Instagram, dan WhatsApp mengelola miliaran interaksi sosial digital setiap hari. ​

Fakta ini menegaskan bahwa arus informasi, hiburan, dan interaksi digital dunia berada di bawah kendali korporasi kapitalis global. Di dalamnya, narasi, nilai, dan cara pandang tertentu disebarkan secara masif dan terus-menerus, termasuk kepada generasi muda muslim.

Berbagai laporan internasional menempatkan ruang digital sebagai salah satu faktor paling berpengaruh dalam membentuk pola pikir dan identitas keagamaan anak muda. UNESCO menegaskan bahwa platform digital kini menjadi ruang utama pertarungan nilai, tempat generasi muda setiap hari terpapar budaya individualis, liberal, dan sekuler. Dominasi ini menjadikan dunia digital bukan sekadar sarana komunikasi, melainkan instrumen kontrol global yang dapat digunakan untuk kepentingan politik, ekonomi, maupun ideologi. ​

Split Personality dan Krisis Identitas Keagamaan

Paparan nilai global yang bertentangan dengan ajaran Islam melahirkan generasi muslim yang mengalami “split personality”. Di satu sisi, mereka ingin tampil sebagai muslim yang taat. Namun di sisi lain, mereka larut dalam gaya hidup sekuler yang terus mereka konsumsi melalui gawai.

Kondisi ini melahirkan identitas keislaman yang rapuh. Sebagian anak muda kehilangan kepercayaan diri sebagai muslim dan tumbuh dengan pemahaman agama yang sempit. Apa yang mereka yakini sering kali dibentuk oleh algoritma dan tren, bukan oleh bimbingan ulama dan tradisi keilmuan yang otentik.

Situasi tersebut mengonfirmasi bahwa dunia digital bukan ruang netral. Ia telah menjelma menjadi arena ideologis yang sistematis dalam membentuk cara pandang generasi muda terhadap agama, kehidupan, dan masa depan.

Digitalisasi Tanpa Visi, Ancaman Tanpa Perlindungan

Kemajuan teknologi, termasuk digitalisasi, pada hakikatnya merupakan keniscayaan dalam peradaban manusia. Namun ketika berada di bawah hegemoni kapitalisme global, kemajuan itu justru dapat berubah menjadi sumber bencana sosial bagi generasi muda.

Ruang digital hari ini dipenuhi konten merusak: pornografi, judi online, pinjaman daring yang menjerat, perundungan siber, perdagangan manusia, hingga propaganda moderasi dan liberalisasi nilai. Semua ini bukan hanya merusak kepribadian individu, tetapi juga menggerogoti pondasi keimanan generasi muslim.

Ironisnya, negara sekuler seperti Indonesia tidak hadir sebagai penjaga yang melindungi. Alih-alih membangun ekosistem digital yang aman dan bersih, kebijakan digital yang diambil lebih berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, investasi, dan kepentingan industri. Visi ideologis untuk menjaga akidah dan moral umat nyaris tak tampak dalam perumusan kebijakan.

Digitalisasi yang dilepaskan tanpa arah mempercepat proses sekularisasi dan liberalisasi di tengah masyarakat. Nilai-nilai Islam terkikis perlahan melalui konten, algoritma, dan budaya konsumtif yang diimpor dari luar. Jika kondisi ini terus dibiarkan, bukan hanya kualitas generasi yang melemah, tetapi juga semakin panjanglah hegemoni ideologis bangsa-bangsa penjajah atas dunia Islam.

Perlunya Negara yang Menjadi Perisai Umat

Problem struktural ini menuntut hadirnya negara yang berfungsi sebagai pengurus dan pelindung umat. Dalam khazanah Islam, negara khilafah diposisikan sebagai ra’in (pengurus urusan rakyat) sekaligus junnah (perisai pelindung). Rasulullah saw. bersabda, “Imam (khalifah) adalah perisai; di belakangnya umat berperang dan berlindung.” (HR Muslim).

Dalam kerangka tersebut, seluruh kebijakan negara dirancang untuk menjaga dan menyelamatkan generasi. Perlindungan itu tidak hanya menyangkut ruang fisik, tetapi juga meliputi ruang digital yang kini menjadi lingkungan hidup utama anak muda.

Dengan visi ideologis yang jelas, negara akan memastikan setiap kebijakan digital, pendidikan, dan informasi berpihak pada penjagaan akidah, akhlak, dan intelektualitas umat. Negara khilafah digambarkan sebagai entitas politik yang independen, tidak bergantung pada kekuatan asing, termasuk dalam bidang teknologi digital.

Kemandirian ini memungkinkan pembangunan infrastruktur digital, perangkat lunak, keamanan siber, dan teknologi kecerdasan buatan yang sepenuhnya diarahkan untuk kemaslahatan Islam dan kaum muslimin. Dunia pendidikan, riset, dan inovasi akan mendapatkan dukungan penuh, sehingga teknologi berfungsi sebagai alat penguatan umat, bukan instrumen penjajahan budaya maupun politik.

Menata Ulang Ruang Digital dalam Bingkai Syariat

Dalam pengelolaan ruang digital, negara yang berlandaskan syariat akan melakukan penyaringan ketat terhadap seluruh konten yang merusak akidah, kepribadian Islam, dan struktur sosial umat, dengan memanfaatkan teknologi mutakhir. Ruang digital justru diarahkan menjadi sarana pendidikan Islam, media dakwah, dan wahana propaganda positif untuk menunjukkan kekuatan dan peradaban Islam kepada dunia.

Penegakan syariat Islam secara kaffah diyakini akan menghilangkan akar-akar kerusakan yang saat ini subur di ruang digital, mulai dari pornografi, kriminalitas, penipuan, hingga liberalisasi pemikiran. Karena itu, perjuangan menegakkan khilafah dipandang bukan hanya sebagai kewajiban syar‘i, tetapi juga kebutuhan mendesak demi menyelamatkan generasi dari kehancuran peradaban modern.



Generasi Muda Muslim di Pusaran Dunia Digital

Teknologi digital kini menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan generasi muda muslim. Riset We Are Social dan Data Reportal 2025 menunj...