Oleh : Muhammad Fitrianto
REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING --
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam bidang Hak Asasi Manusia (HAM) mendapat
laporan akan adanya penyanderaan yang dilakukan pemerintah Cina terhadap
minoritas muslim Uighur. Panel HAM PBB mengaku mendapatkan sejumlah laporan kredibel
di mana etnis minoritas itu disekap dalam fasilitas rahasia.
Laporan tersebut mengatakan sekitar 2 juta etnis Uighur dan
minoritas muslim lainnya ditempatkan di kawasan barat daerah otonomi Xinjiang.
Mereka ditahan di sebuah kamp politik guna menjalani proses cuci otak atau
indoktrinasi.
Untuk diketahui populasi etnis Uighur
di China sekitar 11 juta jiwa.
Kebanyakan mereka berdomisili di wilayah otonom Xinjiang Cina bagian
Barat. Mereka berasal dari etnis
Turki. Xinjhiang sendiri berpenduduk
sekitar 26 Juta jiwa. Diantaranya suku Uighur
(45,21%), suku Kazakh (6,74%), suku Han (40,58%) ini menurut data sensus
penduduk tahun 2000-an. Xinjhiang
berbatasan dengan daerah otonomi Tibet di sebelah selatan. Propinsi Qinghai dan Gansu di sebelah
Tenggara, Mongolia di sebelah Timur, Rusia di Utara dan Kazakhstan, Kirghistan,
Tajikistan, Afghanistan dan Kashmir di sebelah Barat.
Suku Uighur dipantau sangat ketat
oleh Pemerintah China. Terutama semenjak
tahun 2009 ketika ada 200 orang dari suku Han (penduduk asli China) yang tewas
dalam kerusuhan di Umruqi ibu kota Xinjhiang.
Setiap ada serangan terorisme hampir selalu dikaitkan dan dituduhkan
kepada mereka. Bahkan terjadi
penangkapan besar-besaran terhadap suku Uighur hanya karena mereka memiliki
kerabat yang tinggal di 26 negara yang dianggap rawan atau sensitif berafiliasi
dengan teroris ISIS. Apalagi ketika
terjadi penikaman terhadap 5 orang dari suku Han yang mengakibatkan tewasnya
korban. Pasca itulah Pemerintah China
mulai bertindak represif terhadap suku Uighur dengan alasan memberantas kaum
ekstrimis dan separatisme.
Mereka dipaksa berbahasa mandarin
dan didoktrin untuk meninggalkan keislaman mereka. Diarahkan agar menjadikan ideologi komunis
sebagai ideologi mereka dengan berbagai siksaan fisik maupun psikis. Mereka diperlakukan sangat tidak manusiawi
hanya karena mereka orang Uighur dan
hanya karena mereka muslim.
Telah banyak aduan dari berbagai
lembaga Ham internasional tentang Uighur, bahwa telah terjadi pelanggaran HAM
oleh pemerintah China terhadap muslim Uighur.
Namun PBB ataupun negara-negara di dunia ini hanya bisa mengecam dan
mengecam saja. Penderitaan muslim Uighur
masih terus berlanjut sampai sekarang. Hubungan antara pemerintah pusat China dan warga
muslim etnis Uighur yang berdiam di Provinsi Xinjiang terus memburuk. Bahkan
mereka terus dipersekusi sampai ke luar negeri.
Akar Masalah
Sebuah
potret sejarah dan identitas Muslim Uighur menyoroti mengapa China—negara
komunis yang mengabadikan atheisme dan hak istimewa mayoritas penduduk etnis
Han—berkomitmen untuk melenyapkan orang-orang ini.
Kaum
Uighur adalah minoritas yang dicap dengan stigma di dua bidang: etnis dan
agama, dan terperangkap dalam pengawasan polisi Orwellian yang memandang Islam
sebagai penghinaan terhadap atheisme yang didukung negara, dan identitas Uighur
sebagai penghalang bagi supremasi etnis Han.
Setelah
mendeklarasikan kemerdekaan secara singkat pada awal abad ke-20, Xinjiang—dan
populasi Muslim Uighur yang cukup besar—dianeksasi oleh China komunis pada
tahun 1949, dan tetap berada di bawah kendali otoriternya sampai hari ini.
Wilayah
ini masih disebut Turkistan Timur oleh Muslim Uighur. Sejalan dengan imajinasi
nasionalis ini, Muslim Uighur juga memiliki bahasa mereka sendiri, Uighur—sebelumnya
dikenal sebagai Turki Timur—yang hanya dituturkan oleh penduduk Uighur Xinjiang
dan penduduk di diaspora mereka.
Unsur-unsur
dalam populasi Uighur di China telah berusaha untuk merebut kembali kemerdekaan
mereka, mengklaim keaslian dan penindasan sebagai basis untuk memisahkan diri
dari China.
Sebagai
tanggapannya, China mempromosikan gerakan massa Han China untuk masuk ke
pedalaman negara itu—termasuk Xinjiang—yang telah secara efektif mengurangi
jumlah Muslim Uighur hingga menjadi minoritas di tanah kelahiran mereka
sendiri, dan secara strategis mencegah kemungkinan adanya gerakan kemerdekaan.
Serangan
teror 9/11 di Amerika Serikat menciptakan kemungkinan baru bagi China untuk
menekan populasi Muslim Uighur di luar demografi. Sama halnya, Beijing mengadopsi
Islamofobia Amerika yang diabadikan oleh pemerintahan Bush, dan menggunakan
“Perang Melawan Teror” untuk menyatukan Islam dengan terorisme.
Dengan
sebagian besar dunia curiga terhadap Islam dan Perang Global Melawan Teror yang
sepenuhnya dikerahkan, China memanfaatkan lanskap geopolitik yang matang yang
memungkinkan tindakan keras tanpa henti dan kuat terhadap Muslim
Uighur—menargetkan Islam sebagai cara untuk menghancurkan orang-orang yang
menolak mengubah keyakinan, bahasa, dan adat-istiadat, mereka dengan pilihan
yang dipaksakan kepada mereka oleh Beijing.
KRIMINALISASI
ISLAM
Islam
adalah pusat identitas Uighur, dan ekspresi keagamaan sangat terkait dengan
bahasa dan budaya. Tetapi Perang Melawan Teror memungkinkan Beijing untuk
menargetkan identitas agama Muslim Uighur agar tidak hanya menghambat aspirasi
kemerdekaan, tetapi juga mendorong pembersihan etnis skala penuh.
Pelarangan universal terhadap Muslim yang mengekspresikan
(identitasnya)—di negara-negara Barat dan Timur—memungkinkan China untuk
“mengorbankan Uighur di bawah skema geopolitik” sebagai langkah awal. Dan dalam
beberapa tahun terakhir, China sepenuhnya menjalankannya dengan serangkaian
kebijakan yang saling berkaitan, yang membuat Islamofobia di Amerika atau
Prancis terlihat seperti tak ada apa-apanya.
Namun, memahami skala luas dan kedalaman penindasan China
terhadap Muslim Uighur, sepenuhnya terungkap oleh tujuan aslinya: yaitu
transformasi dan pemusnahan, bukan untuk menyingkirkan teroris. Memidanakan dan
memenjarakan Islam—pengelompokan identitas Uighur yang paling mencolok dan
sakral—adalah cara Beijing untuk mewujudkan tujuan itu.
Jelaslah bahwa kondisi di Xinjhiang China yang menimpa
saudara-saudara kita dari suku Uighur ini adalah potret nyata dan gamblang
peperangan antar ideologi. Dimana
Ideologi Komunisme yang tengah berkuasa tengah berupaya menyingkirkan ideologi
Islam yang masih bercokol dan mengakar kuat pada orang-orang Uighur. Karena bagi China, Islam adalah sebuah
penyakit mental yang harus diobati.
Untuk itulah mereka memaksa suku Uighur untuk dire’edukasi dalam
kamp-kamp raksasa.
Gay McDougall, Komisioner PBB
terkait Penghapusan Diskriminasi Rasial, mengklaim bahwa hingga dua juta orang
Uyghur dan minoritas Muslim lainnya dipaksa masuk ke kamp-kamp politik untuk
(dijadikan target) indoktrinasi. Banyak para tahanan yang dipenjara untuk waktu
yang tak ditentukan dan tanpa dakwaan. Bahkan ironisnya, warga Uyghur di
wilayah itu ditahan hanya karena alasan seperti menghubungi teman atau kerabat
di luar negeri, bepergian ke negara asing, menumbuhkan janggut, dan menghadiri
pertemuan agama. Gadis-gadis muda Uyghur pun dibawa keluar dan diperkosa sepanjang
malam. Jika mereka melawan, mereka akan dibunuh dengan suntikan
Melihat penderitaan Muslim Uyghur
yang terjadi bertahun-tahun lamanya, menjadi tanya: mengapa tak seorangpun
pemimpin negeri Muslim –sekadar- untuk mengecam? Tidak ada kepala negara Muslim
yang membuat pernyataan publik untuk mendukung orang-orang Uyghur saat ini.
Politisi dan banyak pemimpin agama yang mengaku berbicara atas nama iman
terdiam menghadapi kekuatan politik dan ekonomi Cina.
Sejak diruntuhkannya Daulah
Khilafah Utsmaniyah tahun 1924, praktis kaum Muslimin kehilangan pemimpin di
kehidupan dunia. Wilayah Daulah Khilafah pun dikerat-kerat menjadi
beberapa nation state. Jadilah kaum Muslimin dipisahkan dari tubuh
saudaranya. Jumlah kaum Muslimin yang besar tak berarti lagi. Mereka ibarat
ayam yang kehilangan induknya.
Dulu saat daulah tegak, jangankan
sebuah masyarakat-satu individu Muslim saja ternodai kehormatannya, Daulah
islam akan membela kehormatan dan hak-hak mereka. Kepemimpinan Islam pada masa
al Mu’tashim Billah menjadi salah satu bukti kepemimpinan Islam yang kuat dan
disegani. Kota Amurriyah yang dikuasai oleh Romawi saat itu berhasil ditaklukkan
oleh al-Mu’tashim. Pada penyerangan itu sekitar 3.000 tentara Romawi tewas
terbunuh dan sekitar 30.000 menjadi tawanan. Dan di antara faktor yang
mendorong penaklukan kota ini adalah karena jeritan seorang perempuan. Ia
berseru, “Wahai Muhammad, wahai Mu’tashim!”
Setelah informasi itu terdengar oleh Khalifah,
ia pun segera menunggang kudanya dan membawa bala tentara untuk menyelamatkan
perempuan tersebut. Setelah berhasil menyelamatkannya al-Mu’tashim menqgatakan,
“Kupenuhi seruanmu, Wahai Perempuan!”
Hari ini, saat kepemimpinan Islam
memudar, justru negeri-negeri Barat menunjukkan kepemimpinannya. Para pemimpin
mereka dengan leluasa mengatur dunia melalui PBB ataupun organisasi global
maupun regional.
Dimotori oleh Amerika sebagai
negara adidaya, mereka wujudkan tata dunia baru dalam bingkai sistem Demokrasi
Kapitalis. Mereka wujudkan para pemimpin boneka di negeri-negeri kaum Muslimin.
Oleh karenanya adalah wajar jika para pemimpin di negeri Muslim hanya akan
bersuara sesuai dengan keinginan ‘tuannya’ dan bungkam saat saat sesama Muslim
berteriak mohon bantuan. Dengan tunduknya penguasa negeri-negeri Muslim di
lutut kaum kufar, hilanglah kemuliaan umat Islam sebagai umat terbaik.
Solusi
Islam Untuk Konflik Uigur
Islam merupakan agama yang
sempurna. Tak ada satu sisi kehidupan yang lepas dari aturan Islam. Dari
masalah dapur hingga masalah kepemimpinan kaum muslimin pun diaturnya. Bahkan
dalam Islam, kepemimpinan memegang peranan penting. Imam al-Ghazali menyebutkan
dalam kitabnya al-Iqtishad fi al-I’tiqad, Islam dan kepemimpinan
yang mewujud dalam bentuk kekuasaan ini seperti dua saudara kembar. Islam
menjadi pondasi kehidupan, sedangkan kepemimpinan, dengan kekuasaan yang ada di
dalamnya, ibarat penjaga (pengawal)-nya. Tanpa kekuasaan, dengan kepemimpinannya,
Islam akan lenyap.
Maka,
adanya kepemimpinan dalam Islam merupakan keniscayaan. Mengangkat pemimpin
(imamah) adalah kewajiban. Berdiam diri dari upaya mewujudkan kepemimpinan
Islam adalah sebuah kemaksiatan. Terlebih lagi kepemimpinan Islam adalah
merupakan janji Allah SWT yang akan terwujud kembali. Sebagaimana yang tersebut
dalam QS. An Nuur 55 :
وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الأرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kalian dan mengerjakan amal-amal yang saleh, bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridai-Nya untuk mereka, dan Dia menukar (keadaan) mereka sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Aku. Dan barang siapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.
وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الأرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kalian dan mengerjakan amal-amal yang saleh, bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridai-Nya untuk mereka, dan Dia menukar (keadaan) mereka sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Aku. Dan barang siapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.
Dalam nash tersebut telah jelas
bahwa kepemimpinan dunia akan kembali di tangan kaum Muslimin. Kepemimpinan
yang berbeda dengan kepemimpinan yang ada di negeri-negeri kaum Muslimin hari
ini. Kepemimpin yang berdaulat, yang jauh dari intervensi asing. Kepemimpinan
yang mampu memosisikan dirinya sebagai junnah/perisai bagi umat. Yang mampu
menjaga umat dan mampu menyelesaikan menyelesaikan problematika mereka.
Kepemimpinan tersebut hanya bisa wujud jika menjadikan pondasinya adalah aqidah
islam dan pilarnya adalah syariat yang bersumberkan dari Alquran dan as Sunnah.
Kepemimpinan tersebut wujud dalam bentuk Khilafah Islamiyah.
Wallahu
musta’an**