*
Oleh : Abu Afra
t.me/AbuAfraOfficial
Terkadang ada orang yang ketika awal hijrahnya begitu bersemangat. Dimana-mana selalu ngomongin Islam, ngomongin dakwah. Orang-orang disekitarnya pun merasakan pancaran semangatnya.
Namun berlalu waktu, semakin menghilang dari orbit dakwah. Lalu sengaja menjauh dan mencari-cari alasan untuk tidak terlibat dalam perjuangan.
Dakwah tidak lagi menjadi prioritas. Orientasinya telah berubah pada sesuatu yang lain. Entah itu bisnisnya, hobinya atau pencapaian duniawiyah lainnya. Entah sejak kapan dan mulai dimana awalnya. Yang pasti tema pembicaraannya kini adalah dunia, dunia dan dunia saja.
Perlahan tapi pasti kecenderungan kepada jalan dakwah ini semakin menghilang. Yang ada justru rasa kering dan hampa. Amanah-amanah dakwah mulai dilalaikan.
Inilah musibah yang sebenarnya bagi seorang pengemban dakwah. Ketika dia kehilangan maksud dan tujuan hidupnya. Terlalaikan oleh dunia dan larut di dalamnya.
Perlahan tapi pasti seluruh kehidupannya juga berubah. Keluarganya berubah, kesibukannya berubah, dan bahkan pergaulannya pun berubah. Semua mengerucut pada satu hal, yaitu menjauh dari orbit dakwah.
Teringat sebuah taujih dari seorang ulama kharismatik banua, Abah Guru Zuhdi. Kata beliau, "mau sampai kapan kamu mengejar dunia?" sampai batas mana? biar saya tungguin sekalian".
"Apakah sampai seperti Qarun dan Hamman? Atau seperti Nabi Sulaiman? Atau seperti siapa yang kamu anggap paling sukses di dunia ini? Sampai batas mana? Supaya jelas harus ada batasnya. Nanti kalo batasnya sudah terlampaui hayo kita belajar agama. Hayo berkomitmen untuk agama. Tapi sampai kapan? Sementara ajal semakin dekat dan dunia semakin rusak.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,
ذَرْهُمْ يَأْكُلُوا وَيَتَمَتَّعُوا وَيُلْهِهِمُ الْأَمَلُ ۖ فَسَوْفَ يَعْلَمُونَ
Artinya, “Biarkanlah mereka (di dunia ini) makan dan bersenang-senang dan dilalaikan oleh angan-angan (kosong), maka kelak mereka akan mengetahui (akibat perbuatan mereka).” (QS. Al-Hijr [15] ayat 3).
عَنْ عَبْدِاللَّهِ رَضِي اللَّه عَنْه قَالَ : خَطَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَطًّا مُرَبَّعًا وَخَطَّ خَطًّا فِي الْوَسَطِ خَارِجًا مِنْهُ وَخَطَّ خُطَطًا صِغَارًا إِلَى هَذَا الَّذِي فِي الْوَسَطِ مِنْ جَانِبِهِ الَّذِي فِي الْوَسَطِ وَقَالَ هَذَا الْإِنْسَانُ وَهَذَا أَجَلُهُ مُحِيطٌ بِهِ أَوْ قَدْ أَحَاطَ بِهِ وَهَذَا الَّذِي هُوَ خَارِجٌ أَمَلُهُ وَهَذِهِ الْخُطَطُ الصِّغَارُ الْأَعْرَاضُ فَإِنْ أَخْطَأَهُ هَذَا نَهَشَهُ هَذَا وَإِنْ أَخْطَأَهُ هَذَا نَهَشَهُ هَذَا (رواه البخاري)
Dari Abdullah (bin Mas’ud) radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam membuat gambar persegi empat, lalu menggambar garis panjang di tengah persegi empat tadi dan keluar melewati batas persegi itu. Kemudian beliau juga membuat garis-garis kecil di dalam persegi tadi, di sampingnya (persegi yang digambar Nabi). Dan beliau bersabda, “Ini adalah manusia, dan (persegi empat) ini adalah ajal yang mengelilinginya, dan garis (panjang) yang keluar ini, adalah angan-angannya. Dan garis-garis kecil ini adalah penghalang-penghalangnya. Jika tidak (terjebak) dengan (garis) yang ini, maka kena (garis) yang ini. Jika tidak kena (garis) yang itu, maka kena (garis) yang setelahnya. Jika tidak mengenai semua (penghalang) tadi, maka dia pasti tertimpa ketuarentaan.” (HR. Bukhari).
Ibnu Hajar menggambar beberapa gambar berbeda dalam menafsirkan gambar yang dibuat oleh Rasulullah SAW.
Dalam menilai gambar yang dibuat oleh Rasulullah tersebut ada perbedaan di kalangan ulama.
Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam mensyarahi hadits di atas, membuat beberapa gambar yang masing-masing berbeda.
Angan-angan manusia itu ada dua macam. Pertama, angan-angan yang bisa tercapai, yaitu yang ditunjuki oleh garis-garis yang berada di luar lingkaran yang sekaligus sebagai pembatas. Kedua, angan-angan yang tidak mungkin tercapai, yaitu yang ditunjuki oleh garis yang berada di luar lingkaran (kotak).
Dari keterangan di atas, maka dapat diambil pengertian bahwa manusia itu hidup didalam keterbatasan. Semua indera dan fungsi tubuhnya yang diberikan oleh Allah serba terbatas kemampuannya.
Namun, cita-cita dan angan-angan manusia itu jauh lebih panjang dari pada ajalnya. Sesuatu yang diangan-angankan itu biasanya tidak akan jauh dari yang namanya harta dan umur panjang. Sudah menjadi fitrahnya bahwa masing-masing manusia memiliki keinginan dan harapan yang selalu didamba-dambakan.
Dengan memiliki harta yang cukup, maka ia akan memikirkan untuk mempergunakannya, walaupun fisik dan mentalnya sudah lemah atau berkurang.
Hadits riwayat Ibnu Majah menyebutkan,
حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ مُعَاذٍ الضَّرِيرُ حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَهْرَمُ ابْنُ آدَمَ وَيَشِبُّ مِنْهُ اثْنَتَانِ الْحِرْصُ عَلَى الْمَالِ وَالْحِرْصُ عَلَى الْعُمُرِ
Telah menceritakan kepada kami Bisyr bin Mu’adz Ad Dlarir, telah menceritakan kepada kami Abu Awanah, dari Qatadah, dari Anas, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Anak Adam akan menua, namun ia masih tetap berjiwa muda dalam dua hal, yaitu rakus terhadap harta kekayaan dan umur yang panjang.”
Walaupun keinginan dan cita-cita seseorang itu telah tercapai, tapi tabiat manusia tidak akan merasa cukup dengan apa yang telah dimilikinya. Maka ia akan mencari dan mencari lagi harapan yang lain.
Pada umumnya, cita-cita dan kegemarannya terhadap harta dan umur panjang ini sampai melampaui batas hingga menjadi lupa dengan adanya kematian yang pasti tapi tidak bisa diduga kapan datangnya.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala memperingatkan manusia di dalam firman-Nya,
أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ
حَتَّىٰ زُرْتُمُ الْمَقَابِرَ
Artinya, “Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai (kamu) masuk ke dalam kubur.” (QS. At-Takatsur [102] ayat 1-2).
Dalam hadits riwayat Muslim dijelaskan,
و حَدَّثَنِي حَرْمَلَةُ بْنُ يَحْيَى أَخْبَرَنَا ابْنُ وَهْبٍ أَخْبَرَنِي يُونُسُ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ لَوْ كَانَ لِابْنِ آدَمَ وَادٍ مِنْ ذَهَبٍ أَحَبَّ أَنَّ لَهُ وَادِيًا آخَرَ وَلَنْ يَمْلَأَ فَاهُ إِلَّا التُّرَابُ وَاللَّهُ يَتُوبُ عَلَى مَنْ تَابَ
Telah menceritakan kepadaku Harmalah bin Yahya, telah mengabarkan kepada kami Ibnu Wahb, telah mengabarkan kepadaku Yunus, dari Ibnu Syihab, dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, beliau bersabda, “Andai kata anak Adam itu memiliki emas satu lembah, niscaya ingin memiliki satu lembah lagi. Tidak ada yang dapat mengisi mulut (hawa nafsu)-nya melainkan tanah (maut). Dan Allah menerima taubat siapa saja yang bertaubat kepada-Nya.”
Oleh karenanya, betapa pun tingginya angan-angan manusia terhadap harta dan kesenangan dunia, namun jangan sekali-kali melupakan satu hal yang pasti, yakni mati.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ ۗ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ۖ فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ ۗ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ
Artinya, “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barang siapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” (QS. Ali Imran [3] ayat 185).
Maka penting bagi kita untuk senantiasa mengingat-ingat kembali tentang uqdatul kubra. Dari mana kita berasal, untuk apa kita hidup? dan kemana kita setelah kehidupan ini berakhir?
Tidak kah kita sadar, bahwa kematian itu begitu dekat sementara angan-angan kosong kita tentang dunia ini terus saja melalaikan kita?
_Renungkanlah!_
Coretan Inspirasi
Berbagi Faedah Lewat Hikmah
Jumat, 17 April 2020
Sabtu, 28 Maret 2020
MUHASABAH DI TENGAH WABAH
*Oleh : Abu Afra*
_t.me/AbuAfraOfficial_
Hari ini banyak wajah tertunduk lesu. Perasaan sedih menggelayuti setiap qalbu orang yang beriman. Tidak pernah terbayangkan sebelumnya, aktifitas ibadah berjamaah terhenti dan ditiadakan.
Semua bermuara pada satu sebab saja. Persebaran virus berbahaya yang begitu masifnya. Corona alias covid-19 telah mampu menjadi momok yang begitu ditakuti manusia sedunia.
Allah berfirman di dalam Al Qur'an surat Ar Rum ayat 41 :
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, agar mereka merasakan sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).
Makhluk kecil yang tidak kasat mata ini lahir dari kerakusan sebagian manusia. Kini ia mampu merontokkan banyak perekonomian negara-negara adidaya.
Inilah ketika Allah telah berkehendak. Fasad akan menimpa siapa saja diantara kita. Ketika tindakan menyalahi aturan Tuhan tidak lagi dihiraukan.
Kita ingat pertama kali wabah ini muncul di Wuhan. Sebuah kota maju di negeri para Taipan. Bermula dari kebiasaan aneh penduduk Wuhan yang hobi mengkonsumsi sajian yang tidak lazim bagi kebanyakan orang.
Namun kemudian menyebar ke seluruh penjuru alam. Bahkan ke negeri-negeri Islam. Tempat-tempat ibadah kian menjadi sepi dan tak bertuan. Fatwa Ulama se dunia pun menjadi sandaran.
Dari sini kita mulai sadar bahwa keburukan itu jika dibiarkan, maka ia akan menyebar dan menimpa siapa saja diantara kita tanpa sadar.
Adakah kita lupa? saat semua ini begitu mudahnya kita lakukan. Kita begitu lalainya dan menyepelekan. Diajak shalat berjamaah begitu malasnya. Ikut kajian senantiasa mangkir dengan berbagai alasan.
Kini di saat semua pintu-pintu kebaikan bersama orang banyak itu tertutup. Kita hadir dengan suara nyinyir bak pahlawan. Seolah lebih alim dari para cendekiawan. Oh ironisnya kawan.
Tidak kah kita malu saat kita menentang fatwa Ulama. Menuding mereka dengan tuduhan hubbuddunya. Seolah kita merasa lebih alim dan lebih sholeh dari mereka.
Sementara di hari-hari normal kita seakan tidak pernah peduli dengan yang namanya amal. Kita lebih suka pergi ke Mall-Mall dibandingkan mengunjungi Mesjid dan Rumah Allah yang pintunya tak pernah di portal.
Ah sudahlah, nikmat itu akan begitu terasa saat ia sudah tiada. Semoga nikmat berjama'ah, bersilah ukhuwah tidak dicabut selamanya dari kita.
Bagaimanapun Allah masih memberi kehidupan kepada kita. Walaupun mungkin kehidupan sosial dan rasa aman telah tercerabut dari kita. Tetaplah kita harus mensyukurinya.
Ingatkah kita saat saudara-saudara kita di Uighur mengalami hal yang sama. Kita seolah tuli dan buta. Menganggap itu hal biasa karena jauhnya jarak terpaut antara kita dengan mereka
Kini apa yang mereka alami sebagiannya sudah mulai kita rasakan. Mesjid dan musholah mulai sulit kita akses. Tempat-tempat keramaian walaupun bentuknya kebaikan mulai susah kita temukan. Banyak majelis ilmu yang harus tutup.
Tidak kah ini mampu membuka mata hati kita. Bahwa dulu sedikit sekali rasa syukur kita. Saat kita diberi kemudahan untuk saling berkunjung. Waktu kita malah habis di dalam ruang sempit dengan gadget kesayangan.
Kini saat semuanya harus _stay at home_. Kita seakan berontak dan tidak terima. Menyerang fatwa Ulama, menganggap remeh peran saudara-saudari kita tenaga medis yang tengah berjuang di garda terdepan. Sungguh aneh bukan?
Saya teringat dengan sebuah pepatah Arab yang berbunyi,
*مَا يَبْلُغُ الْاَعْدَاءُ مِنْ جَاهِلِ, مَا يَبْلُغُ الْجَاهِلُ مِنْ نَفْسِهِ*
```"Musuh tidak dapat membinasakan orang bodoh, seperti orang bodoh membinasakan dirinya sendiri".```
Anjuran berdiam diri di rumah, _sosial distancing_ dan sebagainya dianggap angin lalu. Seolah mereka paling paham tentang keselamatan dan kesehatan dibandingkan para ahli.
Demi alasan _egoisme_ diri seakan fatwa tak berarti. Demi _euforia surgawi_ yang sifatnya pribadi, segala himbauan dianggap ajakan takut mati.
Inilah dunia saat ini, semua serba kebolak-balik. Yang benar disalahkan dan yang salah dibenarkan. Menjadi orang benar hari ini harus banyak bersabar.
Kadang bisa saja dianggap dungu oleh kalangan awam. Bisa juga dianggap jelek oleh orang kebanyakan. Karena pola pikir itu bergantung pada tingkat pengetahuan. Jadi wajar beda sikap selama beda isi kepala.
Di tengah kondisi seperti ini sudah saatnya kita kembali. Bertafakur menghisab diri. Seberapa besar dosa dan kesalahan yang telah dilakukan. Akankah amal kita telah cukup jika harus menghadap Sang Pencipta?
Kita tidak pernah tahu kapankah nikmat hidup ini tetap bersama kita. Yang pasti dengan kondisi saat ini, setiap diri bisa saja saling mendahului menuju ajal diri.
Tetap waspada dan hati-hati. Jangan _overpede_ apalagi _sok kebangetan_ tidak takut mati. Karena ini bukan karakter orang beriman yang imannya bener.
Ikhtiar jaga diri dan keluarga dengan mengikuti arahan para Ahli. Tawakal tetap terpatri di dalam hati. Insya Allah kita semuanya di selamatkan dari segala bala dan wabah ini. Jangan kasih kendor dalam ketaatan. Pastikan apapun kondisinya kita tetap dalam rel ketaatan.
_Tetap istiqomah berjuang demi tegaknya Islam._
_Allahumma Amiin_
Jumat, 13 Maret 2020
MENIKAH ITU IBADAH, MAKA JALANI SESUAI SUNNAH
*Oleh : Abu Afra*
_t.me/AbuAfraOfficial_
Beberapa waktu yang lalu saya berdiskusi dengan seorang teman terkait masalah pernikahan. Kebetulan waktu itu kami bertemu dalam satu forum dadakan.
Awalnya sekedar candaan ringan, namun kemudian berlanjut pada tahapan lebih serius dan menegangkan. Pasalnya mulai mengungkap alasan kegagalan proses pernikahan sang kawan.
Rupanya beliau sudah tiga kali gagal dalam masa yang berdekatan. Kegagalan pertama karena sang wali berat hati jika putrinya di bawa jauh ke luar pulau untuk ikut calon suami.
Kemudian kegagalan yang kedua, karena sang wali tersinggung setelah terungkap si kawan tadi pernah ta'aruf dengan akhwat lainnya.
Lanjut yang ketiga gagal lagi disebabkan keluarganya punya prinsip yang kokoh agar si kawan ini satu manhaj dengan mereka.
Secara garis besar dan sekilias mata memandang, batu sandungannya ada di keluarga mempelai akhwat. Tapi setelah ditelisik lagi rupanya kesimpulan itu kurang tepat juga adanya.
Atas pengakuan yang bersangkutan, rupanya masih ada syubhat terkait motivasi dan obsesi dalam pernikahan. Terutama sekali dalam hal kriteria calon pasangan.
Bagi doi agama itu nomor sekian setelah kecantikan. Dengan alasan kalau kecantikan tidak sesuai harapan bagaimana bisa tentram?
Disinilah rupanya kekeliruan pertama dalam proses menuju biduk berumah tangga. Selanjutnya ditambah lagi dengan kurang optimalnya peran perantara alias makcomblang pernikahan ketika menemui hambatan-hambatan.
Kecantikan itu memang menjadi salah satu pertimbangan yang disyariatkan dalam memilih pasangan. Namun ia bukanlah ukuran paling pokok dan utama dalam menentukan pilihan.
Karena kecantikan itu relatif sifatnya. Bagi mereka yang sudah menikah tentu sangat memahami mengenai hal ini. Bagi yang belum memang kadang ada kebimbangan besar terkait masalah kecantikan fisik.
Seandainya mereka yang masih mengutamakan kecantikan sebagai standar utama pernikahan mau berpikir. Maka dia akan menemukan secara pasti bahwa kecantikan fisik itu bukanlah tujuan dan penjamin kebahagiaan.
Lihat saja contoh fakta yang paling nyata. Para artis papan atas, para selebritis itu kurang cantik apa lagi. Mereka bak para bidadari surga. Paras menawan, penampilan menarik perhatian semua orang.
Tapi apakah kemudian bisa menjamin rumah tangganya bahagia? Tidak sama sekali. Bahkan angka perceraian sangat tinggi terjadi pada kalangan artis atau publik figur.
Mengapa hal itu bisa terjadi? karena sejatinya mendapatkan pasangan yang cantik secara fisik itu bukanlah tujuan. Maka apabila ini dijadikan tujuan, kekecewaan demi kekecewaan akan datang pasca pernikahan.
Pernikahan bukanlah ikatan sementara sebagaimana pacaran. Dimana yang terlihat hanya sisi baik dan menariknya saja dari masing-masing pasangan. Ketika pernikahan terjadi semua akan terungkap secara terang benderang.
Karakter asli masing-masing akan dikenali secara pasti. Karena ikatan ini meniscayakan pertemuan dalam segala kondisi. Segala aib dan kecacatan akan terlihat. Kekurangan diri juga akan tampak tanpa bisa ditutupi lagi.
Kita akan bertemu dengan pasangan kita bukan hanya pada saat dia berdandan saja. Tetapi juga ketika dia baru terbangun dari tidurnya. Saat kondisinya masih kusut tanpa polesan bedak atau make up yang kadang menipu mata.
Jika kecantikan yang menjadi alasan kita membangun sebuah pernikahan. Maka bersiaplah untuk terus menerus dalam kekecewaan dan ketidakpuasan.
Untuk itulah seorang pemuda yang ingin menikah harus menyadari apa sebenarnya yang seharusnya dia cari dalam pernikahan.
Pernikahan bukanlah jalan pintas untuk menyalurkan syahwat kelaki-lakian. Bukan pula ajang untuk gengsi-gengsian. Berbangga-bangga di depan manusia atas kelebihan pasangan.
Pernikahan adalah ikatan yang suci sebagai penanda ketaatan kepada seruan Ilahi. Bukti kongkrit atas klaim kecintaan kepada sunnah Nabi.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
النِّكَاحُ من سُنَّتِي فمَنْ لمْ يَعْمَلْ بِسُنَّتِي فَليسَ مِنِّي ، و تَزَوَّجُوا ؛ فإني مُكَاثِرٌ بِكُمُ الأُمَمَ
“Menikah adalah sunnahku, barangsiapa yang tidak mengamalkan sunnahku, bukan bagian dariku. Maka menikahlah kalian, karena aku bangga dengan banyaknya umatku (di hari kiamat) (HR. Ibnu Majah no. 1846, dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah no. 2383).
Menikah adalah satu bentuk ibadah yang memiliki durasi waktu terlama. Maka karena ini ibadah, mestinya yang menjadi standar dalam menjalaninya adalah syariat agama.
Sebagaimana yang sudah kita pahami bersama bahwa syarat diterimanya ibadah itu setidaknya ada dua. Niat yang benar dan cara yang bersesuaian dengan syariat.
Maka dalam hal pernikahan, seharusnya niat, obsesi, keinginan, standar dalam memutuskan atau cara memilih pasangan semuanya harus disandarkan pada hukum syara. Bukan kepada hawa nafsu belaka.
Kita diperintahkan untuk menundukkan hawa nafsu kita demi mengikuti ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dalam hadits dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يَكُوْنَ هَوَاهُ تَبَعًا لِمَا جِئْتُ بِهِ
“Tidaklah beriman salah seorang di antara kalian sampai ia menundukkan hawa nafsunya untuk tunduk pada ajaran yang aku bawa.” (Diriwayatkan dalam kitab Al-Hujjah dengan sanad yang shahih menurut Imam Nawawi)
Hawa nafsu kita secara umum pastilah menghendaki kecantikan fisik yang sempurna. Bahkan kadang di atas rata-rata. Tapi ketahuilah standar kecantikan yang berlebihan kadang menjadikan sebagian orang terlambat dalam mendapatkan jodohnya.
Al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لأَرْبَعٍ: لِمَـالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَالِهَا وَلِدِيْنِهَا، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ.
“Wanita dinikahi karena empat perkara; karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan agamanya; maka pilihlah wanita yang taat beragama, niscaya engkau beruntung.”
Kecantikan bukan berarti tidak penting. Hanya saja perkara ini bukanlah sesuatu yang prinsip dalam hal memilih pasangan.
Bahkan beberapa salaf ada yang justru tidak menyenangi menikahi wanita yang terlalu cantik. Sebagai contoh diantaranya, Imam al-Munāwi berkata, “Salaf membenci wanita yang terlalu cantik karena hal itu (dapat) menimbulkan sikap kesewenangan pada diri wanita, yang akhirnya mengantarkannya kepada sikap perendahan sang pria.”[Faidhu'l Qadīr vol. III, hal. 271.]
Ada hadits yang menunjukan larangan menikahi wanita karena motivasi selain agama. Dari Abdu’Llah Ibn `Amr, Nabi ` bersabda
لاَ تُنكِحوا النساءَ لِحُسْنِهن فَلَعَلَّهُ يُرْدِيْهِنَّ، ولا لِمَالِهِنَّ فَلَعَلَّهُ يُطْغِيْهِنَّ وانكحوهن للدين. وَلَأَمَةٌ سوداء خَرْمَاءُ ذاتُ دِينٍ أَفْضَلُ
“Janganlah kalian menikahi para wanita karena kecantikan. Sebab bisa jadi kecantikan menjerumuskan mereka dalam kebinasaan. Dan janganlah kalian menikahi para wanita karena harta, karena bisa jadi harta menjadikan mereka berbuat hal-hal yang melampaui batas. Namun nikahilah para wanita karena agama mereka. Sesungguhnya seorang budak wanita yang hitam dan terpotong sebagian hidungnya dan dengan telinga yang berlubang namun agamanya baik itu lebih baik (untuk dinikahi).” [Riwayat Ibn Mājah, al-Bazzār dan al-Baihaqi.]
Menikahlah demi ibadah. Berharap keberkahan dari proses menujunya maupun saat menjalaninya. Syariat sebagai panduan agar selamat sampai tujuan. Bukan hawa nafsu yang didahulukan.
Kecantikan bukan ukuran, dia bisa memudar dimakan masa dan penuaan. Sementara ikatan pernikahan adalah jalan panjang menuju ridha Tuhan. Perlu ikhlas dan kesabaran terhadap kekurangan pasangan.
Cantik menurut kita saat ini boleh jadi tidak cantik lagi di masa yang lain. Cantik menurut kita, tapi boleh jadi biasa saja atau tidak cantik menurut orang lain. Maka cukuplah ukuran kecantikan itu ketika kita merasa tentram dengan melihatnya.
Selanjutnya biarlah akhlak dan kesholehan sebagai pemutus paling utama dalam memilih pasangan sehidup sesurga. Karena inilah jalan para pecinta yang diwariskan Al Mushtofa Sayyidina wa Maulana Muhammad SAW.
Semoga kita termasuk ummat baginda Nabi yang diakuinya berkat kesungguhan kita mengikuti sunnah-sunnahnya.
Terakhir sebagai bisyarah bagi para pemuda. Kami nukilkan sebuah hadits yang mulia,
ثَلاَثَةٌ حَقٌّ عَلَى اللهِ عَوْنُهُمْ الْمُجَاهِدُ فِي سَبِيلِ اللهِ وَالمُكَاتَبُ الَّذِي يُرِيدُ الأَدَاءَ وَالنَّاكِحُ الَّذِي يُرِيدُ العَفَافَ
“Ada tiga orang yang Allah wajibkan atas diri-Nya untuk menolong mereka, Orang yang berjihad di jalan Allah, Budak yang memiliki perjanjian yang berniat memenuhi perjanjiannya, dan orang yang menikah dengan niat menjaga kesucian diri dari perzinahan.” [HR. At-Tirmidzi dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Shahihul Jami’: 3050]
Yakin saja, jika motivasi menikahnya sudah benar sesuai sunnah. Insya Allah pasti dipermudah. Nikah karena ibadah pasti berkah berlimpah.
*Barakallahufiikum*
Rabu, 11 Maret 2020
BENTUK-BENTUK KEYAKINAN PENYEBAB KEMURTADAN
*Oleh : Abu Afra*
_t.me/AbuAfraOfficial_
Di dalam kitab *_Sulamut Taufik ila mahabbatillahi 'alat tahqiq_* yang dikarang oleh *Asy Syaikh Al Habib Abdullah bin Husein bin Thohir* disebutkan bahwa, setiap orang Islam itu wajib memelihara dan menjaga keislamannya.
Jangan sampai ada sesuatu yang dapat merusak atau membatalkan keislamannya. Karena jika itu terjadi maka menjadi murtad lah ia.
Pada zaman ini banyak orang yang sembrono dalam berkata-kata. Sehingga apa yang diucapkan terkadang tanpa sadar telah mengeluarkannya dari Islam.
Sementara yang bersangkutan kadang merasa tidak bersalah sama sekali. Hal ini terjadi karena kebodohannya sendiri atau karena keteledoran dalam menjaga lisannya.
Dalam kitab tersebut dikatakan bahwa perbuatan murtad itu setidaknya terbagi menjadi tiga bagian.
1. Berupa keyakinan-keyakinan ( di hati).
2. Beruapa perbuatan anggota badan.
3. Berupa ucapan-ucapan.
Sementara itu masing-masing bagian tersebut memiliki cabang yang banyak pula perinciannya.
Diantara bentuk keyakinan yang bisa menyebabkan seseorang jatuh kepada kemurtadan adalah bimbang atau ragu kepada Allah, Rasulullah, Hari Kiamat, Surga, Neraka, pahala dan siksa. Atau terhadap perkara ijma.
Beranggapan bahwa Allah memiliki sifat yang sebenarnya sifat itu mustahil dimiliki oleh Allah SWT secara ijma. Misalnya berkeyakinan Allah itu berbentuk fisik seperti makhluk.
Menghalalkan yang haram atau sebaliknya. Mewajibkan yang tidak wajib. Atau meniadakan ibadah yang sudah disyariatkan oleh agama Islam yang mulia.
Merencanakan kekufuran, mengingkari kerasulan salah satu diantara para rasul. Mengingkari satu huruf dari Al Qur'an atau menambahnya.
Mendustakan atau meremehkan para rasul. Merendahkannya atau menganggap akan ada lagi Nabi setelah Nabi Muhammad SAW.
Demikianlah beberapa bentuk keyakinan yang bisa menjatuhkan seseorang pada kemurtadan.
_Semoga Allah melindungi kita dari segala bentuk keyakinan yang menyebabkan jatuhnya kita pada kemurtadan. Aamiin._
Selasa, 10 Maret 2020
KEMATIAN ITU KARENA AJAL BUKAN KARENA YANG LAIN
*Oleh : Abu Afra*
_t.me/AbuAfraOfficial_
Allah SWT berfirman :
*وَلِكُلِّ اُمَّةٍ اَجَلٌۚ فَاِذَا جَاۤءَ اَجَلُهُمْ لَا يَسْتَأْخِرُوْنَ سَاعَةً وَّلَا يَسْتَقْدِمُوْنَ*
_Dan setiap umat mempunyai ajal (batas waktu). Apabila ajalnya tiba, mereka tidak dapat meminta penundaan atau percepatan sesaat pun_. *(QS. Al A'raf : 34)*
*وَعَنْ أََنَس رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : خَطَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خُطُوطاً فَقَالَ :*
*هَذَا الإِنْسَانُ وَهَذَا أَجَلُهُ . فَبَيْنَمَا هُوَ كَذَلِكَ إِِذْ جَاءَ الخَطُّ الأَقْرَبُ*
*رَوَاهُ البُخَارِيّ.*
```Dari Anas ra. berkata: Nabi saw. menggariskan beberapa garis, lalu beliau bersabda:
Ini adalah angan-angan manusia sedang ini adalah ajalnya. Ketika ia sedang berusaha untuk mendapatkan angan-angannya, tiba-tiba datanglah garis yang lebih dekat, yaitu ajalnya.```
*(HR al-Bukhari)*
Saat ini banyak orang yang lupa dengan perkara ini. Apalagi dengan adanya wabah virus corona.
Seolah-olah hal itu adalah penyebab kematian yang paling ditakuti. Padahal menurut para peneliti jika antara lima dan 40 kasus virus corona dalam setiap 1.000 kasusnya akan berakhir pada kematian, dengan perkiraan terbaik menyebut sembilan dari 1.000 atau sekitar 1% kasus saja.
Sementara kematian karena ajal itu telah ittifaq para Ahli ilmu menempati urutan nomor wahid dengan persentase kemungkinan 100%.
Jadi kesimpulannya, dimanapun kita berada kematian akan mendatangi kita. Tidak ada yang perlu ditakuti.
Yang justru seharusnya kita takuti itu adalah terkait perbekalan setelah kematian. Apakah telah memadai atau belum sama sekali.
Maka beramal dengan serius dan sungguh-sungguh adalah cara cerdas untuk menyiapkan masa kematian menjelang.
Ketika kita sholat misalkan. Maka laksanakanlah sholat seperti tidak akan ada lagi sholat setelahnya.
*صلوا صلاة مودع*
_Sholatlah kalian seperti sholat yang terakhir kalinya._
Demikian pula dengan amal yang lainnya. Selama untuk amal ibadah ingatlah bahwa boleh jadi itu adalah amal yang terakhir kalinya.
_Dengan demikian diharapkan amal kita berkualitas semuanya._
*Wallahu musta'an*
Senin, 09 Maret 2020
TANDA-TANDA DOSA MANUSIA
Malam ini al faqir kembali mengisi kajian hadits di kelas XI Ma'had Ar Rahman Banjarbaru. Adapun materi yang kami sampaikan adalah sesuai dengan urutan kurikulum yang telah direncanakan.
Masuklah al faqir kepada pembahasan hadits ke-27 di kitab Al Arba'un An Nawawiyyah. Al faqir merujuk pada kitab Al Wafi yang ditulis oleh Syekh Dr. Musthafa Dieb Al Bugha Muhyidin Mistu.
*الحَدِيْثُ السَّابِعُ وَالعِشْرُوْنَ*
*عَنِ النَّواسِ بنِ سَمعانِ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – ، عَنِ النَّبيِّ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ، قَالَ : (( البِرُّ حُسْنُ الخُلُقِ ، والإثْمُ : ما حَاكَ في نَفْسِكَ ، وكَرِهْتَ أنْ يَطَّلِعَ عليهِ النَّاسُ )) . رواهُ مسلمٌ*
*وَعَنْ وَابِصَةَ بْنِ مَعْبَدٍ قَالَ : أَتَيْتُ رَسُولَ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ، فَقَالَ : (( جِئْتَ تَسْأَلُ عَنِ البِرِّ وَالإِثْمِ ؟ )) قُلْتُ : نعَمْ ، قَالَ : (( اِسْتَفْتِ قَلْبَكَ ، الِبرُّ مَا اطْمَأَنَّتْ إِلَيْهِ النَّفْسُ ، وَاطْمَأَنَّ إِلَيْهِ القَلْبُ ، وَالإِثْمُ مَا حَاكَ فِي النَّفْسِ ، وَتَردَّدَ فِي الصَّدْرِ ، وَإِنْ أَفْتَاكَ النَّاسُ وَأَفْتَوْكَ ))حَدِيْثٌ حَسَنٌ رَوَيْنَاهُ فِي ” مُسْنَدَي ” الإِمَامَيْنِ أَحْمَدَ وَالدَّارميِّ بِإسْنَادٍ حَسَنٍ*
*Hadits Kedua Puluh Tujuh*
```Dari An-Nawwas bin Sam’an radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Al-birr adalah husnul khuluq (akhlak yang baik). Sedangkan al-itsm adalah apa yang menggelisahkan dalam dirimu. Engkau tidak suka jika hal itu nampak di hadapan orang lain.”``` *(HR. Muslim) [HR. Muslim, no. 2553]*
```Dari Wabishah bin Ma’bad radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau bersabda, ‘Apakah engkau datang untuk bertanya tentang kebajikan dan dosa?’ Aku menjawab, ‘Ya.’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Mintalah fatwa kepada hatimu. Kebajikan itu adalah apa saja yang jiwa merasa tenang dengannya dan hati merasa tentram kepadanya, sedangkan dosa itu adalah apa saja yang mengganjal dalam hatimu dan membuatmu ragu, meskipun manusia memberi fatwa kepadamu.’” (Hadits hasan. Kami meriwayatkannya dalam dua kitab Musnad dua orang imam: Ahmad bin Hambal dan Ad-Darimi dengan sanad Hasan.```
Dari hadits tersebut kita mendapatkan pengetahuan yang sangat berharga. Karena ternyata dosa dan kebaikan itu memiliki tanda-tanda yang dapat di indera.
Setidakmya ada dua tanda yang disebutkan mengenai sebuah dosa. Yang pertama tanda yang sifatnya di dalam yaitu rasa tidak tenang atau kegelisahan.
Sementara tanda yang kedua adalah perasaan tidak senang apabila dilihat atau diketahui oleh orang lain.
Adapun tanda kebaikan itu adalah ketenangan hati dan ketentraman jiwa bagi yang mengerjakannya.
Namun yang harus diingat ini bukan satu-satunya tanda, melainkan salah satunya saja. Disamping ini tentu masih ada lagi tanda lainnya.
Hanya saja dengan mengetahui tanda sederhana ini, diharapkan kita akan lebih mudah mendeteksi secara dini dosa-dosa yang kita lakukan. Sebelum akhirnya membesar dan menjadi kebiasaan yang susah dihilangkan.
_Semoga Allah Menunjuki kita selalu kepada ketaatan dan menjauhkan kita dari segala dosa dan kemaksiatan. Aamiin._
Sabtu, 07 Maret 2020
BIJAKLAH BERSOSIAL MEDIA
*Oleh : Abu Afra*
_t.me/AbuAfraOfficial_
Ada yang bilang jangan kebanyakan bergelut di dunia maya. Dunia maya itu kebanyakan hoax saja isinya. Kalau pun benar biasanya adalah framing media saja atas realitas yang ada.
Jadi, sulit sekali mencari informasi yang valid dan berimbang dalam dunia maya. Orang yang terlalu banyak menghabiskan waktu di dunia maya cenderung sesat pikir katanya.
Mungkin anggapan itu ada benarnya. Tapi memang tidak bisa dipungkiri mayoritas orang saat ini lebih banyak menghabiskan waktu mereka di dunia maya. Ini fakta yang tidak bisa dipungkiri.
Fakta ini didukung banyak riset dan survey yang dilakukan oleh berbagai lembaga riset dan survey yang ada. Oleh sebab itu menutup diri sama sekali dari dunia maya tentu bukanlah tindakan bijak.
Kenyataan bahwa mayoritas waktu orang zaman now dihabiskan di internet adalah fakta yang harus disikapi secara benar. Dalam kacamata dakwah ini adalah potensi yang amat besar.
Secara sederhana dakwah bisa dilakukan kapan saja melalui media maya. Kita bisa berdayakan akun-akun sosmed yang ada demi kepentingan edukasi dakwah. Dan ini sudah mulai dilirik serta diambil oleh sebagian kaum muslimin yang menyadarinya.
Dakwah secara langsung melalui lisan adalah pilihan terbaik. Namun dakwah melalui sosial media juga tidak kalah menarik.
Berapa banyak mereka yang tertunjuki kepada Islam gara-gara membaca sebuah tulisan di sosial media. Atau ketika menonton sebuah video pendek di Instagram, youtube atau media lainnya.
Hidayah bisa datang kapan saja dan dimana saja. Maka siapapun berpeluang untuk ngalap berkah sebagai wasilah hidayah.
Mungkin tulisan kecil kita yang mengajak kepada Islam membuka pikiran orang untuk berbuat satu kebaikan. Atau setidaknya mencegah mereka dari berbuat keburukan. Bukankah hal ini sebuah keberuntungan?
Boleh jadi melalui video kreatif yang kita buat, ada beberapa orang yang tergerak menjadi lebih taat. Ini pun sebuah amal yang dahsyat jika dilakukan dengan ikhlas tanpa cacat.
Kita seringkali berhitung dalam beramal. Seolah kita paling tahu ini amal yang besar dan yang itu amal yang kecil. Padahal Rasul SAW telah mewanti-wanti jangan pernah remehkan amal apapun sekalipun kelihatan kecil.
عن أَبي ذرٍّ قَالَ: قَالَ لي رسولُ الله ﷺ: لا تَحقِرَنَّ مِنَ المَعْرُوف شَيْئًا، وَلَو أنْ تَلقَى أخَاكَ بوجهٍ طليقٍ
( رواه مسلم)
Janganlah engkau meremehkan perbuatan baik sedikitpun meski engkau menemui saudaramu dengan wajah yang ceria.” (H.R. MUSLIM).
Seorang arif pernah menyampaikan, hati-hati dengan surga yang di dahulukan. Maksudnya gimana?
Misalnya kita ini sangat getol berjuang untuk dakwah, sangat semangat ngaji ilmunya, sangat kuat ibadahnya. Lalu berkat itu semua kita dimuliakan manusia.
Hati-hati inilah surga yang di dahulukan. Jika kurang peka dan hati-hati dengan perasaan di hati. Dampaknya bisa berbahaya.
Kita lalu merasa besar kepala. Lupa bahwa segala yang kita terima itu adalah berkat rahmat Allah semata. Bukan karena kehebatan amal kita. Bukan pula karena ilmu dan ibadah kita.
Jika ini terjadi maka sia-sialah segala pencapaian kita. Di dunia kita dimuliakan namun di alam akhirat tidak mendapatkan apa-apa kecuali siksa api neraka.
Allah Ta’ala berfirman,
مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لَا يُبْخَسُونَ (15) أُولَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الْآَخِرَةِ إِلَّا النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ (16)
“Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Hud [11] : 15-16)
Yang dimaksud dengan “Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia” yaitu barangsiapa yang menginginkan kenikmatan dunia dengan melakukan amalan akhirat.
Yang dimaksud “perhiasan dunia” adalah harta dan anak.
Mereka yang beramal seperti ini: “niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan”.
Maksudnya adalah mereka akan diberikan dunia yang mereka inginkan. Ini semua diberikan bukan karena mereka telah berbuat baik, namun semata-mata akan membuat terlena dan terjerumus dalam kebinasaan karena rusaknya amalan mereka.
Dan juga mereka tidak akan pernah yubkhosuun, yaitu dunia yang diberikan kepada mereka tidak akan dikurangi. Ini berarti mereka akan diberikan dunia yang mereka cari seutuhnya (sempurna).
*Semoga Allah jaga hati kita dari ketergelinciran niat dan tujuan akhirat.*
Langganan:
Postingan (Atom)
MERESTART ULANG KEHIDUPAN
* Oleh : Abu Afra t.me/AbuAfraOfficial Terkadang ada orang yang ketika awal hijrahnya begitu bersemangat. Dimana-mana selalu ngomong...
-
*Oleh : Abu Afra* _t.me/AbuAfraOfficial_ Di dalam kitab Nizham Al Islam dijelaskan bahwa Islam itu agama yang lengkap. Ada aqidahnya,...
-
Herawaty Effendy KISAH NYATA , ENAK DIBACA KARENA MEMBONGKAR KEDOK.... By. Paulus F.Tengker dari Manado. Saya seorang pria, dilahirkan...
-
Al Qadhi (Hakim) Abu Bakar Ahmad bin Kamil Asy Syajari murid Ibnu Jarir Ath Thabari sekaligus sahabatnya berkata, “ Apabila telah selesai m...